Menyelami Fenomena Penyalahgunaan Data Pribadi

| 15 Jul 2018 12:38
Menyelami Fenomena Penyalahgunaan Data Pribadi
Ilustrasi (Abid Farhan Jihandoyo/era.id)
Jakarta, era.id - Mustinah (21), warga Cibitung, Bekasi, Jawa Barat panik bukan main ketika ditelepon orang tak dikenal yang mengaku sebagai pamannya. Dalam percakapannya, si paman palsu ini mengaku tengah berperkara dengan polisi dan meminta bantuan dana Rp19 juta.

Klasik. Namun, kepanikan bikin Mustinah enggak punya banyak waktu buat berpikir. Singkat cerita, Mustinah pun melakukan 19 kali transfer ke rekening penipu, dengan jumlah uang Rp1 juta di setiap kali transfer. Sadar dirinya ditipu, Mustinah pun melapor ke Polresta Bekasi.

"Pelaku mengaku sebagai paman korban bernama Suwondo yang berada di Medan, Sumatera Utara," ungkap Kasubag Humas Polresta Bekasi, AKP Endang Longla di Bekasi, sebagaimana dilansir Antara September 2017.

Mustinah bukan satu-satunya korban. Dan telepon bukan satu-satunya cara para penipu menjaring mangsa. Senin kemarin, redaksi era.id mengumpulkan sejumlah SMS berbau penipuan yang pernah didapat oleh sejumlah awak ruang ketik. Beberapa SMS paling menarik perhatian pun kami ilustrasikan dalam gambar di bawah.

Ilustrasi (Abid Farhan Jihandoyo/era.id)

Fenomena penipuan ini jadi menarik. Apalagi jika melihat fakta bahwa para penipu tampak begitu lihai memainkan peran. Kok ya mereka kayaknya tahu betul soal kita. Kawan, bukan. Mantan apalagi!

Soal ini, kami punya jawabannya. 

Jejak identitas

Kami ambil kasus lain yang pernah dialami narasumber kami yang enggan identitasnya disebut. Maka, kami akan menyebut narasumber kami dengan nama Rambo.

Penipu yang ngibulin Rambo ini lebih canggih. Rambo mengisahkan, saat itu salah satu anggota keluarganya tengah dirawat di sebuah rumah sakit swasta di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Di waktu bersamaan, Rambo mendapat panggilan telepon dari seorang penipu yang mengaku sebagai staf rumah sakit.

Kepada Rambo, si penipu memberi kabar bahwa anggota keluarga Rambo kritis dan memerlukan penanganan khusus. Ajaibnya, si penipu tahu banget segala hal yang berkaitan dengan rekam medis keluarga Rambo itu. Mulai dari penyakit, hingga riwayat operasi yang sebelumnya dijalani oleh keluarga Rambo.

Pada peristiwa itu, Rambo yang panik mengaku sempat mentransfer Rp12 juta lewat dua kali transfer. Sadar dirinya ditipu, Rambo segera melaporkan kejadian itu kepada pihak rumah sakit.

Rambo curiga ada main mata antara oknum otoritas rumah sakit dengan si penipu. Kok ya bisa-bisanya si penipu tahu segala hal detail soal kondisi kesehatan keluarga Rambo itu. Rambo yakin, ada penyalahgunaan data pribadi di sini.

Singkat cerita, rumah sakit akhirnya melakukan penyelidikan internal --meski hasilnya enggak terlihat sampai sekarang-- dan mengembalikan uang Rp12 juta Rambo.

Dari kisah Rambo, kita dapat gambaran lebih nyata soal rekam jejak identitas kita yang amat rawan dari penyalahgunaan. 

Ilustrasi (Rahmad Bagus/era.id)

Jaminan keamanan

Fenomena penyalahgunaan data ini sejatinya telah ditangkap oleh pemerintah. Melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen Kominfo) Nomor 14 Tahun 2017, pemerintah telah menetapkan sejumlah langkah untuk melindungi data pengguna operator selular.

Perlindungan itu meliputi berbagai potensi kejahatan siber mulai dari penipuan, penyebaran hoaks hingga berbagai kejahatan siber lainnya.

Jaminan perlindungan jadi sangat penting saat ini. Pasalnya, sejak akhir Oktober 2017, pemerintah mewajibkan seluruh pengguna selular di Indonesia untuk melakukan registrasi nomor selular dengan penyertaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) serta Nomor Kartu Keluarga yang terdaftar di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri.

Menurut Kominfo, kebijakan ini merupakan bagian dari agenda pemerintah untuk menerapkan identitas tunggal nasional, dimana identitas setiap warga negara --termasuk nomor ponsel (telepon seluler)-- nantinya akan terintegrasi dengan NIK yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik masing-masing penduduk.

Pencurian di dunia maya

Enggak cuma di dunia nyata. Di dunia maya pun, data kita sangat potensial disalahgunakan. Kasus penyalahgunaan data pengguna Facebook yang baru-baru ini terjadi misalnya. Facebook mengaku kecolongan, ketika sebuah perusahaan konsultan politik, Cambridge Analytica mencurangi jutaan pengguna jejaring sosial milik Mark Zuckerberg itu.

Sejak 2014, Cambridge Analytica mengembangkan teknik untuk mendapatkan data pengguna Facebook dari sebuah kuis kepribadian. Menggandeng pihak ketiga, yakni Global Science Research, Cambridge Analytica memanfaatkan popularitas kuis ini di Facebook.

Lewat kuis kepribadian itu, Cambridge Analytica berhasil menghimpun data para pengguna Facebook, mulai dari nama, usia, alamat hingga karakteristik psikologis dan kecenderungan politik setiap pengguna Facebook yang mengikuti kuis tersebut.

Data itu kemudian kabarnya dimanfaatkan Cambridge Analytica sebagai cara memenangkan Presiden Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2016.

Sebelumnya, Facebook juga pernah kecolongan di tahun 2012, ketika sejumlah peneliti memanfaatkan celah keamanan Facebook. Sebanyak 700.000 data pengguna Facebook pun berhasil dijaring. Hasil penelitian itu bahkan kemudian dipublikasikan oleh National Academy of Sciences of The United States of America.

Nah, dari berbagai peristiwa di atas, seharusnya kita dapat melihat persoalan keamanan data sebagai hal yang lebih serius. Kita seharusnya sadar, bahwa ada konsekuensi besar yang harus kita tanggung dari seringnya kita berperilaku asal klik, asal share dan asal registrasi yang bahkan sering kita lakukan tanpa terlebih dulu membaca lembar terms and condition yang sebetulnya sangat penting.

Maka, berhati-hatilah dengan jempolmu, kawan!

Rekomendasi