Benarkah Pengacara Novanto Melakukan Obstruction of Justice?

| 19 Nov 2017 11:10
Benarkah Pengacara Novanto Melakukan <i>Obstruction of Justice</i>?
Kuasa Hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi. (Tsatsia/era.id)
Jakarta, era.id - Kisruh penahanan tersangka kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto kian memanas. Benarkah kuasa hukum ketua DPR itu melakukan obstruction of justice?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serius menindaklanjuti aduan publik tersebut. Salah satu yang melaporkan adalah Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang menilai kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi berusaha menghalang-halangi penyidikan kasus e-KTP. 

“Jangan sampai ada upaya untuk menghalang-halangi upaya penegakan hukum karena hal tersebut diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor,” tegas Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.

Koalisi tersebut terdiri dari ICW (Indonesian Corruption Watch), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Kontras, LBH Pers, dan GAK (gerakan Anti-Korupsi). Mereka menjerat Fredrich Yunadi dengan Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancamannya, 3-12 tahun penjara.

Peneliti ICW , Kurnia Ramadhana menjelaskan, ada dua hal yang dilaporkan ke KPK terkait pelanggaran yang dilakukan kuasa hukum Novanto. Laporan pertama, ketika kuasa hukum berusaha mempengaruhi Novanto saat mangkir dari pemeriksaannya sebagai saksi atas tersangka korupsi e-KTP, Anang Sugiana Sudihardjo (ASS).

“Saat itu Novanto ke KPK dengan alasan pertimbangan hukum, pemanggilan anggota dewan harus melalui izin presiden,” kata Kurnia ketika dihubungi era.id, Minggu (19/11/2017).

Menurut Kurnia, alasan itu tidak mendasar dan tidak bisa diterima secara hukum. Dalam UU MD3 Pasal 245 ayat 1-3, anggota DPR baik menjadi saksi maupun tersangka tidak harus mendapatkan izin dari presiden. Dengan adanya lex specialist atau kewenangan khusus yang dimiliki KPK, alasan mangkirnya Novanto terbantahkan.

Laporan kedua, lanjut Kurnia, ketika kuasa hukum Novanto melaporkan dua pimpinan dan dua penyidik KPK, sesaat setelah KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka ke-6 kasus korupsi e-KTP yang merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.

Saat itu tim kuasa hukum menganggap putusan praperadilan yang dimenangkan Novanto harus diakui, sehingga Novanto tidak bisa dijadikan tersangka lagi. Menurut Kurnia, alasan itu bukan menjadi dalil yang tepat karena Peraturan MA No.4 Tahun 2014, menyebutkan, setiap orang yang menang di praperadilan atas permohon tersangka dapat ditersangkakan lagi oleh penegak hukum jika memiliki alat bukti yang baru.

Sebab, menurut KUHAP Pasal 77, praperadilan hanya memeriksa hal-hal yang bersifat formil, sehingga belum masuk ke pokok perkara sebenarnya. 

“Sidang praperadilan itu tidak melihat Novanto terbukti bersalah atau tidak, jadi meskipun Novanto sudah menang di praperadilan tidak berarti KPK tidak bisa menjadikannya lagi tersangka,” papar Kurnia. 

“Ketika kuasa hukum Novanto melaporkan pimpinan KPK itu termasuk menghalangi proses hukum,” tandasnya.

Dalam beberapa kesempatan, kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi tidak menggubris dugaan obstruction of justice tersebut. Ia menyebut, pengacara memiliki imunitas sehingga tidak dapat dituntut, baik perdata maupun pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU 16/2011 tentang Bantuan Hukum.

Tags :
Rekomendasi