Mencegah Islamophobia Pasca Serangan Teror

| 16 May 2018 15:57
Mencegah <i>Islamophobia</i> Pasca Serangan Teror
Serangan bom gereja di Surabaya (Foto: Istimewa)
Jakarta, era.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menyusun Revisi Undang-undang (RUU) Anti-terorisme. Menurut sejumlah anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Anti-terorisme ini, perdebatan paling alot dari bahasan RUU ini adalah mencari formulasi paling pas untuk mendefinisikan terorisme.

Salah satu anggota Pansus, Nasir Djamil mengatakan, menciptakan formula yang tepat untuk mendefinisikan terorisme dalam RUU ini sangat penting untuk mencegah tindakan sembarang aparat. 

"Agar kita lebih fokus, agar semua instansi yang terlibat dalam penanganan terorisme tahu, enggak beda-beda dia lihat terorisme," katanya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (15/5/2018).

Buat Nasir, kekhawatiran terbesar dari segala isu terorisme adalah bangunnya kembali islamophobia dari benak masyarakat Indonesia. Nasir khawatir, aparat nantinya turut terbawa arus paranoid tersebut.

"Nanti ada misalnya institusi ini melihat bahwa terorisme itu pakai celana cingkrang, kemudian ada panah, suka latihan panah, pengajiannya eksklusif, janggutnya agak ini," katanya.

Dan betul saja, sebuah video viral pun sampai ke telepon genggam salah satu awak redaksi era.id. Dalam video itu, terlihat sejumlah anggota polisi tengah melakukan pemeriksaan terhadap seorang pemuda berpeci hitam yang mengenakan baju koko plus sarung.

Dalam video itu, terlihat polisi memerintahkan pemuda yang diduga santri itu untuk membongkar isi bawaannya. Sang pemuda pun terlihat memuntahkan seluruh isi tas yang ia gemblok plus membongkar habis seluruh isi kardus yang ia bawa.

Di media sosial, video tersebut memancing kecaman. Sejumlah orang menyebut kecurigaan polisi terhadap satu golongan sudah berlebihan. Dari kolom komentar yang terpantau, warganet menilai tindakan polisi itu adalah bentuk islamophobia yang seharusnya tak boleh dilakukan polisi sebagai penegak hukum.

Namun, di sisi lain, ada juga warganet lain yang membela polisi dalam video tersebut. Buat mereka, apa yang dilakukan para polisi merupakan hal yang wajar. Apalagi, belakangan ini rentetan teror terjadi, polisi memang harus meningkatkan kewaspadaan.

Sebaran video ini nyatanya turut ditanggapi oleh Banser Nahdlatul Ulama (NU), sebuah badan otonom bentukan NU yang bertugas menjalankan sejumlah misi kemanusiaan, termasuk melakukan pengamanan sosial. Menurut Banser, tak ada yang perlu dipersoalkan dari video tersebut. 

Dalam postingannya, Banser malah menulis caption santai bernada candaan. "Plisss dulur Brimob, kalau ngejak guyon santri ojo kebangetan. Tolong kardusnya diganti baru ya Pak," tulis akun Twitter @Banser_CyberNU yang menyelipkan emoticon tawa di akhir captionnya.

Enggak cuma itu, @Banser_CyberNU bahkan memberi komentar menentramkan dalam postingan tersebut, "dan selepas geledah, kang santri dan dulur Brimob berangkulan, minum kopi bareng."

"Untuk Indonesia aman dan damai, apa pun rela dilakukan oleh poro santri "hubbul wathon minal iman. #IndonesiaDamai dan asik2 aja."

 

Setop Islamophobia!

Terkait islamophobia, Imbauan pun turut disampaikan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Lukman bilang, menyudutkan umat Islam terkait maraknya aksi teror adalah kesalahan besar, apalagi sampai melakukan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki 'looks' tertentu, termasuk para perempuan bercadar.

"Terhadap saudara-saudara kita yang menggunakan cadar, kita hargai dia, kita hormati dia karena itu adalah haknya untuk melaksanakan bagaimana pengamalan dari pemahaman agama yang dimilikinya dan diyakininya," kata Lukman di Jakarta Pusat, Selasa (15/5/2018).

Baca Juga : Anak-anak Yang Dilibatkan dalam Serangan Bom

Lukman sadar betul bagaimana islamophobia jadi hal yang sangat sering timbul membuntuti berbagai aksi teror. Lukman juga tahu pasti bagaimana kewaspadaan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Tapi, menaruh curiga berlebih pada satu golongan tentu bukan perilaku yang bijaksana.

Karenanya, ia mendorong seluruh masyarakat untuk menjaga prasangka baik terhadap saudara sebangsa, sekali pun mereka yang menganut keyakinan berbeda. Bila hal tersebut dilaksanakan, Lukman yakin, baik masyarakat maupun pengguna cadar tidak akan khawatir untuk berinteraksi di lingkungan.

"Jadi penggunaan cadar bukanlah alasan bagi kita untuk merasa risau, galau, curiga dan khawatir," tutur Lukman.

Bukan konflik agama

Sesaat pascaledakan di tiga gereja Surabaya, Minggu (13/5), sejumlah pihak langsung angkat suara meredam berbagai potensi perpecahan. Lukman misalnya yang saat itu langsung mengingatkan masyarakat, mungkin saja sejumlah aksi teror memang dilakukan oleh orang-orang beragama Islam, tapi terorisme sendiri jelas bukan konflik agama.

"Pelaku aksi bom itu adalah orang-orang yang tidak memegangi yang tidak memegangi nilai-nilai agama, karena tidak ada agama mana pun yang ajarkan aksi terorisme," kata Lukman.

Selain Lukman, berbagai perhimpunan agama pun menyuarakan semangat yang sama: jangan pernah melihat terorisme sebagai konflik agama. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), misalnya, yang terang-terangan menyuarakan imbauan untuk tetap menjaga perdamaian antarumat beragama sekali pun gereja diserang.

Dalam konferensi pers yang dilakukan beberapa saat setelah ledakan, PGI membulatkan sikap mereka ke dalam enam poin, di mana empat poin di antaranya bertalian dengan persoalan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. 

Baca Juga : Alasan Mengapa Tak Boleh Sebut Terorisme Sebagai Isu Agama

Pada poin kedua misalnya, PGI menyatakan sepakat, tak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Kesesatan berpikirlah yang menurut PGI, membawa para penganut agama itu melakukan tindak terorisme. Sebab, nilai yang diajarkan agama, diyakini PGI pasti adalah ajaran tentang kemanusiaan, damai, dan cinta kasih.

Terkait poin di atas, dalam poin ketiganya, PGI meminta para pemimpin agama untuk lebih serius mewaspadai kelompok-kelompok teroris yang kerap menjadikan rumah ibadah sebagai cara mereka menjaring kombatan.

"PGI menilai deradikalisasi yang dilakunan Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT) akan sia-sia jika masyarakat memberi panggung pada pemuka agama yang menganut paham radikal," tutur Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom di Graha Oikumene, Jakarta beberapa waktu lalu.

Selain PGI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) perwakilan Provinsi Jawa Timur juga menyuarakan sikap yang sama. MUI meminta masyarakat menyingkirkan pemikiran bahwa aksi terorisme sebagai persoalan agama, apalagi sampai mengaitkan tindak terorisme dengan umat dan ajaran agama Islam.

Baca Juga : Wenny Baru Tahu 2 Putranya, Evan dan Nathan Meninggal

Ketua Umum MUI Jawa Timur, KH Abdusshomad Buchori menegaskan, terorisme bukanlah bagian dari ajaran agama Islam. Menurut Abdusshomad, sangat berbahaya apabila isu terorisme terus dilihat sebagai konflik keagamaan. Ketertiban dan ketenteraman masyarakat, bahkan persatuan dan kesatuan bangsa jadi taruhannya.

"Tindakan terorisme berpotensi mencederai rasa persatuan dan kesatuan, serta menimbulkan kecemasan dan gangguan terhadap ketenteraman dan ketertiban masyarakat," tutur Abdusshomad.

Tags : bom surabaya
Rekomendasi