Maqdir mengatakan revisi itu juga bertujuan baik, yakni akan menggabungkan UU yang selama ini terpisah, menjadi satu dan terpadu.
“Saya kira begini, ini kan pemberantasan korupsi dengan RKUHP ini kan menjadi satu menjadi undang-undang. Kejahatan jabatan, sebab menyebab, dan juga korupsi ini kan mestinya jadi satu kesatuan. Nah, selama ini kan ada perbedaan,” tutur Maqdir, dalam sebuah diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/5/2018).
Maqdir menegaskan bahwa dalam negara demokrasi, revisi undang-undang memang bisa terjadi. Oleh sebab itu, ia kembali menegaskan bahwa KPK tidak perlu takut RUU KUHP akan mencederai kinerja pemberantasan korupsi. Pasalnya, salah satu anggota yang turut hadir dalam pembahasan adalah Harkristuti Haskrisnowo, mantan Dirjen AHU Kemenkum HAM yang ikut memilih pimpinan KPK periode 2015-2019.
“Revisi itu kan sesuatu yang lumrah, kok, apalagi di dalam negara demokrasi begini. Jangan lupa, salah satu yang hadir (dalam pembahasan RUU Tipikor) adalah Harkristuti, salah seorang yang memilih pimpinan KPK sekarang, kok. Kenapa mereka (KPK) mesti enggak percaya?” tutur Maqdir.
Adapun KPK mengaku telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta agar pasal yang menyangkut tindak pidana korupsi (tipikor) dikeluarkan dari RUU KUHP.
Baca Juga: KPK Minta Tipikor Tidak Masuk RKUHP
Sebab menurut KPK sejumlah pasal tindak pidana korupsi di RUU KUHP berisiko melemahkan pemberantasan korupsi ke depan. Bahkan, lembaga antirasuah ini juga sudah melakukan kajian terhadap RUU KUHP ini serta menerima saran dari diskusi yang sudah dilakukan sebelumnya.
"KPK sudah mengirimkan surat pada Presiden juga agar pasal-pasal Tipikor dikeluarkan dari KUHP tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah pada awak media, Rabu (30/5/2018).