Jakarta, era.id - Polemik soal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus bergulir. Gelombang-gelombang protes pun makin banyak bermunculan, meski pengesahan RKUHP ini dijadwalkan pada Agustus mendatang.
Lalu, masih adakah kesempatan untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari berbagai muatan RKUHP yang disebut-sebut bakal menumpulkan fungsi pemberantasan korupsi?
Jika merujuk pada keterangan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam), Wiranto, kesempatan itu nampaknya masih ada. Usai menggelar rapat koordinasi terbatas bersama KPK dan Komisi III DPR kemarin siang (7/6), Wiranto bilang perubahan-perubahan dalam RKUHP ini masih sangat mungkin terjadi, sebab RKUHP tersebut belum final.
"Dalam pembicaraan-pembicaraan tadi, masih banyak yang perlu dimantapkan. Ya namanya kan belum sempurna, apakah itu masalah sanksi, apakah itu soal delik-delik yang bersifat khusus masuk kedalam RUU KUHP dan sebagainya, itu akan dibicarakan lebih lanjut, mana-mana yang belum sesuai," kata Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat.
Soal banyaknya penolakan, Wiranto bilang hal itu sebagai hal yang wajar. Yang jelas, Wiranto bilang enggak pernah ada niatan untuk melemahkan KPK, apalagi lewat RKUHP ini. Makanya, kemarin siang pihaknya mengundang KPK dan DPR untuk bertukar pandangan, mencari formulasi ideal dalam RKUHP itu.
Dalam pertemuan itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani juga bilang, DPR terbuka atas segala masukan, termasuk dari KPK jika lembaga antirasuah itu merasa Pasal 723 dan 729 bermasalah. "Kalau itu pendapat itu make sense, secara nalar dapat kita terima dengan akal sehat, ya harus kita terima," kata Arsul.
Di satu sisi, Ketua KPK, Agus Rahardjo bilang, pembahasan siang kemarin belum selesai, belum ada poin penting yang dibahas dalam pertemuan kemarin. Dan DPR atau pun Kemenko Polhukam masih enggak ingin membatalkan penyertaan delik-delik prinsipil soal kewenangan pemberantasan korupsi oleh KPK.
Karenanya, usai lebaran nanti KPK akan kembali melakukan pertemuan dengan Kemenko Polhukam dan DPR. "Prinsipnya mereka tidak akan menghilangkan UU yang bersifat khusus seperti yang punya KPK atau BNN ... Habis hari raya nanti kita ketemu lagi," kata Agus.
Gelombang protes
Berbagai cara dilakukan sejumlah pihak untuk menyelamatkan KPK dari berbagai upaya pelemahan. Sebuah petisi di situs change.org pun dilempar. Dalam petisi itu, Sahabat ICW menuntut dua hal.
Pertama, agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR, Bambang Soesatyo, serta seluruh ketua umum partai-partai politik di DPR untuk menarik seluruh aturan atau delik korupsi dalam RKUHP.
Kedua, Sahabat ICW mendesak pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan pembahasan regulasi atau RUU yang mendukung upaya pemberantasan korupsi, seperti revisi UU Tipikor, RUU Pembatasan Transaksi Tunai dan RUU Perampasan Aset Hasil Kejahatan.
Hingga berita ini kami tulis pada Jumat (7/7/2018) dini hari pukul 02.41 WIB, petisi yang dilempar pada Sabtu (2/6) ini sudah ditandatangani oleh 68.134 partisipan.
Baca Juga : Ketika Korupsi Bukan Lagi Kegiatan Luar Biasa
Bukan cuma petisi. Sejumlah mantan pimpinan KPK pun telah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Busyro Muqqodas, Haryono Umar, hingga Mochammad Jasin, lewat surat itu mendorong Jokowi untuk menolak masuknya delik korupsi ke dalam RKUHP.
Saat dihubungi era.id, Jasin mengatakan, pemerintah harus diingatkan oleh berbagai potensi pelemahan KPK. Supaya enggak kecolongan, begitu pikir Jasin, Busyro hingga Haryono. Lagipula, penyertaan delik korupsi dalam RKUHP itu bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi.
“Alasan pertama, agar pemerintah sadar bahwa di beberapa pasal draft RUU KUHP itu, sebab membahayakan eksistensi KPK khususnya Pasal 723 dan 729 draft per 9 April 2018,” ungkap Jasin.
Memang, RKUHP itu disebut-sebut bisa menumpulkan taring KPK dalam perburuan koruptor. Seperti yang pernah dipaparkan anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter beberapa waktu lalu. Kata Lalola, kewenangan KPK terancam disunat lewat RKUHP itu.
Baca Juga : Pengacara Novanto Minta KPK Tak Takut RKUHP
Dalam RKUHP, diatur bagaimana nantinya penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan kasus korupsi bakal dikembalikan ke Polri dan Kejagung. Artinya, RKUHP itu memangkas kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi. "KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan,” kata Lalola.
Selain itu, menyertakan delik korupsi dalam RKUHP akan berdampak pada peniadaan Pengadilan Tipikor. Enggak adanya pengadilan Tipikor akan membuat upaya penegakan hukum terhadap kasus korupsi mundur seperti beberapa tahun lalu, di mana otoritasnya berada di Pengadilan Negeri yang dikenal lembek.
Lebih parahnya lagi, RKUHP ini dinilai lebih banyak berpihak pada koruptor. Misalnya, perubahan signifikan ihwal hukuman koruptor terkait penghapusan kewajiban pembayaran uang pengganti kepada negara.
“Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum, bahkan dihukum bersalah, tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara karena RUU KUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi,” tutur Lalola.
Kamu mau ikut selamatkan KPK? Bisa! Klik tautan ini untuk menandatangani petisi: #SaveKPK