Dasar gugatan mereka adalah KUHP Indonesia yang diterjemahkan dari Bahasa Belanda peninggalan era kolonial ini terdapat banyak pihak penerjemah, yang dapat menyebabkan multitafsir dalam penegakan hukum.
"Di KUHP karangan R Susilo, judul pasal 55 dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana. Di karangan Mulyatno, dipidana sebagai seseorang yg melakukan pidana. Di karangan Amir Hamzah, judulnya dipidana sebagai pembuat delik," tutur M Isnur dari YLBHI usai mendaftarkan gugatan ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (8/6/2018).
"Bisa jadi saya sebagai pengacara pakai KUHP A, jaksa nuntut pakai yang B, hakim memutus pakai yang C. Itu sudah semejak Indonesia nerdeka sampai sekarang," kata dia.
Masalah definisi ini, menurut dia, akan berdampak pada rumusan-rumusan pasal RKUHP yang sedang digodok oleh DPR RI, yang berpotensi untuk menimbulkan multitafsir, karena disusun dari berbagai buku KUHP.
Oleh sebab itu, gugatan ini didaftarkan agar segera ditebitkan buku KUHP dengan Bahasa Indonesia yang resmi dari pemerintah, dengan penerjemahan yang dapat menjadi satu dan acuan bagi seluruh penegak hukum. Mereka juga mengunggat agar penyusunan RKUHP ini ditunda sampai masalah terjemahan ini selesai.
"Memerintahkan agar pembahasan RKUHP ditunda, sebelum ada terjemahan resmi KUHP dari pemerintah," kata Isnur.
Mereka juga menggugat agar para tergugat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk menyatakan permohonan maaf melalui lima media cetak nasional selama lima hari berturut-turut untuk masalah ini.