ERA.id - Pakar farmakologi Universitas Gadjah Mada ( UGM), Profesor Zullies Ikawati menyatakan tidak setuju terhadap upaya legalisasi ganja meskipun dengan alasan medis.
Sebab, ganja yang digunakan dalam bentuk belum murni seperti simplisia atau bagian utuh ganja yang masih mengandung senyawa utama tetrahydrocannabinol (THC) dan bersifat psikoaktif.
Penggunaannya bisa memengaruhi kondisi psikis pengguna dan menyebabkan ketergantungan serta berdampak pada mental.
“Ganja sebagai tanaman dan bagian-bagiannya mestinya tetap tidak bisa dilegalisasi untuk ditanam dan diperjualbelikan karena masuk dalam narkotika golongan 1,” ujar Zullies.
Hal itu ia sampaikan dalam webinar bertajuk Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis yang diselenggarakan Fakultas Farmasi dan Kagama Farmasi UGM, Rabu (6/7).
Ia menyampaikan bahwa yang dapat dilegalkan atau diatur adalah senyawa turunan ganja seperti cannabidiol yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif. Senyawa ini dapat digunakan sebagai obat dan bisa masuk dalam narkotika golongan 2 atau 3.
Ia mencontohkan penggunaan obat-obatan golongan morfin. Morfin berasal dari tanaman opium yang menjadi obat legal selama melalui resep dokter. Morfin biasanya digunakan dalam pengobatan nyeri kanker yang sudah tidak merespons lagi terhadap obat analgesic lainnya.
Namun, ia menjelaskan, opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi besar disalahgunakan. Demikian halnya dengan tanaman ganja.
Sementara itu senyawa ganja lain yakni cannabidiol (CBD) memiliki efek anti kejang, tetapi tidak bersifat psikoaktif. Meski demikian, Zullies menekankan ganja medis bukanlah menjadi obat satu-satunya yang bisa mengatasi kejang pada tubuh seseorang.
Oleh sebab itu, ganja medis disarankan sebagai obat alternatif atau bukan obat utama apabila obat lain sudah tidak berefek bagi pasien.
“Jadi saya pribadi say no untuk legalisasi ganja walau dengan alasan memiliki tujuan medis. Komponen ganja yang bersifat obat seperti cannabidiol bisa digunakan sebagai obat, namun jadi alternatif terakhir,” tegasnya.
Proses legalisasi menjadi obat, menurut dia, harus dilakukan mengikuti kaidah pengembangan obat. Legalisasi harus didukung dengan data-data uji klinis, termasuk dalam bentuk obat yang terukur dosisnya dan didaftarkan ke BPOM.
"Untuk ganja tidak bisa menggunakan regulasi seperti obat herbal lainnya yang tidak mengandung senyawa psikoaktif," ujarnya.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini mengatakan ke depan diperlukan koordinasi semua pihak untuk membuat regulasi dalam pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja seperti cannabidiol dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.
"Riset-riset ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan dengan tetap membatasi akses guna menghindari penyalahgunaan," ujar Zullies.