Sambut Hari Orangutan Sedunia 2022: Perburuan Masif dan Lemahnya Hukum hingga Pelaku Didominasi Pejabat Tinggi

ERA.id - Sumatera Tropical Forest Journalism (STFJ) merilis catatan penting terkait nasib Orangutan di Pulau Sumatera dalam menyambut Hari Orangutan Sedunia yang jatuh pada 19 Agustus 2022 mendatang.

STJF mencatat nasib Orangutan (Pongo abelii) di Pulau Sumatera kian hari kian memperihatinkan.

Di antaranya semakin massifnya perburuan, perdagangan, pembunuhan dan kepemilikan satwa dilindungi orangutan sepanjang periode Januari hingga Juli 2022.

Selain itu, STJF juga mencatat masih lemahnya jeratan hukum terhadap para pelaku perburuan, perdagangan, pembunuhan dan kepemilikan Orangutan belum efektif dalam memberikan efek jera.

Mirisnya, STFJ juga mencatat para pelaku utama perburuan, perdagangan, pembunuhan dan kepemilikan orangutan didominasi dari kalangan pejabat tinggi seperti oknum kepala daerah, kepolisian dan TNI.

Selama Januari hingga Juli 2022, STFJ mencatat sebanyak lima kasus perburuan, perdagangan, pembunuhan dan kepemilikan satwa dilindungi Orangutan di Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh.

Pada 25 Januari 2022, petugas gabungan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Center (YOSL-OIC) menyita satu individu orangutan (Pongo abelii) berjenis kelamin jantan di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-angin di Kabupaten Langkat, Sumut.

Selain itu, di Gayo Lues, Aceh, seekor Orangutan ditemukan mati dengan keadaan mengenaskan pada 23 Juli 2022. Orangutan itu mati dengan sebanyak lima luka di bahu kanan dan tiga luka di bahu kiri.

Pada 20 September 2020 Orangutan Sumatera jantan ditemukan mati di Desa Keuranji Kecamatan Kita Bahagia, Aceh Selatan. Mirisnya, Orangutan itu mati dengan luka tembak sebanyak 148 peluru ditemukan menembus tubuhnya.

Ketua Dewan Kehutanan Daerah (DKD) Sumatera Utara, Panut Hadisiswoyo mengatakan Hari Orangutan Sedunia merupakan momentum bagi manusia untuk menyadari bahwa Orangutan harus tetap hidup di habitat aslinya guna menjaga keseimbangan ekosistem alam.

"Ini jadi suatu momentum. Slogan Orangutan hidup di hutan, bukan sebagai peliharaan atau sebagai satwa yang untuk dieksploitasi dan ancaman dari perburuan dan perdagangan Orangutan yang masih sangat tinggi," kata Panut dalam konferensi pers yang digelar STJF, di Medan, Jumat (12/8/2022).

Panut menjelaskan massif perburuan dan perdagangan Orangutan terjadi setelah hukuman yang menjerat para pelaku dinilai masih terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera.

Dia menyebut seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di mana, ancaman maksimal 5 tahun kurungan penjara dan denda Rp100 juta.

"Jadi hukuman itu masih terlalu ringan dan tidak memberi efek jera terhadap para pelaku. Selama mengikuti persidangan, saya belum pernah melihat para terdakwa perburuan dan perdagangan Orangutan divonis hukuman maksimal. Rata-rata satu tahun atau dua tahun bahkan ada juga yang cuma menjalani hukuman cuma hitungan bulan setelah dipotong masa tahanan," katanya.

Selain itu, Panut juga mengaku selama fokus menangani nasib Orangutan, banyak menemukan kasus kepemilikan satwa dilindungi khususnya Orangutan berasal dari kalangan pejabat tinggi seperti oknum kepala daerah, perwira tinggi di kepolisian dan TNI.

Alumni Oxford Brookes University jurusan Konservasi Primata itu menambah dalam kasusnya nasib Orangutan yang dipelihara oleh oknum-oknum tersebut sangat memprihatikan.

"Jadi awal-awal mereka pelihara masih senang karena umurnya masih enam bulan dan lagi lucu-lucunya. Begitu umurnya udah tahunan, udah besar, bahkan tubuhnya melebihi tubuh yang melihara, Orangutan ini dimatikan lalu dikubur untuk menghilangkan jejak," ujarnya.

Sementara itu, Panut sendiri dengan tegas menolak keras penangkaran bagi Orangutan. Menurutnya dengan tindakan yang serius Orangutan masih bisa diselamatkan meski hidup di habitat aslinya.

"Tidak ada konsep penangkaran Orangutan saat ini untuk dibranding, kemudian dijadikan tujuan wisata. Ini belum ada konsep diijinkan. Orangutan populasinya masih bisa diselamatkan di hutan, hingga tidak perlu penangkaran," pungkasnya.

Sebagai informasi, saat ini populasi Orangutan Sumatera Berdasarkan data Population and Habitat Viability Assesment (PHVA) tahun 2016, diperkirakan terdapat 14.630 individu Orangutan Sumatera yang tersebar di Aceh dan Sumut.

Sementara, pada November 2017 dideklarasikan orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang mendiami ekosistem Batang Toru di Sumut dengan perkiraan populasi 577 hingga 760 individu.