Peneliti UI: Orang Bisa Jadi Teroris Hanya Butuh Waktu Satu Tahun Kurang
ERA.id - Peneliti terorisme Universitas Indonesia (UI), Sholahuddin, melakukan mewawancara terhadap 75 nara pidana terorisme (napiter). Dari wawancara tersebut, terungkap bahwa waktu yang dibutuhkan seseorang mulai terpapar sampai melakukan aksi terorisme hanya setahun bahkan kurang.
“Karena radikalisme online, rata-rata 80% lebih, mereka sejak mulai terpapar sampai melakukan aksi teror kurang dari satu tahun, jadi mau cetak teroris itu sekarang di situasi sekarang ini sangat mudah, kurang dari satu tahun, ” jelasnya saat mengisi kegiatan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI di Pesantren Motivasi Indonesia, Bekasi, dikutip laman MUI, pada Rabu, (21/09/2022).
Sholahuddin menyebut, fenomena tersebut sangat kontras bila dibandingkan dengan teroris pada periode 2002-2012. Pada waktu itu, setidaknya butuh 6 sampai 10 tahun dari pertama kali terpapar terorisme hingga berani terjun aksi terorisme.
“Teroris zaman old itu lebih lama mengalami proses radikalisasinya dan teroris zaman now lebih cepat proses radikalisasinya, salah satunya disebabkan oleh sosial media, ” ungkapnya.
Media sosial menjadi begitu efektif mempercepat radikalisme karena ada algoritma di dalamnya. Algoritma ini yang dituding menjadi biang keladi permusuhan di banyak negara terutama ketika masa pemilihan presiden.
Sholahuddin menerangkan, algoritma media sosial ini memperparah laju radikalisme. Algoritma, kata dia, membuat laman sosial media banjir dengan konten yang sesuai minat penggunanya. Apabila minat seorang tersebut konten terorime, maka selama 24 jam penuh, yang muncul di berandanya adalah konten seperti itu.
“Bila pengguna kebetulan menyukai dan sering berinteraksi dengan konten terorisme, pengguna itu selama 24 jam disodori konten terorisme tersebut, ” ungkapnya.
Penyebab lain perpindahan proses radiakalisme ke media sosial karena tidak lepas dari UU Terorisme baru yang memperluas aspek pidana. Aturan terbaru itu mempersempit adanya kajian offline.
“Mereka melihat bahwa undang-undang baru ini cukup represif, maka mereka lari ke dunia virtual sehingga muncul kasus fenomena radikalisasi online terutama sejak 2018 sampai 2022 ini,” imbuhnya