Tragedi Kanjuruhan: Maut Dalam Kepulan Gas Air Mata

ERA.id - SMKN 4 Malang meliburkan Kegiatan Belajar Mengajar pada Senin (3/10/2022) dan menggantinya dengan doa bersama. Sekolah itu kehilangan dua orang muridnya pada tragedi berdarah di Kanjuruhan.

Doa bersama SMKN 4 Malang (Dok SMKN 4 Malang)

Mamaku guru. Salah satu wali muridnya hari ini menyolatkan dan menguburkan tiga anaknya sekaligus. Tiga-tiganya nonton bola di Kanjuruhan. Tiga-tiganya meninggal,” ujar Tika yang ibunya mengajar di SMKN 4 Malang dikutip dari akun Twitternya pada Minggu (2/10/2022).

Awal Mula Tragedi

Salah satu derbi paling ditunggu di Liga 1 antara Arema Indonesia dan Persebaya (1/10/2022) berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan Persebaya. Sayangnya, pertandingan ini juga menjadi tragedi dengan jumlah korban jiwa terbesar kedua sepanjang sejarah sepak bola dunia.

Arema menjamu Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023. Sejarah rivalitas yang panjang antar keduanya membuat derbi Arema dengan Persebaya selalu bertensi tinggi dan rawan resiko.

Berdasarkan pertimbangan keamanan, Panitia Pelaksana Arema bersurat kepada PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku penyelenggara untuk memajukan kick off pada pukul 15.30 WIB (12/9/2022). Polres Malang juga mengirim surat susulan untuk mengubah jam pertandingan (18/9/2022). Namun, PT LIB menolak permintaan tersebut.

Kick off tetap dilaksanakan pukul 20.00 WIB sesuai jadwal, dengan 42.000 tiket terjual habis. Kick off malam memang bukan waktu yang ideal untuk derbi bertensi tinggi, tapi itu waktu yang menguntungkan bagi perusahaan penyiaran.

Peluit panjang ditiup. Beberapa pendukung Arema dari tribun turun ke lapangan pasca pertandingan berakhir. Bima Andhika, salah seorang penonton di tribun VIP malam itu menceritakan kepada Era.id, banyak penonton dari tribun menyerbu lapangan untuk membantu teman-temannya yang dipukul mundur pihak keamanan dengan anjing pelacak.

Aksi suporter masuk ke lapangan (Antara)

Pitch invasion atau serbuan ke lapangan oleh suporter adalah hal yang biasa terjadi meskipun tidak dapat dibenarkan. Namun, yang jarang terjadi adalah kematian massal karena penanganan sembrono dari pihak keamanan pertandingan.

Penggunaan Gas Air Mata

Dalam buku Scientists at War, Sarah Bridger menyebutkan bahwa gas air mata dikembangkan saat Perang Dunia I. Kini, senjata perang itu digunakan untuk melumpuhkan dan membubarkan kerumunan massa.

Pada 1964, bencana sepak bola terbesar dunia terjadi di Estadio Nacional Lima, Peru dan menewaskan 328 jiwa. Penyebabnya tak lain adalah tembakan gas air mata ke tengah kerumunan. Mayoritas korban meninggal karena pendarahan internal dan sesak napas akibat berdesak-desakan saat berusaha keluar dari stadion.

Sudah 58 tahun lewat sejak bencana itu, dan Indonesia seperti tidak berkaca kepada sejarah. 58 tahun bukan waktu yang sebentar, banyak negara yang belajar dari tragedi itu dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, tapi Indonesia butuh lebih banyak waktu untuk belajar.

FIFA telah melarang penggunaan gas air mata dalam Regulasi Keselamatan dan Keamanan Stadion. Dalam Pasal 19 disebutkan bahwa setiap petugas polisi yang berjaga di sekitar lapangan harus “bertindak dengan standar tertinggi” dan “dilarang membawa atau menggunakan senjata api dan gas air mata”.

Sementara itu, Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico Afinta mengatakan penembakan gas air mata kepada suporter Arema sudah sesuai prosedur. Hal itu sebagai upaya menghalau suporter yang ingin turun ke lapangan dan berbuat anarkis. Padahal, sejak 2019 Mabes Polri telah meminta pengamanan laga mengedepankan pengamanan persuasif dan melarang penggunaan gas air mata.

Polisi menembakkan gas air mata (Antara)

Lucu, jika polisi tidak mengetahui larangan penggunaan gas air mata dalam stadion, sedangkan Ketua PSSI saat ini, Mochammad Iriawan yang lebih akrab dipanggil Iwan Bule tak lain adalah purnawirawan polisi. Tindakan polisi yang menembak gas air mata hanya punya dua kemungkinan: koordinasi yang buruk antara PSSI dan kepolisian, atau, memang mereka hobi melakukan kekerasan.

Akibat dari tembakan gas air mata di Kanjuruhan, banyak nyawa gugur sia-sia. Dalam konferensi pers di Kepanjen, Malang (2/10/2022), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy menyebutkan total korban mencapai 448 orang, dengan rincian: 125 orang meninggal, 21 orang luka berat, dan 302 orang luka ringan.

Tragedi yang Terulang Kembali

Tiga bulan lalu, dua orang Bobotoh meninggal di Stadion Gelora Bandung Lautan Api akibat berdesakan di pintu masuk. Banyak pihak menuntut PSSI dan PT LIB tidak memulai Liga 1 sebelum memperbaiki regulasi keselamatan dan keamanan stadion. Namun, Liga 1 terus bergulir tanpa perbaikan yang berarti.

Berkaca kepada tragedi kemanusiaan yang terus berulang di lapangan, regulasi sepak bola di Indonesia sepertinya lebih berorientasi kepada kepentingan bisnis daripada keselamatan pihak-pihak terkait. Maka, regulator lebih sibuk mencari kambing hitam dan memikirkan sanksi-sanksi daripada memperbaiki mitigasi di lapangan.

Pada Tragedi Kanjuruhan, giliran Arema Indonesia dijatuhkan sanksi larangan bermain di kandang sampai akhir musim. Alih-alih memikirkan perasaan keluarga korban, Presiden Arema Indonesia sekaligus bos dari Juragan 99, Gilang Widya Pramana lebih fokus kepada kerugian finansial yang akan menimpa klubnya. “Kami tidak bisa mendapat pemasukan dari tiket,” ujar Gilang kepada Kompas TV.

Sementara itu, Menteri Olahraga Zainuddin Amali menyampaikan rasa duka terdalam atas tragedi ini saat konferensi pers (2/10/2022), sekaligus berdoa, “Semoga kita tidak disanksi FIFA atas peristiwa ini, mengingat tahun depan kita akan menyelenggarakan FIFA World Cup U-20 2023.”  

Ada yang kehilangan anak dalam Tragedi Kanjuruhan, banyak yang kehilangan saudara, orang tua, hingga kepercayaan kepada sepak bola. Namun, bagi pemerintah di sini tak penting apa pun yang menghilang dari rakyat, selama mereka tidak kehilangan nama baik di mata dunia dan kesempatan emas untuk jadi tuan rumah Piala Dunia sepak bola. Sepak bola yang sama yang merenggut nyawa anak-anak yang pamit menonton bola dan tak pernah pulang.

(Agus Ghulam)