Polisi yang Tidak Seia-Sekata dalam Tragedi Kanjuruhan
ERA.id - Pekan kesebelas Liga 1 2022 harusnya menjadi pekan yang ditunggu-tunggu pencinta sepak bola tanah air. Sabtu malam itu (1/10), Arema menjamu Persebaya di Kanjuruhan dengan lebih dari 40.000 ribu penonton memadati stadion. Laga berlangsung sengit, tetapi tendangan Sho Yamamoto yang menjebol gawang Arema memastikan kemenangan tim tamu dengan skor akhir 3-2.
Sudah 23 tahun Persebaya selalu kalah saat bertandang ke Malang dan malam itu meraka berhasil mencabut kutukan tersebut. Namun, nahasnya pertandingan diwarnai sebuah tragedi hingga menyebabkan 131 orang tewas.
Petaka itu dimulai saat beberapa suporter Aremania melakukan pitch invader (serbuan lapangan) saat para pemain menuju ruang ganti. Aksi itu kemudian berbuntut pada tembakan gas air mata oleh polisi. Sebanyak 7 kali mengarah ke tribun selatan, 1 kali ke tribun utara, dan 3 tembakan ke lapangan, menurut kepolisian.
Tragedi Kanjuruhan sontak menjadi sorotan media, baik di dalam maupun luar negeri yang menilai insiden tersebut sebetulnya bisa dihindari andai saja penanganan keamanan lebih tepat. Washington Post misalnya, mengutip pernyataan Clifford Stott, profesor di Keele University yang mempelajari pengaturan fan olahraga: Tragedi di Kanjuruhan terjadi akibat tindakan polisi dan manajemen stadion yang buruk.
Kapolri Ingin Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan
Sementara itu, tanggapan dari pihak kepolisian yang tidak seia-sekata dalam Tragedi Kanjuruhan --antara lempar tangan dan pasang badan-- malah membuat publik semakin bingung.
Padahal, sehari pasca tragedi Kanjuruhan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengunggah ungkapan duka cita kepada para korban lewat berbagai akun media sosialnya (2/10). Ia lalu terbang ke Malang untuk melihat lokasi dan mengunjungi keluarga para korban.
Pada hari Senin (3/10), Kapolri melakukan konferensi pers (konpers) di depan pintu utama Stadion Kanjuruhan bersama dengan Menteri Olahraga Zainuddin Amali. Dalam keterangannya, ia menyampaikan keseriusannya untuk mengusut tragedi ini.
"Kami akan serius dan mengusut tuntas, dan tentunya ke depan, terkait dengan proses penyelenggaraan dan proses pengamanan," ujarnya.
Kapolri kembali melakukan konpers pada Kamis malam (4/10) dan menetapkan 6 orang tersangka atas kasus ini, yaitu Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) AHL, Ketua Panitia Pelaksana AH, security officer SS, Kabagops Polres Malang WSS, Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur H, dan Kasat Samapta Polres Malang BSA.
Ia juga menyampaikan bahwa 20 personelnya diduga melanggar kode etik terkait penembakan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan. "Tentu ini yang mengakibatkan para penonton terutama yang ada di tribun yang ditembakkan kemudian panik, merasa pedih dan berusaha meninggalkan arena," ungkap Kapolri.
Pernyataan demi pernyataan Kapolri menunjukkan kesadaran dirinya terhadap kesalahan fatal penggunaan gas air mata di stadion. Ia secara jelas menyebutkan di antara hal yang perlu dibenahi pasca Tragedi Kanjuruhan adalah proses pengamanan dan menegaskan bahwa kepanikan penonton terjadi karena tembakan gas air mata.
Tidak Seia-Sekata dalam Tragedi Kanjuruhan
Tidak seperti sikap yang ditunjukkan Kapolri Listyo Sigit, Divisi Humas Polri melakukan pendekatan berbeda saat menanggapi Tragedi Kanjuruhan.
Sebelum menyampaikan ungkapan duka kepada suporter yang menjadi korban, Divisi Humas Polri terlebih dulu mengunggah poster duka atas kematian dua personelnya yang sedang bertugas (2/10).
Kemudian, pada hari Senin (3/10), akun twitter Divisi Humas Polri mengunggah dua video dengan sampul berjudul: POLRI EVAKUASI KORBAN TRAGEDI KANJURUHAN dan KESIGAPAN POLRI EVAKUASI KORBAN KANJURUHAN.
Narasi yang berusaha disampaikan Divisi Humas Polri dalam videonya adalah bahwa banyak korban jiwa berjatuhan karena ulah suporter sendiri. Dalam kedua videonya, mereka menyebut insiden yang terjadi sebagai "kericuhan" atau "kerusuhan", dan menggambarkan pihak kepolisian sebagai pihak "penolong".
Para polisi dalam video Divisi Humas Polri dihadirkan dengan narasi sebagai sosok yang "memberikan pertolongan pertama", "mengevakuasi para pendukung tim sepakbola korban kericuhan", "saling bahu-membahu untuk menyelamatkan para korban suporter", dan "bertindak dengan penuh kemanusiaan".
Penggambaran ini bertolak belakang dengan video-video aksi polisi saat menghalau suporter di Kanjuruhan yang tersebar di media sosial. Pada hari Minggu (2/10), ada dua komentar tidak pantas dari akun twitter Kepolisian Sektor (Polsek) Srandakan mengomentari Tragedi Kanjuruhan yang berbunyi "modyaaar" dan "salut sama pak tentara, musnahkan".
Setelah sebelumnya pihak kepolisian menduga ada peretasan akun, Kasi Humas Polres Bantul, Iptu I Nengah Jeffry, dalam pernyataannya yang dirilis Senin (3/10) mengakui terjadi kelalaian dari anggota Polsek. "Yang bersangkutan telah kami tahan di tempat khusus selama 21 hari ke depan," ujarnya.
Lalu, pada hari Jumat (7/10), Divisi Humas Polri mengunggah cerita bergambar dengan judul “Duka Sepakbola Indonesia” yang menyiratkan pesan bahwa Tragedi Kanjuruhan bisa terjadi karena kesalahan para suporter. Dalam ilustrasinya ditulis “fanatisme harusnya tetap terukur, terarah, dan dibarengi dengan logika” lalu mengaitkannya dengan Tragedi Kanjuruhan.
Dalam keterangan terbarunya, Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan bahwa gas air mata dalam skala besar pun tidak mematikan.
"Perlu saya tegaskan rekan-rekan, saya juga mengutip dari pendapat dari Prof. Made Gagel, adalah guru besar dari Universitas Udayana, beliau ahli di bidang oksiologi atau racun. Beliau menyebutkan bahwa, termasuk dr. Mas Ayu Elita (dosen Universitas Indonesia) bahwa gas air mata atau CS (2-chlorobenzalmalonitrile) ini, ya dalam skala tinggi pun tidak mematikan," kata Dedi, dalam konpers Senin kemarin (10/10).
Ia memaparkan bahwa efek gas air mata hanya menyebabkan mata iritasi dan tidak akan berakibat fatal, seperti ketika terkena sabun. "Pun sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah menyebutkan ada fatalitas gas air mata yang mengakibatkan orang meninggal dunia," tambahnya.
Pada Senin pagi (10/10), Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota mengadakan apel seperti biasa. Yang berbeda hari itu adalah aksi sujud bersama oleh personel Polresta Malang Kota sebagai bentuk permohonan maaf.
"Kami bersujud dan bersimpuh memohon ampunan-Mu Ya Rabb, menghaturkan maaf kepada korban dan keluarganya serta seluruh aremania aremanita," tulis akun instagram resmi Polresta Malang Kota.
Kasi Humas Polresta Malang Kota Ipda Eko Novianto mengaku bahwa aksi sujud bersama kemarin dilakukan secara spontan. "Sujud permohonan maaf serta memanjatkan doa itu diarahkan oleh Kapolresta Malang Kota Kombes Pol Budi Hermanto secara spontan pada saat apel," kata Eko.
Aksi sujud bersama dan permohonan maaf ini sangat kontradiktif dengan sikap Divisi Humas Polri, ketika di hari yang sama Irjen Dedi berdalih bahwa gas air mata tidak mematikan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya kepolisian ingin menyikapi Tragedi Kanjuruhan?
Jika membaca narasi yang digaungkan Divisi Humas Polri, kita akan sulit menemukan rasa bersalah polisi atas penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan.
Pernyataan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mewakili nalar publik yang resah. Muhadjir mengomentari pernyataan Polri yang menyebut tidak ada korban meninggal karena gas air mata, melainkan kekurangan oksigen.
"Di situ kan ada unsur gas air mata yang jadi salah satu munculnya insiden, iyalah saya rasa. Kan jelas FIFA melarang digunakan gas air mata," kata Muhadjir di Kantor Kemenko PMK, Selasa (11/10).
Andai kata benar gas air mata bukanlah biang kerok kematian 131 suporter pada malam tragis itu, lalu mengapa Polresta Malang Kota merasa perlu dan secara sadar bersujud memohon maaf kepada seluruh korban? Pertentangan sikap ini tentu bukan masyarakat yang bisa menjawab, melainkan Polri sendiri. Dan seperti janji Kapolri Listyo Sigit, masyarakat sedang menunggu kasus ini diusut tuntas.