Cerita para Penyintas Kesehatan Mental, Mengobati Luka Tak Kasat Mata
Rasa frustrasi Nita mencapai puncaknya pada bulan Maret, ketika ia memergoki sang suami memesan jasa panggilan seks lewat berbagai akun di media sosial. "Aku hanya bisa menangis dan gemetar," ia mengenang. "Dan sejak itu muncul pikiran untuk bunuh diri."
ERA.id - Sebuah motor matic yang ditunggangi Nita melaju melewati pekarangan kosong di Samarinda, Kalimantan Timur. Cukup jauh dari proyek ibu kota negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Butuh waktu delapan jam jika ditempuh dengan roda empat. Siang itu, Nita sedang tidak baik-baik saja. Lagi-lagi pikiran itu menguasai kepalanya.
"Kalau aku mati di sini, tidak akan ada yang tahu," batinnya.
Nita berencana ingin ke pom bensin yang jaraknya lumayan jauh dari rumahnya. Sementara itu, pikirannya terus menerawang jauh ke awang-awang. "Bagaimana jika aku beli racun tikus sekalian?". Pertanyaan-pertanyaan serupa terus berulang sepanjang perjalanan. Nita berencana ingin bunuh diri. Meninggalkan rumah, suami, dan mertuanya. Membiarkan tembok rumahnya yang sedang dicat waktu itu mengering tanpa kehadirannya.
Nita pindah ke Samarinda dua tahun lalu tanpa kenal siapa pun kecuali suami dan keluarganya. Ia merasa mertuanya kurang suka dengan kehadirannya. Sedangkan sang suami tak banyak membantu. "Ada anak tetangga yang suka main ke rumah, aku benci kelakuannya," tutur Nita. "Tapi, anak itu kesayangan mertuaku," sebut Nita membuka cerita disharmoni dengan sang mertua.
Butuh waktu lama bagi Nita untuk membiasakan diri menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Sebelumnya, ia bekerja sebagai pembuat konten di perusahaan desain di Malang. Setiap malam atau akhir pekan ia bisa menikmati hobinya kuliner makanan tanpa khawatir ada yang mencari atau memarahinya. Dan setelah menikah, ia hanya punya waktu dua minggu di Jawa untuk berpamitan, sebelum akhirnya diboyong ke Samarinda.
Pada Februari 2022 Nita memutuskan pergi ke psikolog. Setelah beberapa pertemuan, ia didiagnosis mengidap frustrasi karena kesepian. Di Samarinda, Nita hanya akrab dengan anak semata wayangnya, Nora. Dan masih butuh belasan tahun lagi agar anaknya bisa jadi teman ngobrol yang seimbang.
Rasa frustrasi Nita mencapai puncaknya pada bulan Maret, ketika ia memergoki sang suami memesan jasa panggilan seks lewat berbagai akun di media sosial. "Aku hanya bisa menangis dan gemetar," ia mengenang. "Dan sejak itu muncul pikiran untuk bunuh diri."
Ide untuk mengakhiri hidup berkali-kali menyapa Nita. Ia hancur setelah diam-diam dikhianati sang suami. Oleh psikolognya, ia dirujuk ke RSU Medika Sangatta untuk konseling ke psikiater. Sang psikiater bilang bahwa ia mengalami depresi sedang menuju berat. Ia lalu diresepkan obat tetapi tidak menebusnya.
"Aku tak minum obat. Obat antipsikotik kurang baik untuk anak," kata Nita. "Alasan kenapa aku tak jadi beli racun tikus waktu itu juga karena anakku." Ia selalu memasang foto anaknya di profil WhatsApp agar selalu ingat mengapa ia harus tetap hidup.
Sembari terus melanjutkan konselingnya, kini Nita meneruskan cita-citanya sejak kuliah di salah satu fakultas kedokteran dan sedang menjalani praktek selama dua semester. "Aku sudah lebih baik dan semoga bisa terus membaik," tutupnya.
Bukan cuma Nita yang mentalnya sedang tidak baik-baik saja. Ada juga Nur. Hampir empat tahun ia menyandang status sebagai penyintas BPD (Borderline Personality Disorder) atau gangguan kepribadian ambang.
"Aku merasa asing dengan tubuh dan pikiranku sendiri," kata Nur.
Gangguan kepribadian itu membuat emosi Nur berubah cepat, cenderung nekat, dan kehilangan kepercayaan diri atau kepada orang lain. Awalnya, Nur hanya didiagnosis menderita gangguan depresi berat. Usai membaca novel Nadira karangan Leila Chudori, ia merasakan punya kedekatan psikologis dengan tokoh Nadira yang ditinggal mati sang ibu.
"Aku pergi ke psikiater setelah mengalami disosiasi," terangnya. Waktu itu, tanpa pengaruh alkohol atau apa pun, Nur kehilangan kontrol atas kesadarannya sendiri. Ketika tersadar, darah segar sudah menetes dari pergelangan tangannya.
Suara Nur terdengar jelas dan tanpa keraguan menjawab pertanyan seputar prosesnya menyembuhkan luka-lukanya yang tak kasat mata. Padahal, belum genap seminggu ia ditinggal sang kakek. "Usianya 82 tahun," kata Nur. "Sejak kecil aku dirawat kakek."
Nur tak punya saudara dan umur kedua orang tuanya tak cukup panjang untuk melihat anaknya tumbuh sebagai perempuan mandiri. Nur memanggil kakeknya "Bapak" dan kehilangan sang kakek seperti kehilangan orang tua sendiri baginya.
"Capek banget sebenarnya, orang lagi berduka buru-buru dipaksa kuat, buru-buru dilarang nangis." Nur menceritakan para pelayat datang ke rumah sambil menasehati neneknya setelah tahu umur sang kakek sudah 82 tahun. "Oh sabar ya, Bu, udah bonus itu."
Bagi Nur yang juga sedang berproses untuk sembuh dari sakitnya, sering kali komentar orang-orang hanya menambah beban baru. Seperti Sisifus yang dikutuk mendorong batu. Karena itu, ia enggan bercerita banyak kepada orang-orang, sebab berkali-kali ia mendapat stigma "kurang bersyukur" dan "kurang beribadah".
"Kalau memang mau bantu, dengarkan saja, jangan menghakimi," ucap Nur.
Mencari Telinga untuk Penyintas
Kepada ERA, Nur menyarankan orang-orang untuk pergi ke psikolog atau psikiater jika diperlukan. "Gratis, bisa pakai BPJS," ujarnya. Ketika masih berkuliah di salah satu kampus negeri di Jakarta, ia pun bisa berkonsultasi gratis dengan psikolog yang disediakan kampus.
"Waktu pertama ke psikiater, aku langsung ke RS Persahabatan dan bayar sekitar Rp200.000 untuk konsultasi awal," ujar Nur. Setelah mendapatkan surat dari dokter, ia pergi ke fasilitas kesehatan pertama agar bisa dirujuk untuk melanjutkan pengobatan. "Setelah itu semua ditanggung BPJS, tapi ada batasannya, kalau lebih dari itu baru bayar."
Nur mendapat tiga resep obat: anti depresan, anti psikotik, dan anti anxiety. Dua obat pertama harus ia konsumsi rutin setiap hari. "Dosisnya semakin ke sini semakin berkurang," kata Nur. Sementara obat anti anxiety hanya ia konsumsi saat darurat; ketika terlalu susah tidur atau bayangan untuk mengakhiri hidup amat pekat.
Nur memang belum pulih sepenuhnya, ia masih rutin meminum obat, dan terkadang suara-suara berisik muncul kembali. Namun, ia perlahan sedang menyembuhkan luka dan terus bertahan melanjutkan hidup. "Sekarang, aku ingin jadi penulis," tutup Nur ketika ditanya tentang apa cita-citanya sekarang. "Aku ingin mengabarkan orang lain bahwa mereka tidak sendiri."
Psikolog Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi. baru saja selesai mengajar di kelasnya di Universitas Indonesia (UI) saat dihubungi ERA. "Silakan, apa yang mau ditanyakan?" ucapnya ramah memulai obrolan. Karena waktu menjelang magrib, langit mulai gelap, dan orang-orang sedang berkemas menutup hari, kami tak bisa mengobrol panjang.
"Biasanya, orang tidak pergi ke psikolog itu karena ragu-ragu. Yang kedua, ia berharap masalahnya selesai secepatnya, padahal kerja psikolog tidak instan begitu," ucap Dr. Rose. Menurutnya, banyak orang enggan pergi meminta bantuan profesional karena merasa tidak nyaman mengobrol dengan orang asing. "Akhirnya mereka hanya bercerita ke teman atau keluarga," sambungnya.
Padahal, terkadang teman dan keluarga menilai sesuatu dengan subjektifitas pribadi. Belum lagi jika orang-orang itu malah terjebak untuk ikut menghakimi, seperti yang dialami Nur. Karena sering mengutuki diri sendiri dan merasa tak utuh, ia dianggap anak yang kurang bersyukur. Dr. Rose menegaskan, "Kalau kita tidak paham dan mengerti (kondisi seseorang), jangan bikin suatu penilaian."
Dr. Rose menambahkan bahwa setiap orang sebenarnya bisa mengukur batas dirinya, kapan saatnya dia harus mencari bantuan profesional. "Ketika sudah merasa tidak nyaman dengan diri sendiri atau keadaan, baik karena kerjaan, keluarga, dan lainnya, itu sudah pertanda," ucapnya.
Seorang profesional menempatkan diri mereka sebagai pengamat yang berempati. "Saya mencoba memahami perasaan seseorang, bagaimana berada di posisi mereka," kata Dr. Rose. "Tapi, saya juga tetap sadar ada di luar. Ini beda dengan simpati," lanjutnya.
Terakhir, Dr. Rose berkata bahwa meskipun seseorang bisa mengukur batas dirinya, bukan berarti ia boleh sembarangan mendiagnosis diri sendiri hanya berdasarkan tulisan-tulisan yang ia baca di internet. "Kalau semua bisa mendiagnosa, ya tidak perlu ke psikolog lagi kan," tutupnya.