Sudah Sejak Lama Harusnya Polisi Say Goodbye to Tilang Manual
"Mana SIM kamu?" tanya polisi geram.
"Ini Pak," jawab pengendara sembari menyodorkan SIM kepada polisi.
"STNK?" tanya polisi lagi.
"Ada Pak," balas pengendari sambil mencabut STNK dari dompetnya.
"Kamu tahu lampu merah? Kenapa masih menerobos," cecar polisi.
"Maaf Pak, saya nggak tahu kalau ada bapak," jawab pengendara.
ERA.id - Ada dua ketakutan yang kerap menghantui pengendara bermotor sejak bangun tidur, antara kena begal di jalan atau kena tilang polisi. Kini, mereka bisa sedikit bernapas lega setelah Kapolri Listyo Sigit Prabowo secara resmi melarang anak buahnya melakukan tilang manual di jalan.
"Kalau ada yang melanggar, tegur, perbaiki, arahkan, dan kemudian setelah itu dilepas," ujar Listyo seperti dapat kita saksikan bersama-sama di akun instagram-nya.
Sudah lama masyarakat resah dengan "oknum" polisi yang mengintai di bahu-bahu jalan, lampu merah, memakai sabuk putih, dan suka muncul tanpa diduga-duga. Bagaimana tidak, pengendara motor yang kena pungli karena SIM-nya ketinggalan harus merelakan uang bensin selama dua minggu untuk disumbangkan ke "oknum" polisi yang bahkan tak ia kenal.
Keputusan Kapolri untuk menghentikan tilang manual sebetulnya agak terlambat. Padahal, sejak Maret 2021, Kapolri sudah meluncurkan program penerapan tilang elektronik (ETLE) Nasional tahap pertama, dimulai dari 12 Polda. Setahun kemudian, ETLE sudah tersebar di 26 Polda se-Indonesia.
Namun, Kapolri baru melarang tegas tilang manual setelah ditegur Presiden Jokowi terkait gaya hidup mewah anggotanya hingga budaya pungutan liar (pungli). Menjawab teguran Jokowi, Listyo mengunggah video berjudul Stop Pungli Raih Kepercayaan Publik.
Tanpa harus menunggu dipanggil Jokowi ke istana, harusnya dari dulu urusan tilang-menilang diserahkan ke kamera-kamera canggih yang sudah menghabiskan anggaran miliaran rupiah itu. Dan betul kata Kapolri, selain kecelakaan lalu lintas dan hal-hal urgen lain, polisi tak perlu turun tangan langsung. Bayangkan saja, PT Jasa Marga sudah mengosongkan bilik-bilik penjaga gerbang tol dan menggantinya dengan mesin E-Toll sejak 2017.
Tilang manual memang salah satu upaya Polri membangun budaya tertib lalu lintas. Namun, pada kenyataannya, sudah jadi rahasia umum kalau itu jadi ladang pungli "oknum" polisi. Akhirnya, pelanggar lalu lintas bukannya introspeksi diri, malah mengasah skill negosiasi, sehingga mereka bisa meminimalisir kerugian jika lain waktu kena tilang lagi.
Ada sebuah anekdot yang cukup masyhur. Seorang pengendara nekat menerobos lampu merah karena sedang diburu waktu. Aksinya pun diketahui dan berujung penilangan oleh polisi.
"Mana SIM kamu?" tanya polisi geram.
"Ini Pak," jawab pengendara sembari menyodorkan SIM kepada polisi.
"STNK?" tanya polisi lagi.
"Ada Pak," balas pengendari sambil mencabut STNK dari dompetnya.
"Kamu tahu lampu merah? Kenapa masih menerobos," cecar polisi.
"Maaf Pak, saya nggak tahu kalau ada bapak," jawab pengendara.
Dari anekdot yang mungkin pernah kita dengar di warung-warung kopi atau grup arisan RT ini sebetulnya mengandung sebuah pesan: Bukan dampak keselamatan yang kita takuti jika melanggar aturan lalu lintas --seperti menerobos lampu merah atau tidak pakai helm-- melainkan karena takut ditilang yang biasanya "UUD" (Ujung-ujungnya duit).
Belum lagi tilang manual kerap kali bikin pengendara ketakutan hingga berujung celaka. Tahun 2014 silam misalnya, seorang ibu hamil tewas karena motor yang ia tumpangi terlempar dari jalan layang Casablanca. Kecelakaan nahas itu terjadi setelah sang suami berusaha menghindari razia polisi dan terpaksa putar balik melawan arah.
Memang kita tidak bisa membenarkan perilaku ugal sang suami, tapi, mari kita berandai-andai, berapa banyak kecelakaan lalu lintas bisa dihindari jika tak ada razia polisi di jalan?
Lagipula, seringkali polisi bukan menyetop pengendara motor karena berpotensi membahayakan, tapi karena ia kelihatan gugup saat ada razia, seperti berusaha menjauhi jangkauan polisi atau tiba-tiba menurunkan kaca helm. Pelanggaran hukum memang salah, tapi beberapa pelanggaran tidak mematikan, misalnya belum bayar pajak kendaraan atau tidak membawa surat-surat lengkap di jalan.
Jika arahan Kapolri untuk melakukan operasi simpatik dan hanya melakukan penilangan lewat ETLE terus berlaku, maka bukan tidak mungkin kepercayaan publik terus meningkat, meskipun begitu syulit lupakan Rehan, apalagi Rehan baik~