Menjadi Telinga bagi Siti Suhardiati: Ibu yang Kehilangan Anaknya karena Gagal Ginjal Akut

Sebuah pintu rumah kami ketuk, di suatu sore pada Sabtu, 22 Oktober 2022. Dari balik pintu, Siti Suhardiati menyambut kami masuk ke dalam rumah yang dindingnya dipenuhi coretan pensil warna dan krayon, juga poster abjad dan huruf hijaiah. 

ERA.id - Hari itu, kami mencoba menjadi telinga sekaligus penyambung lidah Siti yang menceritakan perjuangannya melalui "badai". Anak bungsunya, Umar Abu Bakar meninggal dunia setelah divonis menderita gagal ginjal akut (AKI). Sebuah penyakit yang akhir-akhir ini bikin panik banyak orang, terutama orang tua yang memiliki anak kecil.

"Saya juga masih trauma sebenarnya, untuk cerita pun sebenarnya masih trauma lah pokoknya. Cuman gimana lagi kan, supaya orang-orang juga pada tahu, jangan sampai lah ada hal yang sama (terjadi)," ucap Siti membuka percakapan dengan ERA.id.

Umar meninggal dunia di usia 2 tahun 10 bulan. Ia adalah anak kedua dari pasangan Siti Suhardiati dan Abu Bakar. Umar memiliki seorang kakak, berusia 4 tahun bernama Siti Aysila Shafira. Keluarga kecil ini tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jatiasih, Kota Bekasi.

Pasangan Siti Suhardiati dan Abu Bakar yang kehilangan anaknya karena gagal ginjal akut. (Ilham/ERA.id)

Peristiwa yang menyesakkan dada itu bermula pada hari Sabtu, 10 September 2022. Siti memeriksa suhu sang anak demam tinggi, batuk, dan beberapa kali muntah-muntah. "Karena ada muntah itu saya langsung bawa ke klinik," ucap Siti. 

Siti membawa pulang tiga jenis obat dari klinik tadi: paracetamol sirup, antibiotik sirup, dan puyer untuk batuk. Selama tiga hari Umar mengonsumsi ketiga obat itu sesuai resep. Tiga hari berlalu, Siti belum melihat perubahan yang berarti, anaknya masih demam, batuk, dan muntah-muntah.

Selasa pagi, 13 September 2022, Siti mengecek popok sang anak seperti kebiasaannya setiap hari. Popok Umar yang seharusnya terisi penuh, pagi itu kering dan bersih. Karena khawatir ada yang tak beres, siang itu ia langsung bergegas membawa Umar ke rumah sakit.

Tiga hari Siti menemani Umar menginap di rumah sakit, tetapi kondisi sang anak tak kunjung membaik. "Anak saya tangannya bengkak, kakinya bengkak, wajahnya bengkak." Sembari menundukkan wajah dan berusaha tegar, Siti menggambarkan seberapa buruk kondisi Umar ketika dirawat pertama kali.

Pada waktu itu, masih belum ramai informasi soal gagal ginjal akut di Indonesia, ia masih jadi sesuatu yang misterius, apalagi di rumah sakit umum kelas C. Siti berusaha memaklumi usaha maksimal pihak rumah sakit, meski ia juga melihat kondisi anaknya terus merosot jauh. 

"Kalaupun seharusnya di sana enggak sanggup, bilang gitu, biar saya cari rumah sakit lain yang lebih besar," ucap Siti agak kecewa. "Mereka kalau meriksa Umar, 'Oh kenapa bisa kayak gini ya? Ntar saya cari tahu ya'. Cari tahu terus."

Tak tahan menunggu lebih lama hanya untuk melihat kondisi anaknya kian memburuk, Siti memutuskan untuk memboyong Umar ke RS Polri. Setelah melewati berbagai pemeriksaan, dokter mendiagnosa Umar mengidap gagal ginjal akut, dan ia segera dimasukkan ke ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit), tempat anak-anak dengan gangguan kesehatan serius dirawat secara intensif. 

Berbagai potret Umar tersenyum saat masih sehat bersama kakak dan kedua orang tuanya. (Ilham/ERA.id)

Pada akhirnya, Umar harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) agar bisa menjalani cuci darah, karena RS Polri belum punya alat cuci darah untuk anak. 

"Pas tanggal 17 September, masuklah Umar ke RSCM, langsung ke PICU tanpa ke IGD," ujar Siti.

Selama di RSCM, kesadaran Umar timbul-tenggelam. Pun begitu, Siti bisa merasakan sang anak masih menemaninya. Tiap kali ia memanggil, "Adek, adek, bangun." Umar masih berusaha merespons panggilan sang ibu di ambang sakitnya dan membuka mata, meski ia tampak begitu tak berdaya.

Melihat kesadaran Umar kian menurun, dokter segera mengambil tindakan dengan memasang selang di leher dan selangkangannya. "Yang di selangkangan untuk masukin obat, kalau yang di leher itu untuk cuci darahnya," terang Siti.

Selama tiga hari alat cuci darah terpasang di badan Umar dan terus bekerja 24 jam tanpa henti. Namun, sama seperti di dua rumah sakit sebelumnya, tak ada tanda-tanda penderitaan Umar akan berlalu. 

Umar tidak pipis sama sekali, hingga akhirnya ia mengalami pendarahan parah. Darah mengalir keluar dari lubang hidung, mulut, hingga anus. Setelah itu, Siti harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya telah tiada. Ia dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu, 24 September 2022.

Mencari terang di tengah kegelapan

Siti tak ayal begitu terpukul dengan kematian sang anak, bukan hanya karena semua terasa serba mendadak, pun seumur-umur ia tak menyangka anaknya itu akan mengalami gagal ginjal akut. 

"Anak ini sehat, enggak ada penyakit bawaan, sehat dari lahir, imunisasi lengkap semua."

Siti merasa selalu telaten merawat anaknya sejak Umar masih dikandung badan, hingga ia bisa meniru beberapa kosa kata ibunya. Siti memastikan anaknya tak jajan sembarangan.

"Kalaupun minum yang berwarna, paling teh. Itu pun saya buat sendiri gak yang sachet-sachet di luar."

Umar dirawat ketika kasus gagal ginjal yang menimpa banyak balita masih begitu gelap, belum banyak informasi yang memadai, dan para dokter masih meraba-raba penyebabnya. "Dokter awalnya mengira ini virus dari Covid," kata Siti. "Dan dokter bilang pasien yang sama penyakitnya yang masuk RSCM belum ada yang sembuh."

Bahkan, pertama kali Umar dibawa ke RSCM, Siti sudah dihadapkan dengan opsi terburuk yang disampaikan pihak rumah sakit, bahwa hidup anaknya bisa saja berakhir di sana. "Pas saya masuk ke situ ada anak yang baru meninggal gitu, keluar dari PICU."

Foto Umar dan kakaknya saat sedang rekreasi keluarga. (Ilham/ERA.id)

Dugaan gagal ginjal akut disebabkan karena konsumsi obat tertentu baru muncul setelah Umar meninggal, ketika ramai berita kasus serupa terjadi di Gambia, Afrika. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menginformasikan ada empat produk obat terkontaminasi Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) di sana. Dua kandungan terlarang yang disinyalir jadi biang keladi kasus gagal ginjal akut.

"Setelah muncul kabar dari Gambia itu, saya ditelpon lagi sama dokter RSCM, sebelumnya minum obat apa si Umar ini, itu kondisinya Umar udah nggak ada," ucap Siti.

Selain ketiga obat yang diresepkan dari klinik, Siti mengungkapkan bahwa Umar biasa diberi minum Tempra saat demam. Menurut Siti, anak-anaknya cocok dengan obat tersebut. 

"Biasanya minum Tempra dia langsung mendingan, langsung berkeringat, cuma enggak sampai separah ini, sampai ada gagal ginjal," ucap Siti.

Umar telah pergi, tetapi kedua orang tuanya masih menanti penjelasan dan tanggung jawab pihak-pihak terkait kematian Umar. Hingga kini, mereka hanya tahu informasi yang sepotong-sepotong dan belum utuh. 

Mereka hanya tahu kemungkinan penyebab gagal ginjal akut anaknya karena konsumsi obat-obatan yang tercemar EG dan DEG. Namun, banyak pertanyaan keluarga pasien yang sedang berjuang atau berduka masih belum terjawab. 

Mengapa obat-obatan yang biasa mereka konsumsi dan sebelumnya baik-baik saja, tiba-tiba menyebabkan petaka? Mengapa obat-obat berbahaya itu tersedia di klinik-klinik dan menunggu untuk dibeli? Siapa yang bertanggung jawab atas pengedaran obat-obat itu? Dan bagaimana caranya mereka tak perlu lagi merasa khawatir ke depannya?

Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan sudah merilis daftar 102 obat sirop yang digunakan keluarga kasus anak gagal ginjal akut, dan setelah menganalisis daftar itu, BPOM menyatakan 23 produk di antaranya aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai.

BPOM juga mengadakan konferensi pers pada hari Minggu (23/10), dan memaparkan daftar 133 obat sirop yang aman dikonsumsi. "Ada 133 produk yang aman, yang tidak menggunakan empat pelarut tersebut. Jadi sudah jelas ini aman," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito.

Pusara Umar Abu Bakar. (Ilham/ERA.id)

Siti dan Abu Bakar dalam dukanya masih terus memantau perkembangan berita ini. “Kita sih berharap ada tindakan tegas ya dari pemerintah, entah ke pihak yang terkaitlah, yang menyebabkan obat itu layak edar,” tegas Abu Bakar. 

Abu Bakar tak ingin ada lagi yang mengalami kehilangan serupa. “Sekarang kalau anaknya demam pasti mikirnya udah ke mana-mana ya, paling kita pesannya jangan terlalu panik berlebihan,” kata Abu Bakar. “Ya mudah-mudahan, saya juga baca berita udah ditemukan itu obatnya, ya buru-buru diuji, dikaji, dan kalau bisa langsung disebarlah, supaya gak ada korban selanjutnya.”

Sebagai penutup perbincangan sore itu, kami tak lupa mengucapkan, "Terima kasih, sudah percaya kepada kami." Meninggalnya umar tentunya jadi ibrah bahwa negara tak boleh sedikit pun lengah atas keselamatan warga negaranya. Bahwa korban yang meninggal dunia bukan sekadar angka yang bisa dihitung.

>