Koalisi Gerindra-Demokrat Buyar karena Tak Siap Hadapi Jokowi
Yang Lili lihat, sejak awal, seluruh parpol di kubu Partai Gerindra kelewat sibuk mengamankan perolehan suara parpolnya masing-masing dengan mengajukan diri untuk mengisi posisi cawapres Prabowo Subianto sebagai syarat dukungan mereka.
“Kubu penantang Jokowi ini enggak solid dari awal karena mereka takut kalah. Mereka sadar sulitnya mengalahkan Jokowi yang petahana,” kata Lili kepada wartawan di Jakarta, Kamis (9/8/2018).
Lili bilang, Partai Gerindra, atau pun parpol pendukungnya: PKS, PAN, dan Partai Demokrat sadar betul, enggak ada figur yang mampu mengimbangi elektabilitas Jokowi di kubu mereka.
“Maka kubu penantang, pasti mikirnya, daripada kalah enggak dapat apa-apa, mending ngotot ngajuin figur untuk cawapres. Semua mengajukan nama. Jadinya alot,” ujar Lili.
Dengan mendapatkan posisi cawapres, kata Lili, partai politik berharap mendapat coattail effect, atau dampak keuntungan elektabilitas yang didapat sebuah parpol dari pengusungan seorang calon yang memiliki tingkat popularitas tinggi.
Coattail effect ini tentu jadi hal penting buat sebuah parpol mengamankan posisi dalam pemilihan legislatif (pileg) 2019. “Ini realistis. Daripada pilpres kalah, terus partai enggak masuk parlemen. Kan kayak sudah jatuh tertimpa tangga. Makanya, mereka minta cawapres demi coattail effect,” ungkap Lili.
Lebih lanjut, Lili menyoroti kegaduhan yang dipicu pernyataan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat, Andi Arief yang menyebut Prabowo Subianto sebagai jenderal kardus karena enggak menepati kesepakatan politik dengan partainya.
Kata Lili, kegaduhan itu akan merugikan seluruh partai penantang Jokowi. “Merugikan buat partai dan masyarakat. Ini menunjukkan ketidaksiapan koalisi penantang Jokowi dan membuktikan mereka hanya mengutamakan kepentingan partai, bukan gagasan kebangsaan,” ucap Lili.