Cerita dari Cianjur: Harapan di antara Puing-Puing Rumah yang Hancur
Di desa Cijedil, puluhan rumah dilahap tanah yang longsor dari tebing. Didi menatap kosong ke hamparan rumah yang rata dengan tanah. Ia menunjuk jauh ke sana. “Itu anak saya lagi nyari.” Enam orang keluarganya masih tertimbun dan belum juga ditemukan.
ERA.id - Sudah lewat tengah malam saat tim ERA menapak kaki di Cianjur, Selasa (22/11). Hari sudah berganti sejak tanah itu digoyang gempa magnitudo 5,6 pada Senin siang (21/11), tepat seusai anak-anak pulang sekolah. Getarannya menjalar sampai Jakarta.
Berjam-jam berlalu sejak Cianjur berguncang, RSUD Cianjur masih riuh, dan suara sirine ambulans bergaung nyaris tanpa jeda. “Hampir satu menit sekali ambulans masuk Pak,” ujar Bambang Imanudin, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat.
Ratusan warga terpaksa mengungsi di halaman RSUD Cianjur, di sepanjang penjuru terpampang wajah-wajah lelah sekaligus waspada. Kebanyakan mereka kehilangan rumahnya, ada yang datang dengan kehilangan nyawa, sisanya masih trauma tidur beratap semen dan batu.
BPBD Provinsi Jabar menyiapkan lima tenda darurat, ditambah sekitar 14 tenda lain dari Zipur dan Brimob, tak ada lagi celah di halaman RSUD, sedangkan pengungsi terus berdatangan. “Di lapangan tenis itu ada lahan juga, mudah-mudahan bisa dipasang di belakang. Cuma nanti kita cari jalan aksesnya, apakah ini memungkinkan untuk membangun tenda,” ucap Bambang.
Ketika gelap mulai beranjak, pagi makin menyingkap jelas wajah-wajah penuh duka dan tubuh-tubuh penuh luka. Dinding-dinding retak di RSUD seperti jaring laba-laba. Orang-orang dirawat seadanya di halaman hingga parkiran. Berutas-utas tali rafia dibentangkan antara kerangka tenda atau dahan-dahan pohon untuk menggantung kantong infus.
Gempa kemarin tergolong skala menengah, tetapi ia berhasil memporak-porandakan rumah-rumah di Cianjur hingga tiarap. Menurut data BPBD, lebih dari 3.000 rumah rusak ringan hingga sedang, dan setidaknya 59 rumah tak terselamatkan lagi.
Hingga Selasa ini, BPBD juga mencatat korban jiwa mencapai 103 orang, ratusan luka-luka, dan 25 orang masih dilaporkan hilang. Sementara Humas Polri menyebut korban meninggal mencapai 117 jiwa.
Di Desa Cijedil, puluhan rumah dilahap tanah yang longsor dari tebing. Didi menatap kosong ke hamparan rumah yang rata dengan tanah. Ia menunjuk jauh ke sana. “Itu anak saya lagi nyari.” Enam orang keluarganya masih tertimbun dan belum juga ditemukan.
Saat kami ke sana, tim evakuasi masih menyisir rumah-rumah di dataran yang lebih tinggi. “Katanya mau di atas dulu, jadi mungkin kalo kita langsung diangkat dari bawah takutnya turun lagi tanah itu,” ucap Didi terbata-bata. Ia tak kepikiran makan atau bantuan logistik lain, hanya satu yang terus ia doakan, “Kalau saya sih pengennya dicari dulu lah korban yang masih tertimbun. Itu harapan keluarga.”
Warga Desa Gasol terpaksa bermalam di makam
Suryadi baru pulang dari masjid sehabis jamaah zuhur, lalu kakinya merasa tanah bergetar hebat saat melewati gang menuju rumahnya. “Getarannya begini.” Tangannya memperagakan gerakan naik-turun. “Getaran langsung nggak ada jeda, langsung brak gitu.”
Ia buru-buru mencapai rumahnya, terpikir wajah sang istri dan anaknya yang masih berada dalam kamar lantai dua. Beruntung mereka berhasil keluar sebelum tertimbun reruntuhan. “Anak saya yang sedang di atas, melihat dinding jatuh ke bawah, dia berpegangan pada jendela gitu.”
Keluarga Suryadi dan warga lain segera mengungsi ke makam kampung, satu-satunya tempat di sekitar sana yang beratapkan langit dan jauh dari bangunan. Mereka mendirikan tenda sederhana beratapkan terpal, menggelar tikar, dan tidur bersama-sama.
“Rumah yang depan itu ambruk semua, habis, breeet… jadi kalau dibangun harus dari nol dulu,” ujar Suryadi. “Percuma kalau dibangun sedikit-sedikit, pasti roboh itu.”
Puluhan tahun ia tinggal di Desa Gasol, dan baru kemarin gempa mampir ke rumahnya. “Dikira saya, saya tidak akan mengalaminya. Dulunya saya melihat daerah-daerah lain. Eh, ternyata kejadian juga di daerah saya.”
Suryadi bersama Dede lalu mengajak kami berkeliling Desa Gasol yang remuk redam. Sejak gempa yang merusak kisaran pukul setengah dua siang kemarin, mereka mengaku merasakan gempa susulan beberapa kali yang relatif kecil.
BMKG sendiri mencatat sudah ada 130 gempa susulan sejak pukul 12.00 tadi, yang terbesar mencapai magnitudo 4,2. “Dan ini menjadi pertanda bahwa tidak lama lagi kondisi akan aman kembali,” ucap Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono saat rapat kerja bersama Komisi V DPR RI, Selasa (22/11).
Kami diajak melewati gang samping sekolah untuk sampai ke deretan rumah Suryadi dan Dede. Rumah Dede tampak ambruk sepenuhnya. Anaknya sempat tertimpa puing dan beruntung hanya luka-luka di pelipis. “Cuman semalem agak meriang. Tadi malam ada tim medis kebetulan, udah dikasih obat,” ujarnya.
Hingga Selasa, belum ada bantuan yang mencukupi warga Desa Gasol. Hanya ada sebuah tenda dan dapur umum yang belum dibuka di sekolah. Suryadi dan keluarganya harus sarapan nasi seadanya di bengkel milik seorang warga yang belum roboh.
Warga desa Gasol nyaris seluruhnya mendadak terlantar dan kehilangan rumah mereka. Kini, mereka sementara harus tinggal di makam bersama orang-orang yang telah lama ditanam di sana. “Semoga pemerintah melihat ke sini, dan bagaimana pokoknya masyarakat ini mau punya rumah lagi, seperti sedia kala,” tutup Suryadi.
Harapan Usi sang pelindung kucing-kucing liar
Usi sedang duduk di pinggir lapangan bersandar pagar saat kami temui. Mengenakan hoodie hitam dengan rambut panjang yang diikat cepol, Usi bercerita sedang menunggu jemputan untuk mengungsi. “Rumah saya ancur semuanya.”
Di sekeliling Usi tampak banyak kandang kucing warna-warni, lengkap dengan berekor-ekor kucing kampung dan wadah pasir di dalamnya. “Kalau aku kan suka ngambilin kucing-kucing jalanan, yang sakit, yang dateng ke rumah, diurus, diobatin,” ujarnya sambil sesekali tersenyum.
Sudah lama ia menampung kucing-kucing liar di rumahnya hingga mencapai 20 ekor. Semuanya ia rawat baik seperti keluarga. Ketika tanah berguncang hebat kemarin, ia bertekad menyelamatkan ‘anak-anak pungutnya’ itu semampunya. Namun apa daya, tangan dan kakinya hanya sepasang, Usi tak bisa membawa keluar lebih dari enam ekor kucing.
Sambil menunggu mobil jemputan, Usi menyampaikan harapannya agar bantuan segera tiba. “Mudah-mudahan segera ada bantuanlah, apa aja yang bisa bantu kita. Kayak tenda ini kan kita gak punya.”
Tuhan mendengar harapan dan doa-doa mereka, sepertinya pemerintah juga begitu. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tampak datang langsung ke lokasi bencana dengan topi fedoranya dan menunggang motor. Tak lama setelahnya, Presiden Joko Widodo langsung yang turun.
Di Taman Prawatasari, lokasi pengungsian korban gempa Cianjur, Jokowi menggelar rapat dadakan bersama jajarannya. Ia memberi intruksi untuk membuka daerah yang masih terisolasi dan segera memperbaiki fasilitas umum yang rusak. "Kalau perlu pakai heli, pakai heli. Kalau tidak bisa pakai darat, pakai heli," ujarnya.
Jokowi juga menjanjikan bantuan dana bagi warga yang rumahnya dirusak gempa, senilai Rp 50 juta untuk rumah yang rusak berat, Rp 25 juta untuk kerusakan sedang, dan Rp 10 juta untuk kerusakan ringan.
"Pembangunan rumah-rumah yang terkena gempa bumi ini diwajibkan untuk memakai stndar-standar bangunan yang anti gempa oleh Menteri PUPR," paparnya.
Gempa Cianjur diprediksi merupakan bencana 20 tahunan. Bagi umur manusia, 20 tahun adalah jeda yang cukup panjang. Namun, pada saatnya nanti, ketika 20 tahun berlalu dan bencana yang diramalkan datang, semua akan merasa baru kemarin dunia masih baik-baik saja. Hari ini kita hanya bisa sama-sama berdoa, jika tak ada satu pun yang mampu menolak bencana, semoga Tuhan menakdirkan kita untuk dapat menghindarinya. Amin.