Isi Pasal Penghinaan Pemerintah dalam RKUHP yang Disempurnakan Kemenkumham-DPR

ERA.id - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menampung seluruh aspirasi dari sembilan fraksi di Komisi III DPR RI terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Hasilnya, terdapat 11 poin penyempurnaan yang disepakati bersama. "Kami tim pemerintah rapat dan berdiskusi. Boleh dikatakan 99,9 persen yang diusulkan oleh bapak ibu kami sepakati," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada Kamis (24/11/2022) kemarin.

Pertama, terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Eddy mengatakan, pemerintah menambahkan ayat baru terkait ketentuan mengenai kriteria dan tata cara hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan peraturan pemerintah (PP).

Kedua adalah menghapus kata 'dapat' dalam Pasal 100 tentang hukuman mati. Sebelumnya, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim 'dapat' menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.

Masa percobaan itu harus memperhatikan dua hal, yaitu pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri. Kemudian, peran terdakwa dalam tindak pidana.

"Pasal 100, san ini disuarakan oleh semua fraksi yaitu kita menghapus kata 'dapat'," kata Eddy.

Ketiga, pemerintah menambahkan sedikit catatan redaksional mengenai tindakan terhadap ideologi negara. Jika semula hanya larangan mengenai ajaran komunisme, marxisme, leninisme saja, dalam perubahan terbaru ada sedikit tambahan.

Adapun bunyi tambahan yang dimaksud yaitu penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme, marxisme, leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Keempat, menghapus Pasal 347 tentang penghinaan terhadap lembaga negara. Dalam salah satu poin daftar invetaris masalah (DIM) RKUHP dari pemerintah, pasal tersebut berbunyi orang yang menghina lembaga negara secara lisan maupun tulisan akan dipidana penjara selama 1,6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

Dalam penjelasannya, lembaga negara terdiri dari MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Meski Pasal 347 tentang penghinaan lembaga negara dihapus, pemerintah menggabungkannya ke Pasal 240 RKUHP.

Sebelum keputusan tersebut, Pasal 240 Ayat 1 menjelaskan, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina "pemerintah", dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

"Kita merge ke Pasal 240. Sehingga judulnya adalah penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara yang pada intinya adalah satu, merupakan delik aduan. Itu dia bersifat formil, tapi kalau ada kerusuhan, kemudian dia bersifat delik materiil," ujar Eddy.

Kemudian pada poin kelima, menyinggung soal pengertian pada pasal-pasal 'penghinaan'.

Pemerintah memutuskan bahwa pengertian 'penghinaan' disesuaikan dengan Pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

"Jadi di sini kami katakan bahwa yang dimaksud dengan menghina adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah," kata Eddy.

Dia menjelaskan, dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting menjadi bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walau mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan kebijakan atau pemerintah atau lembaga negara lainnya.

"Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Jadi kami sudah memberikan rambu-rambu," papar Eddy.

Enam, tindak pidana terhadap kekuasan pemerintahan. Tujuh, berkaitan dengan contempt of court.

Poin kedelapan terkait dengan kohabitasi. Pada pasal terkait hal ini, pemerintah hanya menambahkan penjelasan bahwa seluruh peraturan perundang-undangan di luar ketentuan dalam pasal RKUHP jika sudah disahkan nantinya tidak berlaku.

Artinya, pasal terkait kohabitasi merupakan delik aduan yang hanya bisa diadukan oleh suami, istri, anak, atau orang tua saja. "Ada tambahan megenai kohabitasi. Jadi tidak mengubah pasal, hanya kami tambahkan dalam penjelasan 'dengan berlakunya ketentuan ini, seluruh peraturan mengenai perundang-undangan mengenai kohabitasi tidak berlaku'," kata Eddy.

Sembilan, terkait aborsi. Pemerintah menambah batas usia kandungan 12 minggu menjadi 14 minggu sebagai syarat aborsi. Hal ini sesuai usulan masyarakat dan mengacu pada batasan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).

"Kemudian, terkait tindak pidana narkotika yang semula ada enam ketentuan, ini kita me-reduce hanya tinggal menggunakan Pasal 610 dan 611," ujar Eddy.

Terakhir, pemerintah mencabut pasal-pasal yang terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Misalnya, Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE, serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE.