Makelar Berkedok Investor di Balik Lelang Kepulauan Widi
ERA.id - Sebuah situs pelelangan real estate mewah yang berpusat di New York, Sotheby’s Concierge Auctions menayangkan pelelangan Cagar Alam Widi (Widi Reserve) di Halmahera Selatan, Maluku Utara yang akan berlangsung pada 8 Desember 2022 nanti.
Cagar Alam Widi dilelang oleh PT Leadership Islands Indonesia (LII) yang mengklaim sudah mengantongi izin pengembangan dari pemerintah setempat. “Hukum Indonesia tidak mengizinkan kepemilikan pribadi atas pulau, tapi saham bisnis dengan hak pengembangan dapat dijual kepada siapa pun,” tulis keterangan di situs tersebut.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah melakukan rapat dengan sejumlah pihak, mulai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara, hingga Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halmahera Selatan untuk membahas isu tersebut, Sabtu (24/11/2022).
Dalam keterangan tertulisnya, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Dirjen Bina Adwil) Kemendagri, Safrizal mengonfirmasi adanya nota kesepakatan (MoU) antara PT LII dengan pemerintah setempat pada 27 Juni 2015.
"Sejak dari penandatanganan MoU tahun 2015 hingga saat ini tahun 2022, PT LII belum melakukan aktivitas pembangunan dan pengelolaan kawasan pariwisata yang dijanjikan," ujarnya, Minggu (4/12/2022).
Mendagri Tito Karnavian menyatakan bahwa tujuan lelang tersebut bukan untuk menjual Cagar Alam Widi, melainkan mencari pemodal untuk dana tambahan. “Tujuannya untuk menarik investor asing. Nah itu boleh-boleh saja,” ungkapnya kepada wartawan di kantor Kemendagri, Senin (5/12/2022).
Selain Tito, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengklaim Kepulauan Widi tidak dijual.
"Sudah pernah saya jelaskan secara tegas bahwa pulau-pulau yang ada di gugus Kepulauan Widi adalah milik Indonesia. Milik Indonesia, saya garis bawahi tidak dijual," ujarnya dalam temu wartawan mingguan di kantornya, Senin (5/12/2022).
Janji investasi yang tak kunjung terealisasi
PT LII dimiliki oleh seorang ekspatriat asal Inggris yang tinggal di Bali dan kerap menonjolkan diri sebagai aktivis lingkungan dan perlindungan anak, Natalia Perry.
“Saya dedikasikan waktu 35.000 jam, total 150.000 jam kerja dari tim saya, lebih dari 150 pertemuan dengan pemerintah, 180 ahli teknis, dan konservasionis untuk mendapat 32 lisensi dan izin yang sekarang kami miliki,” ucapnya dalam wawancara bersama Andrew Shirley.
Pada tahun 2017, perempuan itu mengatakan kepada para wartawan bahwa PT LII dalam waktu dekat akan berinvestasi di Maluku Utara. "Ada tujuh belas pulau yang akan dikelola,” ucapnya saat konsultasi publik bersama dengan Pemprov Maluku Utara di Batik Hotel, Kamis (14/9/2017).
Sejak pertama kali ide permohonan izin pengelolaan itu dicetuskan, ia tampak selalu memposisikan diri sebagai seorang investor yang siap berinvestasi demi pengembangan pariwisata di Maluku Utara.
KKP juga menyebut PT LII sebagai investor saat pertemuan di kantor KKP dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL), Rabu (25/4/2018). Dalam pertemuan tersebut disampaikan bahwa PT LII merupakan badan usaha kategori Penanaman Modal Asing (PMA) yang meminta rekomendasi kegiatan wisata bahari di Kepulauan Widi yang terdiri dari 15 pulau dan 2 atol.
Namun, setelah ramai isu jual-beli Kepulauan Widi oleh PT LII, perusahaan pimpinan Natalia itu lebih sering menekankan diri sebagai pemegang izin eksklusif untuk menjalankan usaha di Kepulauan Widi. Sementara poin sebagai investor yang dijanjikan sejak awal tak lagi terdengar.
PT LII lalu membantah soal penjualan Kepulauan Widi seperti isu yang beredar. Mereka berdalih lelang tersebut bertujuan untuk menjual interest dalam LII dan menarik investor.
“Dalam rangka menarik investasi asing besar ke pengembangan Kepulauan Widi, LII mengambil langkah untuk bekerja sama dengan Sotheby’s Auction Concierge yang berbasis di AS dan Inggris,” tulis keterangan pers PT LII di situs widireserve.com, Minggu (27/11/2022). “Investor terpilih adalah yang telah memenuhi persyaratan dan mendapat persetujuan dari LII.”
Hingga Selasa ini (6/12/2022), PT LII belum memberikan kejelasan posisi mereka sebagai investor dalam pengelolaan Kepulauan Widi. Dan setelah tujuh tahun mereka mengantongi perizinan dari pemerintah setempat, belum ada pembangunan sama sekali di Kepulauan Widi.
Karena hal tersebut, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Dirjen Bina Adwil) Kemendagri, Safrizal menduga PT LII sebagai broker. "Sekda Kabupaten Halmahera Selatan mengindikasikan bahwa PT LII adalah broker yang mana selama 7 tahun belum melakukan pembangunan dan memanfaatkan lahannya," ucapnya.
PT LII belum kantongi izin lengkap tapi berani melelang
KKP memastikan bahwa PT LII sebagai pemegang izin pengelolaan Kepulauan Widi belum mengantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
“Berdasarkan data di kami, saat ini PT LII belum memiliki PKKPRL untuk pemanfaatan perairan Kepulauan Widi,” ujar Dirjen PRL KKP Victor Gustaaf Manoppo dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/12/2022).
Ia mengatakan bahwa PKKPRL merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi pemanfaat untuk melakukan kegiatan menetap di ruang laut, baik yang ada di kawasan pesisir maupun pulau-pulau kecil. “Perizinan-perizinan tersebut wajib dipenuhi oleh PMA,” ujarnya.
Terkait dengan pelelangan, Staf Khusus Bidang Komunikasi KKP, Wahyu Muryadi mengatakan bahwa hak pengembang jika ingin mendapatkan investor.
"Tapi nanti kalau mau memanfaatkan ruang laut di pulau-pulau kecil tersebut tentu harus punya izin PKKPRL yang ditandatangani Menteri Kelautan dan Perikanan," ujarnya saat dihubungi ERA, Selasa (6/12/2022).
Ia melanjutkan bahwa PT LII selama ini baru berhubungan dengan Pemprov Maluku Utara dan belum menghubungi KKP lebih lanjut. PT LII juga tidak mengajukan izin saat kunjungan mereka ke KKP pada 2018 silam.
"Mereka hanya datang tapi tidak mengajukan izin. Kini berdasar Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), pemanfaatan pulau-pulau kecil perizinannya wajib dari pusat," ujar Wahyu. "Dulu sebelum UUCK memang mereka bikin MoU dengan Pemprov dan izin lokal, tapi berdasar aturan kalau 6 bulan tidak dimanfaatkan akan dievaluasi bahkan dicabut izinnya."
Setelah rapat Kemendagri bersama sejumlah pihak November lalu, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Dirjen Bina Adwil) Kemendagri, Safrizal mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) akan membekukan izin sementara PT LII.
"Nanti apabila PT LII bisa menunjukan kelayakan atas pemanfaatan lahan, maka izin bisa dibuka kembali. Namun, apabila tidak dapat menunjukan kelayakan terhadap pemanfaatan lahan sesuai MoU, maka izin akan dicabut selamanya," ujarnya.
Menanggapi isu penjualan pulau di situs asing, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara meminta negara memberi jaminan perlindungan terhadap pulau-pulau kecil yang tersebar di wilayah Maluku Utara.
"Pulau tidak untuk dijual atau dikuasai oleh korporasi dan tidak boleh dimiliki secara perseorangan. Pemerintah harus menjamin perlindungan pulau-pulau kecil di Indonesia," kata Direktur Walhi Maluku Utara Faisal Ratuela di Ternate, Senin (5/12/2022).
Bahkan, kata dia, kasus penjualan pulau di situs-situs asing yang dalam kurun beberapa tahun terakhir mencuat seharusnya disikapi dengan memperketat implementasi regulasi terkait pengelolaan pulau atau hak pemanfaatan terkait wilayah pesisir dan pulau kecil.
Penjualan pulau kepada pihak asing, jelas dia, tidak dapat dibenarkan dan harus segera dihentikan.
Maluku Utara sendiri memiliki 395 pulau, 331 di antaranya belum berpenghuni, salah satunya adalah gugusan Kepulauan Widi. Menurut Faisal, ketiadaan penghuni menurut versi pemerintah hanya disandarkan pada situasi di mana masyarakat tidak menetap di pulau tersebut. Itulah penyebab sering terjadi konflik antara masyarakat dengan pemerintah maupun pihak lainnya.
Ia menambahkan bahwa Kepulauan Widi telah menjadi penghidupan bagi masyarakat yang berada di pesisir semenanjung Gane dalam aspek ekonomi, sosial, dan yang terpenting aspek tradisi dan budayanya. Meskipun tidak ada penduduk yang menetap di sana, tetapi masih terdapat rumah-rumah singgah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan maupun yang berkebun di Kepulauan Widi.