Wamenkumham: Surat PBB Terkait KUHP Datang Terlambat
ERA.id - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumkam) Edward Omar Sharief Hiariej atau Eddy mengungkapkan, surat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sedang terlambat.
Dia mengatakan, surat dari PBB yang ditujukan kepada Komisi III DPR RI diterima pada 25 November 2022. Sementara, pengambilan keputusan tingkat I atas RKUHP dilakukan pada 24 November 2022.
"Surat (dari PBB) itu sampai pada tanggal 25 (November), persetujuan tingkat pertama telah diambil pada tanggal 24 November 2022. Jadi, ya sangat terlambat," kata Eddy dalam konferensi pers di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin (12/12/2022).
Dia membenarkan, dalam surat itu PBB menawarkan bantuan dalam pembentukan KUHP, terutama terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Sayangnya, surat tersebut terlambat datang.
Meski begitu, pemerintah dan DPR RI memastikn bahwa sudah menampung seluruh aspirasi dari masyarakat terkait dengan pasal-pasal menyangkut kebebasan berpendapat.
"Karena surat baru sampai tanggal 25 sementara sudah ada persetujuan tingkat pertama pada 24, jelas yang berkaitan yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi itu kami sudah menerima berbagai masukan dari masyarakat," ucapnya.
Dia lantas mencontohkan, dalam draf lama RKUHP terdapat empat pasal menyangkut penghinaan, yaitu penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum, dan pejabat negara.
Atas aspirasi dan masukan dari publik, pemerintah akhirnya mencabut dua pasal yaitu penghinaan terhadap kekuasaan umum dan pejabat negara.
Namun, memasukan lembaga negara dalam pasal penghinaan terhadap pemerintah. Meski begitu, hal itu hanya terbatas pada lembaga kepresidenan, MPR RI, DPR RI, DPD RI, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK) saja.
"Sementara persoalan penghinaan itu sendiri, penyerangan harkat dan martabat itu sudah sangat strict kita atur dalam penjelasan. Bahwa sebetulanya yang dimaksud dengan penyerangan harkat dan martabat itu hanya 2. Satu itu adalah menista, dan satu lagi adalah fitnah. Hanya itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang," paparnya.
Dalam KUHP, pemerintah juga sudah menyertakan penjelasan yang menekankan bahwa pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan tidak akan mengekang kebebasan berekspresi. Karena, kritik dalam berbagai bentuk termasuk unjuk rasa diperlukan sebagai kontrol sosial.
"Artinya dengan penjelasan pasal ini, secara tidak langsung kita mengatakan bahwa kritik dan unjuk rasa itu boleh. Tidak menjadi soal. Jadi kita sudah memberi batasan-batasan," tegasnya.
Untuk diketahui, DPR RI telah mengesahkan RKUHP sebagai undang-undang dalam Rapat Paripurna pada Selasa (6/12).
Namun, pengesahan KUHP masih mendapat kritikan tak hanya di dalam negeri, tetapi juga dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut memberikan kritik. Sebab KUHP yang baru disahkan memuat sejumlah pasal kontroversi yang tidak sesuai dengan kebebasan dan hak asasi manusia (HAM), termasuk hak atas kesetaraan.
"PBB khawatir beberapa pasal dalam KUHP yang direvisi bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan hak asasi manusia," tulis PBB dalam keterangannya.