Banyak Anak Banyak Rezeki, Propaganda Belanda yang Abadi hingga Hari Ini

ERA.id - Punya anak hingga belasan adalah hal lumrah bagi mbah-mbah kita. Zaman sekarang, anak lebih dari dua sudah dihitung banyak, seiring juga operasi sesar yang makin populer dan membatasi lahiran ibu-ibu maksimal tiga kali biar aman. Beberapa orang juga mulai mengadopsi gaya barat dan menganut childfree

Namun, meski ibu-ibu sekarang tak hamil sebanyak dulu, masih sering juga kita dengar selentingan “banyak anak banyak rezeki”. Sebuah slogan yang bernada penuh harapan, padahal dulunya dipakai Belanda buat propaganda. Itu juga yang jadi biang kerok mengapa mbah-mbah kita dulu terus beranak-pinak macam kucing.

Jika ditarik jauh ke belakang, semua bermula seusai Perang Diponegoro (1825-1830) yang mengorbankan sekira 200 ribu nyawa. Gara-gara perang besar itu, Belanda menanggung utang hingga 32 juta gulden. Van den Bosch yang jadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu lantas usul untuk memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) untuk keluar dari krisis ekonomi.

Pribumi korban tanam paksa pemerintah kolonial Belanda. (Wikimedia Commons)

Secara sederhana, sistem tanam paksa mewajibkan rakyat untuk menanam komoditas ekspor seperti kopi di tanah mereka dan hasil panennya diserahkan ke pemerintah Belanda. Itu sebagai pengganti kewajiban pajak tanah. Jadi rakyat tidak bayar pajak, tapi hasil panennya buat Belanda. 

Pemerintah setuju usulan van den Bosch, sistem tanam paksa diketok palu, dan seluruh pulau Jawa memikul bebannya. Belanda sendiri butuh tenaga kerja lebih banyak agar roda ekonomi mereka lewat sistem tanam paksa bisa terus berputar.

Profesor Emeritus Sosiologi Pedesaan, Benjamin White menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk pada masa kolonial di Jawa beriringan dengan permintaan tenaga kerja yang dibutuhkan Belanda. Risetnya itu berjudul Demand for labor and population growth in colonial Java (1973). 

Demi suksesnya agenda cultuurstelsel, Belanda butuh sarana prasarana yang mumpuni, memperbaiki infrastruktur, membangun jalan-jalan baru dan bangunan pendukung lainnya, sehingga dibutuhkan tenaga kerja yang berlimpah sekaligus murah. 

Upaya Belanda mendorong laju pertumbuhan penduduk

Bagaimana cara Belanda merangsang pertumbuhan penduduk? Mereka memulainya dengan membagikan tanah mereka kepada para petani secara merata, sehingga banyak tanah yang bisa langsung digarap untuk menanam komoditi ekspor. Sebelumnya, banyak petani yang tak punya tanah hanya numpang menggarap sawah orang lain.

Mengapa Belanda membiarkan para petani jadi pemilik tanah? Karena hanya dengan begitu mereka bisa ditagih pajak tanah yang kemudian diganti dengan kerja bakti atau tanam paksa. Pajak itu sangat memberatkan petani, sehingga mereka cenderung ingin punya keluarga yang besar untuk membantu menggarap tanah, khususnya di perkebunan kopi.

Karena tuntutan kerja ini juga banyak perempuan yang turun ke lapangan. Para petani berpikir semakin banyak yang turun, semakin ringan pula kerja mereka. Tak ayal ibu-ibu banyak yang bekerja di perkebunan kopi dan meninggalkan bayi-bayi mereka di rumahnya. Secara otomatis, periode menyusui semakin pendek karena mereka jarang di rumah, dan berhentinya pemberian ASI itu menyebabkan ibu-ibu cepat hamil lagi.

Potret penjajah dan petani yang menjadi korban sistem tanam paksa. (Wikimedia Commons)

Pada masa itu, secara tidak sadar masyarakat di-setting pemerintah untuk banyak melahirkan anak. Saat mereka berpikir semakin banyak anak, semakin banyak rezeki dan membantu mengurangi beban kerja keluarga, Belanda tertawa di belakang karena dapat surplus tenaga kerja gratis dan bisa melunasi utang-utangnya.

19 Desember lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte minta maaf atas praktik perbudakan di koloni Belanda, termasuk Indonesia. Kita sebagai bangsa yang besar hati mungkin manut kata Gus Dur, "Dimaafkan iya, lupa sih nggak." Bagaimana bisa lupa kalau propagandanya masih tertinggal sampai sekarang, walaupun Belanda-nya sudah pergi.

Banyak anak banyak rezeki dan program Keluarga Berencana

Tahun 1950-an, mulai muncul wacana pembatasan jumlah anak. Dokter Julie Sulianti Saroso, Kepala Jawatan Kesejahteraan Ibu dan Anak di Yogyakarta waktu itu bilang ke harian Kedaulatan Rakjat, sebaiknya para ibu berani melakukan pembatasan kelahiran. Ia ditegur menteri kesehatan hingga Pak Karno gara-gara pernyataan itu.

Pada masa itu, haram bicara soal pembatasan kelahiran. Ide soal membatasi ibu-ibu hamil dianggap tabu, melanggar hak asasi, menyemarakkan pelacuran, hingga merusak moral. Ditambah lagi, Pasal 534 KUHP melarang promosi untuk mencegah kehamilan dengan ancaman pidana paling lama dua bulan penjara. Jadilah para dokter bergerak dalam senyap.

Tahun 1957, terbentuklah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) diketuai Raden Suharto, dokter pribadi Sukarno. Pergerakan yang mereka lakukan masih sebatas dari mulut ke mulut, bersifat sukarela, dengan membuka layanan KB diam-diam di beberapa klinik.

Barulah di masa Orde Baru program KB dapat angin segar. Pada 1970, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) resmi berdiri. Soeharto memberi restu dan mendukung penuh KB, dengan slogan terkenalnya: Dua anak cukup! Meskipun ia sendiri dan Bu Tien, istrinya, punya enam anak. 

Hari ini, sudah biasa kita lihat ibu-ibu pasang KB, apalagi setelah lahiran anak pertama. Nasehat banyak anak banyak rezeki perlahan dilupakan karena kenyataan hidup yang menyakitkan.