Jokowi, Megawati, dan Dalil Presiden Petugas Partai
ERA.id - Sutradara Garin Nugroho pernah menulis esai berjudul: Megawati Itu Lucu. Dan rasanya sulit untuk tak setuju dengan Garin. Kemarin, waktu perayaan setengah abad PDIP, Selasa (10/1), perempuan berusia 75 tahun itu memulai pidatonya dengan sebuah pertanyaan, “Kangen apa tidak sama Ibu?” Lucu, kan?
Pidato itu disaksikan ratusan kader partainya dan para pejabat negara yang memenuhi kursi barisan depan, tak ketinggalan juga Presiden Jokowi. Dan bagi Megawati, sejauh apa pun angin politik membawa Jokowi sampai ke kursi presiden dua kali, ia tetaplah kader PDIP, seorang petugas partai.
Pengamat politik Hendri Satrio dari Universitas Paramadina mengamini hal ini saat dihubungi ERA, Rabu (11/1). “Memang kenyataannya kan Pak Jokowi kader, petugas partai,” ucapnya. “Jadi mau diubah gimana? Memang dicatat di PDI Perjuangan kan (Jokowi) kader PDI Perjuangan yang jadi presiden ketujuh. Bu Megawati juga gitu, kader PDI Perjuangan yang jadi presiden kelima.”
Namun, Hendri juga menambahkan, “Yang perlu diingat, itu kan dicatat di internal PDI Perjuangan, tidak dicatat di sejarah Indonesia. Sejarah Indonesia (Jokowi) dicatatnya sebagai presiden ketujuh.”
Konon, Winston Churchill pernah bilang bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang. Dan Megawati jelas merasa dirinya –dan partainya– sebagai pemenang. Maka wajar jika politikus veteran Indonesia itu punya versi sejarahnya sendiri saat membahas Jokowi dan akan selalu ia ungkit tiap ada kesempatan.
“Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan, duh kasihan dah!” ucap Megawati di sela-sela pidatonya kemarin. Jokowi yang duduk di barisan paling depan hanya meringis menampakkan sebaris giginya yang rapi.
Benarkah klaim Megawati?
Sejak beberapa tahun terakhir banyak meme foto Jokowi yang sedang salim dan cium tangan Megawati bertebaran di internet. Orang-orang beropini macam-macam, padahal di luar bingkai politik, itu sewajarnya penghormatan yang dilakukan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua.
Jokowi sendiri terpaut 14 tahun dengan Megawati. Ketika Megawati mau masuk SMA, Jokowi baru lahir. Dan ketika Megawati jadi Presiden Indonesia kelima, Jokowi masih jadi pengusaha mebel di kampungnya, Solo. Dilihat dari segi usia dan karier politik, keduanya terpaut jauh. Meskipun dari segi pertumbuhan karier politik mereka, Jokowi tampak lebih unggul, dan Megawati jelas punya peran di baliknya.
Semua berawal sejak 2004 ketika Jokowi memutuskan bergabung dengan PDIP dan mulai dekat dengan FX Hadi Rudyatmo. Jokowi dan Rudy lantas diusung PDIP dan PKB sebagai pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo pada Pilkada 2005. Keduanya berhasil menang dan karier politik Jokowi naik setingkat lebih tinggi.
Sesudah itu, sisanya adalah sejarah. Berturut-turut Jokowi terus menapaki jabatan yang lebih tinggi lagi. Setelah dua kali terpilih jadi Wali Kota Solo, ia hijrah ke Jakarta dan jadi Gubernur selama dua tahun, sebelum akhirnya ia tinggalkan untuk disumpah sebagai presiden. Terhitung sejak awal karier politiknya hingga kini masih jadi presiden, Jokowi selalu masuk lewat pintu PDIP dan keluar sebagai pemenang.
Maka, sah-sah saja saat Megawati bilang tanpa PDIP entah bagaimana nasib Jokowi. “Normal kok, kan emang Pak Jokowi maju dari PDI Perjuangan,” komentar pengamat politik Hendri Satrio.
Presiden petugas partai atau bukan?
Tahun 2015, pas pembukaan sekolah calon kepala daerah PDIP di Depok, Megawati mengisahkan saat-saat ia memberi kepercayaan Jokowi untuk maju jadi presiden.
“Karena saya lihat kamu akan mampu lebih menjadi pemimpin nasional, maka sebagai ketua umum partai saya memberikan mandat kamu sebagai petugas partai untuk menjadi calon bla bla bla,” ucap Megawati mengenang masa-masa itu.
Ia melanjutkan bahwa PDIP punya banyak anggota partai, tapi tak semuanya mengemban tugas sebagai petugas partai. Baginya, petugas partai PDIP adalah mereka yang duduk di kursi eksekutif, legislatif, dan struktur kepengurusan partai. Jokowi, menurut Megawati, jelas masuk ke dalamnya.
Philips Vermonte, Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), keberatan jika presiden dianggap sebagai petugas partai. Dalam diskusi "Penumpang Gelap di Tikungan" di Jakarta tahun 2015 silam, ia bilang bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial, di mana pusat kekuasaan adalah presiden, dan besar kekuasaannya jauh di atas partai.
"Jadi, saat Jokowi terpilih, ia berdiri di atas semua golongan," ucap Vermonte. "Dia bukan petugas partai lagi."
Dalam hal ini, Vermonte senada seirama dengan kritikan Fahri Hamzah soal situasi perpolitikan di Indonesia. Mantan politikus PKS itu pernah menyinggung bahwa terjadi ambiguitas peran partai politik dalam kehidupan demokrasi kita.
“Hilangkan ambiguitas partai politik dalam negara,” kata Fahri. “Parpol hanya fasilitator, bertugas hanya dalam pengkaderan dan pencalonan.” Ia lantas mengibaratkan parpol sebagai kendaraan yang mengantar penumpangnya ke tujuan. Sesampainya di sana, mereka harus rela melepas penumpangnya turun dan bukan terus menahannya di dalam.
Megawati boleh mengklaim Jokowi sebagai petugas partainya, itulah yang sewajarnya dilakukan seorang politikus. Namun, seorang negarawan tentu akan mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan partai.
Adapun Jokowi, di sisa masa jabatannya ini, tentu boleh memilih antara menjadi politikus atau negarawan. Jika ia memilih yang kedua, ia harus mengingat pesan yang pernah disampaikan Presiden Amerika ke-35 Jhon F. Kennedy, “Kesetiaan saya kepada partai berakhir begitu kesetiaan saya kepada bangsa dimulai.”