Riwayat Majalah Hai, Idola Remaja Lelaki

ERA.id - Carlos María Domínguez pernah menulis novela berjudul Rumah Kertas. Seorang tokohnya dikisahkan membangun rumah menghadap pantai yang pondasi dan batu batanya terbuat dari buku-buku. 

Sementara itu, bagi banyak remaja Indonesia dari generasi ke generasi, tumpukan majalah Hai jadi pondasi dan batu bata ingatan masa muda mereka yang berapi-api. Saksikan bagian kedua dari seri tulisan Senja Kala Media Cetak, “Riwayat Majalah Hai, Idola Remaja Lelaki”.

***

Ahmad masih kelas 4 sekolah dasar waktu pertama berjumpa dengan Si Kribo, seorang remaja agak tengil dalam cerita bersambung yang ada di majalah Hai. Setiap minggu, kakak sulung Ahmad, Iza selalu menyelipkan majalah itu di sela-sela buku paket SMA-nya. Meski sesekali dalam sebulan kakaknya pulang dengan tangan kosong karena menghemat uang jajan, maklum, Hai tahun 2000-an masih dibandrol seharga Rp25 ribu di pulau Jawa.

Iza sendiri mengenal Hai sewaktu mulai sekolah di SMAN 6 Jakarta pada 2005. Ia melihat teman sekelasnya membaca majalah itu saat jam istirahat. Lain hari ia pergi ke toko buku untuk membeli komik favoritnya, Iza sekaligus memboyong pulang majalah Hai dalam tasnya. Sejak saat itu ia hampir mengoleksi seluruh edisi Hai sepanjang tiga tahun hingga lulus SMA.

Ketika keluarga mereka harus pindah rumah dari Pancoran ke Tangerang Selatan, puluhan majalah Hai menumpuk di rak buku bersama koleksi majalah Tempo milik ayah mereka. Dan sama seperti sang ayah yang enggan meloak majalah tak terpakai miliknya, Iza juga kekeh menyimpan koleksinya sebagai kenangan. 

Koleksi majalah Hai tahun 2015-2016. (ERA/Agus Ghulam)

Puluhan tahun berlalu dan ribuan edisi menemani pembaca sejak 1977, majalah Hai akhirnya berhenti cetak pada bulan Juni 2017, setelah sebelumnya Hai berubah dari format majalah mingguan menjadi bulanan. Edisi cetak pamungkasnya menampilkan cover putih sederhana, hanya menampilkan judul WE NEED MORE SPACE besar-besar di bawah logo Hai yang melegenda.

Hai belum mati, hanya berganti baju dari cetak ke digital. “Makanya kita tulis we need more space, karena anak muda tuh nggak bisa dibatesin dapet info cuma di majalah gitu,” ujar Alvin Bahar, lead editor Hai saat dihubungi ERA, Senin (16/1/2023). 

Hari menjelang magrib saat kami asyik mengobrol soal masa lalu dan masa depan Hai, bagaimana mula-mulanya Alvin bergabung ke majalah itu hingga kini ia masih setia mengampu Hai online dan berusaha terus relevan di tengah gempuran media-media online lain dengan judul-judul clickbait.

Hai dari masa ke masa

Hai sebenarnya singkatan dari Hibur, Asuh, dan Ilmu. Hibur, karena ingin memberi hiburan yang bermanfaat. "Sebut saja di antaranya suguhan musik atau film," tulis salah satu artikel Hai edisi 46 tahun 1990. Asuh dari kata mengasuh. "Maksudnya jelas, kita –suka atau tidak– memang masih perlu diasuh, dibimbing," lanjutnya. Sementara ilmu ya memberi ilmu di setiap artikelnya.

Hai mungkin tak lagi dicetak, tetapi ia masih bisa diakses lewat situs hai.grid.id yang tiap harinya menampilkan konten-konten baru, mulai dari liputan spesial, musik, hingga kehidupan sekolah. Meski berubah wujud, Alvin menganggap ada benang merah yang menyambungkan Hai dari puluhan tahun lalu hingga sekarang, dan itu tak lain adalah pembaca mereka.

“Ciri khasnya Hai itu, mau di media yang cetak kek, digital kek, tetap kita pembacanya adalah sama,” ucap Alvin. “Kita kan yang baca anak muda, remaja cowok lebih spesifik lagi.”

Karena itulah, menurutnya, Hai terus beradaptasi dengan kultur remaja di tiap generasi. Walhasil segala perubahan baik tema yang diangkat maupun bentuk tulisan adalah hal yang tak bisa dihindari. “Remaja masa usianya berapa tahun sih? Pembacanya terus berganti cepat, makanya perubahan itu pasti,” jelas Alvin.

Ketika pertama kali Hai lahir, remaja pada era 70-an sedang gandrung-gandrungnya dengan dunia perkomikan. Anak-anak muda banyak mengoleksi judul komik dan obrolan mereka berkisar antara komik-komik yang mereka baca. Maka, pada edisi perdananya, Hai menampilkan komik setebal 36 halaman. 

Berturut-turut setelah itu Hai konsisten menghadirkan berbagai judul komik lokal. Beberapa judul yang terkenal di antaranya Si Rambut Merah dan Pendekar Trigan. Era komik itu berakhir saat masuk dekade 80-an dan para remaja berganti menggandrungi musik dan film. Seiring tren yang berubah, Hai mengemas ulang konten-kontennya dan menerbitkan artikel-artikel musik teranyar hingga ulasan film.

Potongan artikel di majalah Hai edisi 46 tahun 1990. (hai.grid.id)

Menjelang akhir 80-an, makin marak tawuran antar remaja di kota-kota besar. Sekolah-sekolah menengah atas yang bertetangga ramai berseteru dan bersitegang. Lama-lama tawuran menjadi tradisi dan ajang mempertahankan gengsi antar sekolah.

Prihatin dengan kondisi remaja dan kekerasan yang makin banal, Hai akhirnya masuk ke gelanggang. Pada tahun 1989, Hai mengumpulkan ‘jagoan-jagoan’ antar sekolah dan mempertemukan mereka di Gelanggang Bulungan Jakarta untuk beradu bakat dan seni. Acara ini kemudian lebih dikenal dengan nama Pesta Pelajar dan kelak jadi cikal bakal Pentas Seni (pensi) yang masyhur diselenggarakan sekolah-sekolah ternama di era 90 hingga 2000-an.

Memasuki tahun 1990-an, Hai mulai memberi panggung untuk cerita pendek (cerpen) dan cerita bersambung (cerbung). Pada era itu, siapa yang tak kenal dengan kisah Lupus, remaja lelaki berjambul ala John Taylor yang selalu mengunyah permen karet? Hai melambungkan nama Lupus berikut Hilman Hariwijaya sebagai penulisnya. Nama-nama penulis seperti Gola Gong hingga Bubin Lantang juga mulai dikenal lewat Hai.

Pada abad 21, rubrik Hai kian beragam dan jumlah halamannya kian berlimpah, dari tadinya 36 halaman menjadi 80 halaman berwarna. “Pasti berubah, karena remaja sedinamis itu. Kalo kita nggak ngikutin ya kelar,” ucap lead editor Hai, Alvin Bahar. “Kayak 70-an sampe sekarang, ya selalu berubah, entah logonya, covernya…”

Cerita dari meja redaksi

Alvin mengawali perjalanannya di Hai dari seorang freelancer sejak tahun 2012 silam. “Gua bukan pembaca yang beli tiap minggu, gua baca entah di sekolah ada yang beli atau di perpus,” ujar Alvin.

Pada Maret 2012, Hai mengadakan giveaway untuk nonton Hammersonic, syaratnya harus mengirim tulisan apa saja. Alvin lalu mengirim review salah satu album favoritnya dan tulisannya menang. “Tiga bulan kemudian gua ditelpon lagi, diminta nulis di sana,” kenang Alvin.

Ia menjadi freelancer kurang lebih empat tahun dan menyetor 8-10 tulisan saban bulan. “Sebulan dapet Rp1,5 juta,” ujarnya. Pada waktu itu, Hai sudah mulai merambah ke online dan Alvin dipasrahkan untuk menulis di sana. Tahun 2012 baru ada seorang penulis untuk Hai online dan dua freelancer, termasuk Alvin. “Tahun 2016 awal gua ditawarin jadi karyawan.”

Dari tahun ke tahun, menurutnya, kunjungan di website Hai terus naik, sedangkan penjualan majalah cetak terus turun walaupun harganya sudah dipangkas jadi Rp15 ribu. “15 ribu mending beli kuota, atau rokok mungkin daripada beli majalah,” ujar Alvin sambil tertawa. “Akhirnya sebelum 2017 dicoba majalahnya terbit sebulan sekali, cuman kita lihat kalo mau maju ya emang harus di online.”

Majalah Hai. (ERA/Agus Ghulam)

Selain Alvin, kami juga menghubungi eks reporter Hai, Satria Perdana. Sama seperti Alvin, Satria memulai karir di majalah itu dari freelancer pada tahun 2013. Lalu pada Februari 2014 ia diangkat sebagai head reporter untuk rubrik sekolah, dengan kontributor yang tersebar dari Makassar, Surabaya, Bandung, Jogja, hingga Jabodetabek.

“Agak nyasar sih sebenarnya,” kata Satria. Ia bercerita bahwa awalnya ingin fokus menulis di musik, tapi nasib membawanya untuk bergaul dengan anak-anak SMA dan meliput berita yang ada di balik gerbang sekolah. “Jadi nulis seputar kurikulum, tren-tren sekolah.”

Untuk mendapat bahan-bahan liputan, Satria harus berbaur dengan tongkrongan pelajar di kantin-kantin hingga warung. Beruntung ia yang lulusan SMAN 97 Jakarta punya banyak kawan dan relasi yang masih terjaga. Empat tahun bekerja di Hai dan meliput berbagai fenomena anak muda, banyak yang sudah ia lupakan. Namun, beberapa masih mendekam di ingatannya, seperti saat meliput peredaran narkoba di sekolah. 

“Waktu itu taruhan nyawa bos!” Satria bercerita sambil setengah tertawa. Ia awalnya tahu soal itu dari mendengar kasak-kusuk anak-anak tongkrongan di bilangan Blok M. Setelah menyelidiki sana-sini, akhirnya ia mendapat kontak ke sang pengedar. “Gua ketemu di Senayan City, dia bawa tas bapak-bapak gitu.” Ia sengaja memilih titik temu yang agak ramai karena takut dicelakai atau diculik.

Tahun 2016, tepat setahun sebelum Hai hijrah ke digital, Satria lebih dulu hijrah ke Hello Sehat untuk menyambung nasib. Ia lalu pindah dari satu tempat ke tempat lain dan tetap menjadi penulis. Ia masih mengikuti Hai di media sosial, tapi hanya sesekali mampir ke website-nya. Saat kami tanya apa yang hilang setelah Hai tak lagi terbit cetak, Satria sempat berpikir lama dan menghabiskan hampir satu menit termenung. 

“Hmm… soul-nya, mungkin?” Ia membuka suara. “Tapi Hai masih ada ciri khas, berusaha untuk jadi media musik, itu.”