Ngobrol Bareng Romahurmuziy: Politik Bukan Tempat Bagi Orang Idealis
ERA.id - Kami tiba di Condet, Jakarta Timur tepat saat orang-orang bubar salat Jumat (27/1/2023). Mengikuti petunjuk arah yang dibagikan narasumber, kami berhenti di depan gerbang kayu tinggi yang menutupi sempurna rumah di baliknya. Tak sampai lima menit lelaki yang kami tunggu tiba, Muhammad Romahurmuziy, eks Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan di partai berlogo Kakbah itu.
Lelaki yang akrab disapa Gus Romy itu mengajak kami masuk dan memarkir mobil di halaman rumahnya yang teduh dan seperti joglo. Ia masih bersarung dan izin berganti baju. Kami menunggunya di ruang tamu yang terbagi dua sisi dan tampak simetris, penuh ukiran khas Jawa.
Gus Romy menemui kami kembali dengan kemeja biru dan senyum lebar di muka. Kami berkenalan singkat dan ia meminta maaf karena lama membalas pesan kami. "Belakangan saya lebih sering di Jogja dan cuman nerima panggilan dari nomor-nomor yang dikenal," ucapnya.
Setelah diangkat menjadi Ketua Majelis Pertimbangan PPP Desember 2022 lalu, ia berniat untuk lebih sering tampil lagi di media, membantu menaikkan suara dan pamor partainya kembali. Jumat itu percakapan kami mengalir dengan halus, ia menghafal nama kami dengan presisi, dan menceritakan apa saja kesibukannya selama hilang dari ingar-bingar media.
"Saya punya dua hp, yang satu untuk urusan bisnis, yang satu politik," ucapnya sambil menunjukkan salah satu hpnya. "Kalau dua-duanya berdering, saya bakal angkat yang bisnis duluan, hahaha." Alasannya sederhana, karena itu yang lebih menguntungkan.
Kami mengobrol hampir dua jam di rumahnya. Ia mengaku kembalinya ke politik akan bikin geger orang-orang dan pasti panen hujatan. Namun, ia tak peduli. "Politik itu cara kita mengekspresikan keyakinan kita tentang bagaimana kekuasaan harus diselenggarakan," ucapnya. "Apalagi kalau di dalam Islam kita meyakini bahwa politik itu bagian dari jihad."
Sepanjang satu jam ia menggugat sistem politik Indonesia yang ongkosnya mahal, dan baginya, itu menjadikan korupsi sebuah keniscayaan. Ia bilang, "Politik bukan tempat orang idealis, itu tempatnya orang-orang kompromis." Berikut ini isi percakapan lengkap kami bersama Gus Romy.
Gus Romy bebas dari tahanan KPK itu April 2020, diangkat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PPP akhir tahun lalu, jarak waktu dua tahun ke mana saja?
Lebih dari dua tahun ya, saya kembali mengurus bisnis saya. Ada beberapa usaha yang memang sudah saya bangun sebelum saya masuk ke politik, dan juga melebarkan sayap dari usaha-usaha yang ada. Ya alhamdulillah sangat menikmati itu. Karena betul-betul setelah 14 tahun ke mana-mana pakai voorijder, kita menikmati sekarang menjadi orang biasa, menjadi orang awam, dan rasanya betul-betul merdeka. Enggak ada beban. Kita ketemu orang juga santai.
Makanya saya jujur agak kaget ketika kemarin diumumkan atas permintaan Dewan Pengurus Pusat (DPP) kembali menjadi ketua majelis pertimbangan, reaksi di media cukup ramai ya. Saya kaget juga, wah ini sudah hilang tiga tahun masih rame juga. Tapi memang saya waktu itu membatasi diri tampil di media sosial, saya juga tidak berinteraksi dengan teman-teman media. Karena memang kita sedang membangun sesuatu. Namanya membangun sesuatu kan enggak perlu diumumkan.
Pertimbangan untuk mengiyakan tawaran jadi Ketua Majelis Pertimbangan PPP?
Pertama, permintaan dari seluruh daerah. Selama tiga tahun itu kan, meskipun saya tidak duduk lagi di partai, hampir setiap hari kawan-kawan cabang dan wilayah itu datang. Karena saya selama pandemi banyak di Jogja ya, kota kelahiran saya, di sana saya kembali ngurusin pesantren dan sekolah yang sedang saya buat, itu mereka datang. Artinya mereka meluangkan waktu sampai datang ke Jogja.
Mereka meluangkan waktu dan meminta, “Gus sudahlah, kembalilah, enggak ada Gus Romy rasanya partai ini kurang meriah, kurang hidup, dan seterusnya.”
Saya sudah berkali-kali menyampaikan, “Jangan, nanti kalian loh yang dapat efeknya kalau saya kembali, pasti dihajar kanan-kiri.” Saya sudah bilang begitu. Dan ternyata waktu itu mereka sampaikan, “Kalau itu yang akan dilakukan kepada Gus Romy, kami yang akan ada di depan.” Dan itu yang mereka lakukan. Jadi mereka kemarin semua pasang badan. Karena bagi yang tahu peristiwa saya sesungguhnya, terutama kawan-kawan di internal PPP, mereka tahu bahwa itu semuanya rekayasa.
Satu kata saja pada waktu saya saat itu, dalam tanda petik, dijudulkan sebagai Operasi Tangkap Tangan (OTT), menginjak kaki Gedung Merah Putih itu saya menyampaikan, “Saya dijebak.” Cuman satu kata itu saja.
Siapa yang jebak? Saya enggak jawab lagi, biarlah waktu yang nanti membuktikan. Jadi rekayasa itu memang bagian dari pertarungan politik pada saat itu, terutama pemilihan presiden (pilpres). Tapi itulah risiko seorang politisi. Ketika seorang politisi menjadi pejabat publik, satu kakinya sudah ada di penjara, satu kaki lagi tinggal nasib dan takdir dari Allah. Kira-kira apes-apesan lah.
Setelah dua kaki Gus Romy benar-benar masuk ke penjara, rasanya bagaimana?
Buat saya itu rehat. Satu tahun. Karena sudah lama kita enggak beribadah sekhusyuk itu. Karena kan enggak ada yang ganggu kan. Orang menengok pun seminggu hanya dijatah dua kali. Jadi di luar waktu itu semuanya waktu milik kita sendiri. Jadi ya, rehat. Setelah masa kesibukan yang luar biasa selama bertahun-tahun, saya merasakan rehat. Jadi keluar itu fresh. Dan di dalam saya bisa menyusun konsep-konsep untuk pendidikan yang kemudian sekarang saya tekuni.
Soal kasus yang memasukkan Gus Romy ke sana, tadi Gus bilang rekayasa, itu risiko berpolitik, kira-kira kenapa Gus yang disasar?
Ya karena pertarungan politik pilpres. Karena waktu itu memang ada indikasi bahwa suara Pak Jokowi dari kalangan umat Islam, khususnya warga nahdliyyin itu direpresentasikan melalui dukungan dari dua partai politik kan, PPP dan PKB.
Dan waktu itu dalam proses pertarungan, analisis semua survei menunjukkan bahwa sayap nasionalis pendukung Prabowo dan sayap nasionalis pendukung Jokowi itu udah enggak bisa geser dukungan. Jadi apa pun yang terjadi yang Jokower akan tetap Jokowi, Prabowo mania ya pilih Prabowo.
Cuman sayap Islam yang ada di kedua pendukung ini, baik yang di Jokowi maupun di Prabowo, masih bisa bergeser menurut survei, karena mereka tingkat fanatismenya tidak setinggi yang nasionalis. Nah upaya untuk menggeser ini dilakukan dengan "menghancurkan" pintu dukungan umat islam kepada Pak Jokowi.
Jadi ini kemudian yang pada waktu itu terimplikasi di dalam proses pertarungan-pertarungan "seolah-olah menggunakan baju hukum" menuju kontestasi pilpres gitu. Ya tentu kalau mau ditanya siapa orangnya saya tahu, hanya kan tidak sepatutnya saya sampaikan di sini, toh sudah berlalu begitu. Hanya karma itu kan berlaku, entah kapanlah, kalau enggak di dunia ya di akhirat nanti, gitu aja.
Dulu OTT itu di berita Rp50 juta ya?
Kayaknya saya sudah lupa kapan punya uang Rp50 juta itu. Bukan apa-apa ya, maksud saya, sebagai pengusaha ya transaksi (sebesar itu) sudah kita lakukan di tahun 2000 dulu gitu. Ini tahun 2019 kemudian kita disangkakan dengan angka itu ya betul-betul apa ya?
Kata kawan-kawan di PPP, "Kami pun juga sudah tahu kok Gus." Kira-kira begitu jawaban mereka. Kentara sekali gitu sangkaan itu. Jadi ya sudahlah bagi saya, saya ikhlas menerima itu dan menjadi bagian dari perjalanan hidup untuk diambil pelajaran. Dan tidak juga mengendurkan semangat saya untuk berpolitik.
Politisi sejati itu pasti akan tetap berada di politik karena dia seperti dokter. Jadi kalaupun dokter melakukan malpraktik tidak ada pencabutan hak berpraktik. Masa enggak boleh jadi dokter lagi? Nah kira-kira begitu lah. Pelawak slip of tongue kemudian dia dihukum, balik lagi, masak enggak boleh jadi pelawak?
Sama, politik ya balik ke politik, malah saya justru mengajak seluruh mantan terpidana korupsi mari kita sama-sama kembali ke politik dan partai politik, karena kita sudah pernah mendapatkan pelajaran pahit kan? Sehingga kita akan lebih berhati-hati, kita juga menjadi lebih arif dan bijaksana ketimbang sebelum kita terkena persoalan.
Gus Romy bilang politikus itu satu kakinya sudah ada di penjara, berarti siapa pun yang masuk di politik itu berisiko untuk terkena rekayasa kasus yang sama?
Iya, apalagi di Indonesia ya. Di Indonesia ini kan biaya politik sangat tinggi dan tingginya itu sudah sangat tidak rasional. Bayangkan misalnya sekarang jadi kepala daerah itu mungkin angkanya sudah sekitar Rp20 miliar untuk maju, dia mendapatkan penghasilan resmi sebagai bupati atau wali kota paling Rp5 miliar aja selama 5 tahun.
Nah karena itu, korupsi itu menjadi sebuah keniscayaan karena dia harus mengembalikan uang yang dia keluarkan, kecuali kalau niatnya dari awal memang pengabdian dan uangnya uang sendiri, bukan uang utangan. Kalau uang utangan kan dia harus kembalikan.
Jadi di tengah politik Indonesia yang biayanya sangat tinggi, saya meyakini menjadikan ketika dia menjabat korupsi adalah keniscayaan. Jadi bisa dikatakan hampir seluruh pejabat publik yang juga mereka bergerak di dunia politik itu saya katakan melakukan korupsi, sekurang-kurangnya korupsi waktu.
Yang membedakan ada lima. Pertama, ketahuan atau tidak gitu ya. Kedua, besar dan kecilnya. Ketiga, modus operandinya. Ada yang pakai anggaran fiktif, ada yang mark up, ada yang under spec, ada yang makelaran, macam-macamlah gitu. Keempat, bisa dibuktikan atau tidak kalau sudah ketahuan. Kelima, banyak sedekahnya atau enggak? Katanya kalau banyak sedekah bisa selamat dia.
Dalam artian nyuap sana-sini Gus?
Hahaha. Jadi di Indonesia rasanya kalau saya boleh bicara jujur itulah yang terjadi. Hanya kan bangsa ini lebih memilih menjadi munafik ketika berbicara di media. Artinya di media konvensional maupun media sosial selalu yang disampaikan itu yang berbunga-bunganya.
Apakah bisa pejabat publik itu tidak korupsi? Bisa, sangat bisa. Apakah bisa dia terpilih untuk semakin populer, semakin naik dengan tetap menjaga dirinya bersih? Bisa dan sangat bisa. Apakah ada? Ada. Berapa banyak? Sangat sedikit.
Kenapa orang-orang yang tadi saya katakan bisa bersih kemudian bisa tetap populer, bisa tetap terpilih dan semakin naik karirnya? Bisa jadi ketika dia pertama kali berangkat itu karena dia memang tidak menggunakan uang atau dia menggunakan uang yang sangat sedikit yang masih dalam hitungan yang wajar.
Kenapa? Karena memang popularitasnya sudah tinggi atau partai pengusungnya sangat kuat. Tapi orang-orang seperti ini kan naik dengan pengorbanan orang-orang yang keluar uang, karena di politik Indonesia biayanya itu tetap tinggi. Tidak kemudian dia keluarnya sedikit karena memang biaya politiknya rendah, enggak. Biaya politiknya tetap tinggi, yang keluar bukan dia, yang keluar partainya, yang keluar orang-orang yang membantu dia.
Jadi di balik orang-orang atau pejabat-pejabat publik untuk jabatan yang dipilih bisa dikatakan selalu ada orang kotor yang membiayai itu. Artinya selalu ada orang yang membiayai itu, bisa dari kantong sendiri, bisa dari kantong partai yang mengusungnya, bisa dari para penyumbang-penyumbang yang ketika pada gilirannya naik dia minta kompensasi.
Bagaimana untuk menyelamatkan situasi politik yang seperti ini?
Saya sudah pernah usulkan, tetapi kan usulan ini direspons tidak secara totalitas. Contoh paling sederhana biaya yang diberikan kepada partai politik untuk melakukan pengelolaan partai sebagai pilar demokrasi. Karena kita memilih jalan demokrasi, maka ada partai politik. Karena ada partai politik, maka dia harus dibiayai.
Nah, sekarang setiap partai memiliki kompensasi atau pembiayaan Rp1.000 untuk setiap suara yang didapatkannya. Jadi seperti PPP dapat Rp6,35 miliar, karena suara kita 6,35 juta. Itu sudah dinaikkan dari dulunya hanya Rp100, jadi udah naik 10 kali lipat itu zaman Pak Jokowi, tetapi itu tidak cukup.
Bisa dibayangan enggak dengan uang Rp6,35 miliar itu mengelola partai se-Indonesia? Sangat tidak rasional sebenarnya, karena total dengan suara sah pemilu kemarin mungkin sekitar 123 juta itu hanya Rp123 miliar, sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita itu Rp2.970 triliun, jadi terlalu jauh gap-nya itu.
Jadi mestinya bukan lagi bicara angka per suara itu Rp1.000, semestinya Rp10 ribu atau malah Rp100 ribu gitu, sehingga kemudian partai-partai itu tidak lagi menugaskan anggota-anggotanya untuk cari duit, ya kan?
Ketua umum partai politik itu kalau saya gambarkan seperti film Mission Impossible, jadi kamu cari duit silakan, tapi kalau kamu atau anggotamu ada yang ketangkap saya enggak ikut-ikutan. Nah, kira-kira begitu. Itu kan karena memang kurang untuk biayain.
Sekarang ngurusin pembayaran sekretariat aja dan rutin di DPP setiap partai, setiap bulan ratusan juta dari iuran anggota di DPR, mana cukup? Ini yang saya katakan tidak ideal. Jadi salah satu caranya adalah saya selalu rewel dari dulu soal pembiayaan partai politik itu dibereskan. Selama urusan pembiayaan partai politik tidak dibereskan, korupsi di sektor politik akan terus berjalan.
Kedua, menutup semua celah dan kemungkinan adanya conflict of interest di dalam pengelolaan kekuasaan. Lalu bagaimana menghilangkan conflict of interest dengan keberadaan BUMN?
BUMN kita ini sekarang ada 141, assetnya kurang lebih Rp14 ribu triliun, tapi dia hanya mampu memberikan keuntungan atau deviden kepada negara di APBN ini Rp49 triliun. Padahal itu dimodalin sejak republik ini ada. Sekarang assetnya Rp14 ribu triliun punya keuntungan cuma Rp49 triliun itu kalau dihitung kurang lebih hanya 0,3 persen lebih rendah daripada rate bunga deposito yang 2 persen.
Bandingkan dengan cukai rokok yang tahun 2023 ini Rp232 triliun tanpa negara pernah memodali. Jadi dari situ saja sudah kelihatan bahwa sebenarnya BUMN itu tidak efisien dalam bahasa yang halus, dalam bahasa kasar korupsi.
Bagi saya lebih baik BUMN ini semuanya diswastanisasi, dijual, hanya tidak boleh kepada asing. Dijual kepada anak bangsa sendiri sehingga tidak ada penguasaan oleh asing kepada sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Jadi tidak ada lagi intervensi-intervensi yang dilakukan oleh negara untuk menempatkan seseorang menjadi komisaris BUMN, seseorang menjadi direksi BUMN begitu.
Bagi-bagi posisi?
Iya, selama ini kan seluruh rezim mempraktekan bahwa komisaris BUMN itu ditempati oleh relawan-relawan pendukung presiden terpilih, kemudian orang-orangnya dikirim oleh partai politik, kan begitu. Kalau ke depan BUMN diswastanisasi akan lebih banyak manfaatnya untuk negara seperti sektor rokok memberikan cukai Rp230 triliun, lima kali lipat dibanding Rp49 triliun yang diberikan oleh deviden BUMN.
Bagi saya sekali lagi mari kita sama-sama menjual BUMN ini pada angka yang paling optimal. Bayangkan, Rp14 ribu triliun, kalau dijual sama dengan nilai asetnya saja, maka Rp7 ribu triliun bisa untuk ngelunasin utang, yang Rp7 ribu triliun sama dengan 2,5 kali lipat APBN kita, bisa bangun yang lain.
Selain banyak orang yang masih percaya ke Gus Romy dan PPP, banyak juga yang kecewa. Apa yang Anda usahakan untuk meyakinkan masyarakat kembali?
Saya enggak pernah meyakinkan masyarakat supaya percaya lagi sama saya, karena sebanyak itu yang suka kamu, sebanyak itu juga yang enggak suka. Jadi biarkan saja anjing menggonggong kafilah tetap berlalu begitu.
Yang kedua, bagi saya yang penting adalah menyemangati kembali konstituen PPP untuk mereka menggelar pengaruh lebih besar dan lebih luas lagi, dengan pengetahuan, dengan pengalaman, dengan kemampuan yang saya miliki, dan itulah yang saya lakukan.
Yang ketiga, di Indonesia itu isu korupsi tidak merupakan isu sentral dalam pengelolaan partai politik, karena salah satu partai politik di Indonesia yang cukup besar, dia juga dihuni oleh banyak terpidana korupsi, tapi toh masyarakat tetap percaya. Jadi sebenarnya bukan isu sentral, jadi sepanjang masyarakat ikut sejahtera.
Kita lihat misalnya di China, enggak ada demokrasi kan di sana? Tapi masyarakatnya mengalami peningkatan kesejahteraan yang luar biasa selama beberapa dekade terakhir, jadi enggak ada ribut-ribut juga.
Singapura kita tahu persis di sana oposisi hanya lima atau enam kursi gitu, dari 100 kursi di DPR, dan juga enggak ada yang menyoal. Karena Singapura adalah negara dengan pendapatan per kapita keempat tertinggi di dunia. Jadi orang sana juga enggak menyoal.
Orang boleh berdebat dan orang boleh marah ya, “Berarti kamu anti demokrasi?” Enggak. Nyatanya yang enggak demokrasi pun bisa makmur. Hanya, negara ini kita semua mayoritas memilih jalan demokrasi. Tapi kalau nanti suatu saat muncul tokoh yang tiranik dan mampu menyejahterakan, jangan-jangan demokrasi kita dibuang.
Otoriter tapi masyarakat sejahtera?
Iya, jadi otoriter, cerdas, memakmurkan begitu ya. Tapi tiranik. Bisa saja itu, suatu saat.
Sosok yang seperti itu ideal jadi pemimpin?
Enggak ideal. Karena dia kan harus jadi tiranik, di alam demokrasi jelas dia anti demokrasi. Tetapi sesekali model kepemimpinan di Asia Timur ini kan kebanyakan begitu ya. Singapura punya Lee Kuan Yew yang bisa dikatakan sangat dominan ya. Kita juga mengalami kemajuan luar biasa pada waktu dipimpin oleh Pak Harto, yang juga sangat otoriter begitu. Filipina dipimpin Marcos. Kemudian Malaysia lama dipimpin Mahathir Mohamad, lawan-lawan politiknya juga dihabisi.
Artinya, tipikal kepemimpinan di Asia Timur, atau di Asia Tenggara ini, pada umumnya karena warna masyarakatnya itu patron-klien, maka membutuhkan pemimpin yang kuat. Menyamakan visi 280 juta orang itu enggak mudah. Dia harus otoriter untuk mengambil keputusan. Karena kalau enggak, mendengarkan semua orang, bisa enggak jalan-jalan. Jadi, kalau ditanya tentang 2024 yang punya potensi seperti ini ada enggak? Enggak. Enggak ada.
Kalau Gus Romy menilai diri sendiri, sebagai seorang politikus yang seperti apa?
Enggak bisalah. Masak kita menilai diri kita sendiri? Biar orang lain deh yang menilai. Dan saya enggak terlalu peduli penilaian orang, apalagi setelah mengalami peristiwa yang memberikan pelajaran luar biasa ya. Bagi saya enggak penting penilaian orang itu. Karena urusan kita dalam hidup ini kan cuman sama yang menciptakan kita.
Kalau kemarin-kemarin mungkin saya masih berapa follower? Berapa like? Berapa dislike? Komentar negatif berapa? Tone positif berapa? Netral berapa? Itu menjadi sangat saya perhatikan menjelang 2019, tapi hari ini saya enggak peduli tuh.
Biarin orang mau ngomong apa?
Iya, mau ngomong apa terserah, lu mau komentar apa juga terserah. “Enggak malu nih orang?” Buat apa malu? Malu itu urusan kita sama Allah, enggak urusan sama manusia. Ngapain? Buat saya kan itu saja, apalagi saya katakan tadi, hampir semua pejabat publik di Indonesia itu korup. Tinggal tadi ketahuan atau tidak? Besar atau kecil? Modusnya gimana? Itu aja.
Jadi bagi saya bukan hal yang anehlah orang mengomentari negatif. Itu hak mereka dan hak saya juga untuk mengata-ngatai mereka. Tahu apa lu? Ya kan. Dan saya yakin pada akhirnya ketika mereka berdebat dengan saya, udahlah pasti kalah semualah. Karena kita juara debat dari dulu kan.
Jadi saya udah enggak terlalu peduli dengan kesan orang, komentar orang, saya enggak suka dia kasih komentar di wall saya ya saya tendang saja. Ngapain? Kalau dulu kita pertimbangkan, wah kita kan butuh follower tambah banyak begitu.
Politik itu persepsi, kalau Anda mau menjadi politisi yang semakin meningkat popularitasnya akseptabilitasnya, Anda pasti akan sangat berhati-hati. Saya hari ini tidak dalam ambisi untuk mengejar jabatan publik tertentu, saya tidak ada target tertentu untuk menjadi apa pun di republik ini, yang saya sampaikan hari ini adalah realitas politik.
Dan mungkin akan banyak yang kupingnya merah. Terutama teman-teman saya yang politisi, yang masih harus menjaga ritme dan wajah seolah-olah itu hanya yang bagus-bagus, seolah-olah yang ideal saja. Nanti akan semakin pedas ke depan yang saya sampaikan. Sering-sering aja nanti kita berbicara gitu ya. Karena saya tahu semua kok. Hanya kan saya sampaikan ini pelan-pelan saja.
Di-spill sedikit-sedikit ya?
Ya, kasih spoiler lah dikit-dikit. Nanti pada saatnya orang makin, wah sialan nih anak nih, kira-kira begitu, tapi ya biarkan saja. Enggak ada urusan saya sudah.
Nyaris enggak sih 2019 andai saja enggak kesandung itu, Gus bisa juga bergabung di kabinet Pak Jokowi yang sekarang?
Enggak tahu juga ya. Bagi saya membicarakan masa lalu itu kan lebih baik untuk perenungan saja, untuk melangkah ke depan seperti apa. Karena kalau kita terlalu banyak nyupir dengan melihat spion, nabrak kita. Jadi saya melihat ke depan saja.
Ke depan sih bagi saya PR-nya adalah bagaimana menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada partai yang saya ada di situ. Apalagi saya diminta untuk menjadi majelis pertimbangan partai. Tentu hal-hal yang positif yang bisa memberikan kontribusi suara, termasuk meluruskan semua anggapan masyarakat, ada yang miring ke saya juga saya jelaskan kok, apa adanya.
Karena orang kemudian cenderung menyamaratakan ya. Katakanlah korupsi yang dituduhkan kepada saya itu dianggap benar karena sudah menjadi keniscayaan di pengadilan, orang yang masuk penjara itu tidak semua salah. Dan orang yang salah lebih banyak yang tidak dimasukpenjarakan. Yakinilah itu. Kenapa? Karena keterbatasan penjara kita.
Sebenarnya koruptor lebih banyak itu yang di luar penjara. Jadi yang ada di penjara itu belum tentu semuanya korupsi, yang di luar itu banyak koruptor yang belum masuk penjara. Karena belum ketahuan dan tidak bisa dibuktikan tadi. Atau karena banyak sedekahnya gitu. Jadi itu satu.
Kemudian yang kedua, besar dan kecilnya juga lihat dong. Urusan Rp50 juta sama Rp50 triliun kan beda. Masak dengan urusan Rp50 juta kita enggak boleh berkarir lagi? Ya saya lawan kalau itu, karena itu enggak ada urusannya. Jadi tidak ada yang bisa menghentikan dengan urusan labeling-labeling itu.
Dan yang terakhir, saya juga ingin menyerukan kepada rekan-rekan yang enggak setuju kembalinya terpidana korupsi kembali. Kalian punya agama atau tidak? Kalau kalian punya agama, kalian kan punya konsep tobat. Saya yakin teman-teman yang sudah ada di dalam itu mengalami transendensi spiritual yang luar biasa dibandingkan yang masih ada di luar, saya jamin. Seratus persen.
Pasti salatnya lebih khusyuk yang ada di dalam. Tobatnya beneran dibanding yang masih ada di luar, apalagi yang belum ketahuan tadi. Di dalam Islam ada konsep istidraj, memang mereka dibiarkan oleh Tuhan. Jadi yang sebenarnya lebih diberikan kesempatan, sekurang-kurangnya mengurangi dosa yang ada di dunia, ya orang-orang yang sudah ada di dalam. Jadi jangan juga kemudian menutup pintu orang-orang yang sudah bertobat seperti ini.
Terakhir nih, sebelum saya pamit, Gus Romy bayangan masa tua yang bahagia ingin seperti apa? Ini di luar politik ya.
Saya dari kecil bercita-cita menjadi kiai. Karena memang saya ditinggali pondok pesantren oleh orang tua saya dan sekarang alhamdulillah terus berkembang dan terus berjalan, jadi masa tua saya akan kembali menjadi pendidik.
Di Jogja?
Di Jogja. Dan untuk itu saya sudah menyiapkan, karena bagi saya pendidikan itu adalah cara kita membentuk dan menyumbangkan kemampuan, waktu, tenaga, dan pikiran kita kepada masa depan. Dan yang kedua, itulah cara kita memberi manfaat kepada sesama.