Kesaksian Warga Bidara Cina di Pinggir Proyek Sodetan Ciliwung
ERA.id - “Daerah sini dulu dikenal dengan Kampung Sayur,” ucap Samsuri, anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) Bidara Cina saat ditemui ERA, Senin (30/1/2023). “Banyak pendatang, tapi rata-rata turun-temurunnya ini sudah menjadi warga sini. Dan rata-rata orang tuanya yang pendatang, dan orang tuanya rata-rata sudah almarhum. Kayak saya begini sudah dianggap penduduk asli sini.”
"Saya lahir, besar di sini. Usia saya sekarang 57 tahun."
Lelaki kelahiran 1966 itu menemui kami di Gang Sensus RW 04 Bidara Cina, depan warung kopi bercat biru milik temannya, Uyung. Samsuri mengenakan jaket hitam dengan lengan berwarna hijau yang ritsletingnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaos polo abu-abunya yang lusuh. Sambil sesekali membetulkan posisi kacamata berbingkai kotaknya, ia mengantarkan kami menuju tempat proyek Sodetan Ciliwung berlangsung.
Suara-suara kerja proyek sudah terdengar dari kejauhan, dan moncong crane berwarna kuning tampak mencuat di antara rumah-rumah warga yang berdempetan. Beberapa kali kami berpapasan dengan pekerja dengan helm proyek yang sedang istirahat makan siang. Hari tidak terik atau mendung. Namun, suasana di sekitar kami terasa menyengat ketika bertemu Atik, seorang warga RW 04 Bidara Cina yang rumahnya terdampak proyek Sodetan Ciliwung.
Kami bertemu Atik lebih dulu beberapa menit sebelum Samsuri tiba, ketika kami sedang memantau lokasi untuk pengambilan gambar. Perempuan berusia setengah abad itu duduk di tangga warungnya yang berhadap-hadapan langsung dengan lokasi proyek. Matanya terus mengekor gerak-gerik kami. Saat kami mendekati papan besi yang membatasi proyek dengan pemukiman warga, suara Atik menyambar dari belakang, “Dari mana Mas?” Tiada senyum di wajahnya. “Wartawan ya?”
Ia lalu menahan kami untuk melangkah lebih jauh. “Kemarin ada wartawan datang tanpa pendampingan, enggak ada izin dari lurah, RW, foto sana-sini, kita warga yang ribut sama security,” ucap Atik. “Sekarang sudah damai, jangan dibentur-benturin lagi.”
Kami menjelaskan sudah izin ke pihak kelurahan dan janjian dengan Samsuri. Atik menatap kami ragu-ragu, menelepon Samsuri, dan memastikan kawannya itu cepat datang ke sana. Setelah menutup panggilannya, sikap Atik melunak meski masih jarang tersenyum. Ia meminta kami menunggu Samsuri dan melarang kami melewati pagar.
“Ini sampai ke sini sudah dibeli, punya pemerintah, batasnya sampai sini aja.” Ia menunjuk jalan setapak depan warungnya. Kami izin pamit sebentar untuk menunggu Samsuri di warung kopi dekat pintu masuk Gang Sensus. Selang beberapa menit lelaki itu datang dan kembali mengantar kami menemui Atik yang sudah bisa dibercandai.
“Maaf kalau tadi agak ketus, masih agak sensitif soalnya,” ucap Atik saat kami datang untuk kedua kali. Kami lanjut mengobrol dengan Atik dan Samsuri hingga jam makan siang para pekerja proyek habis dan satu per satu kembali ke pos masing-masing. Tanah di sekitar situ becek dan penuh jejak sepatu yang saling menumpuk.
Lika-liku proyek Sodetan Ciliwung sejak era Jokowi
Sodetan Kali Ciliwung aslinya adalah proyek milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC). Sementara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ditugasi untuk urusan pembebasan lahan.
Ide besarnya adalah mengalirkan sebagian debit Kali Ciliwung ke Kanal Banjir Timur dengan menghubungkannya melalui terowongan sepanjang 1,26 kilometer dan berdiameter 3,25 meter. Proyek senilai Rp1,2 triliun itu digadang-gadang mampu mengurai ancaman banjir Jakarta.
Inlet atau pintu masuk air digali dari bantaran Ciliwung di Kelurahan Bidara Cina. Dari sana, terowongan akan dibor sepanjang Jl. Otista III menuju Kanal Banjir Timur atau Kali Cipinang. Karena itulah, perlu pembebasan lahan di Kelurahan Bidara Cina (lokasi pembangunan inlet sodetan) dan Kelurahan Cipinang (lokasi pembangunan outlet sodetan) sebab kawasan itu masih jadi pemukiman warga.
Proyek ini sudah berjalan sejak Jokowi masih menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2013 silam. Menjelang sepuluh tahun sejak saat itu dan Jokowi sudah dua kali jadi presiden, ia meninjau kembali proyek tadi bersama Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Selasa (24/1/2023), sambil berkomentar sana-sini.
"Mungkin April Insyaallah sudah selesai Sodetan Ciliwung yang sudah berhenti enam tahun," ujar Jokowi. "Saya juga kaget dikerjakan oleh Pak Gubernur Heru, saya nggak tahu pendekatannya apa, tapi selesai."
Ketika ditinggal Jokowi jadi presiden, proyek ini diteruskan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang naik jadi gubernur. Pada tahun 2015, mantan Bupati Belitung Timur itu melakukan pembebasan lahan di Bidara Cina dan setidaknya ada 70 kepala keluarga (KK) tergusur. Menolak kalah, warga Bidara Cina mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan mereka menang.
Samsuri bersama anggota Tim 14 (tetua kampung yang jadi rujukan warga Bidara Cina) mendampingi warga melakukan class action. Sementara salah satu pendamping hukum mereka adalah Yusril Ihza Mahendra. "Masalahnya satu aja, enggak ada sosialisasi waktu itu," ucap Samsuri. "Kita bukannya menolak, tapi tolonglah kita dimanusiakan."
PTUN Jakarta akhirnya memutuskan para tergugat (Gubernur DKI Jakarta, Kementerian PUPR, dan BBWSCC) untuk membayar warga Bidara Cina yang terdampak proyek. "Harga tanah per meter persegi Rp25 juta dan harga bangunan per meter persegi Rp3 juta," bunyi putusan tersebut.
Pemprov DKI Jakarta sempat mengajukan banding, tetapi ditolak. Masih pada era Ahok, ia lalu menggugat kasasi putusan yang memenangkan warga Bidara Cina. Penguasa berganti, Anies Baswedan dilantik jadi gubernur. Pada 2019, ia mencabut kasasi yang dilayangkan Ahok sebelumnya, dan Pemprov DKI Jakarta pasrah mematuhi keputusan PTUN Jakarta untuk membeli tanah sengketa di Bidara Cina agar proyek bisa segera berlanjut tanpa menunggu-nunggu keputusan pengadilan lagi.
Apa yang dilakukan Heru Budi kemarin adalah meneruskan pembebasan lahan di Kelurahan Cipinang, tepatnya menertibkan 59 bangunan di sepanjang Jl. IPN Kebon Nanas, area yang rencananya dibangun untuk outlet Sodetan Ciliwung. Usaha yang sudah dirintis sejak tahun 2013 dan terus dilanjutkan tiap pemimpin Jakarta yang sedang menjabat.
Ke mana warga Bidara Cina pergi?
RW 04 Bidara Cina memang jadi langganan banjir jika musim penghujan dan Kali Ciliwung meluap-luap. “Kalau Ciliwung lagi naik, sebatas sampai sinilah,” ujar Samsuri sambil menunjuk batas warung Atik yang hanya berjarak beberapa meter dari bantaran kali. “Sebesar-besarnya, tahun 2007 itu banjir yang paling besar, sampai pemukiman sana.”
Atik sendiri mengaku sudah ikhlas pindah dari sana, rumah yang ia tempati sejak tahun 1970-an. “Habis mau gimana lagi? Lah proyek sudah jalan,” ucapnya. “Kita dulu menggugat ke pengadilan itu karena tidak mau ke rumah susun. Ngapain juga? Kita punya rumah di sini, kan, sementara di rusun kita harus bayar.”
Setelah pembayaran lahannya dilunasi, Atik segera mengontrak rumah masih di kisaran Bidara Cina. “Saya berekspektasi nyari rumah enggak gampang, jadi saya ngontrak dulu dekat sini,” ucapnya. “Enggak nyampe dua bulan saya dapat rumah, ya alhamdulillah. Jadi saya habisin kontrak ini dulu, nanti akhir Februari baru pindah ke rumah yang baru.”
Ia bercerita tiga tetangganya di RW 04 yang juga terdampak proyek pindah ke Kayu Manis dan Kebon Nanas. Sementara itu, Samsuri bersama anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) lainnya terus memantau kalau-kalau ada pelebaran proyek yang akan berdampak pada warga di wilayahnya.
“Alhamdulillahnya dulu tidak terporovokasi, kita juga tetap pakai pikiran, dengan jernih. Sebab prinsipnya kalau kita beranarkis, warga sendiri yang repot. Jadi kita bersabar, bersabar, untuk mencoba, karena masih ada jalur hukum,” ujar Samsuri. “Alhamdulillah pada akhirnya kemenangan berada di pihak kami.”