Mengenal Sejarah Hari Anti-sunat Perempuan Sedunia dan Tujuannya
ERA.id - Hari ini, 6 Februari, diperingati sebagai Hari Anti-sunat Perempuan Internasional atau anti-Female Genital Mutilation (FGM). Peringatan ini lahir dengan tujuan memberikan kesadaran kepada masyarakat mengenai potensi bahaya sunat bagi perempuan.
Berdasarkan sejarah Hari Anti-sunat Perempuan Sedunia, peringatan ini belum lama dicetuskan sebagai bentuk respons terhadap praktik yang bisa membayakan nyawa. Dilansir situs web Unicef, FGM disebut sebagai pelanggaran hak anak perempuan dan bisa memicu komplikasi kesehatan, bahkan bisa berujung kematian.
Risiko sunat bagi anak perempuan ada jangka pendek dan jangka panjang. Risiko komplikasi jangka pendek berupa rasa sakit parah, syok, pendarahan, infeksi, dan kesulitan buang air kecil. Risiko jangka panjang adalah bisa berdampak pada kesehatan seksual, reproduksi, dan kesehatan mental.
Sejarah Hari Anti-sunat Perempuan Sedunia
Dikutip Era dari situs web United Nations, kampanye anti-sunat perempuan sedunia menjadi upaya untuk mengakhiri praktik sunat pada perempuan. Pada 2012 Majelis Umum PBB menetapkan 6 Februari sebagai tanggal peringatan Hari Anti-sunat Perempuan Sedunia.
Dilansir situs web Unicef, Unicef bekerja sama dengan UNFPA dalam program Penghapusan Mutilasi Alat Kelamin Wanita. Hal tersebut terjalin melalui intervensi di 17 negara di mana praktik tersebut lazim dilakukan.
Ini menjadi upaya untuk menghadirkan peluang bagi anak perempuan dan perempuan mendapatkan hak-hak dalam hal pendidikan, kesehatan, pendapatan, dan kesetaraan demi membantu mengakhiri ketidakseimbangan kekuasaan yang mendukung praktik berbahaya tersebut.
Praktik FGM
Berdasarkan data Unicef per Kamis, 3 Februari 2022, sekitar 200 juta anak perempuan dan perempuan saat ini mengalami matilasi alat kelamin perempuan. Kekhawatiran menucul saat 1 dari 4 anak perempuan dan perempuan menjalani proses sunat.
Sebanyak 15 negara dengan data mutilasi alat kelamin perempuan telah bergulat dengan konflik, seperti peningkatan kemiskinan dan ketidaksetaraan, menciptakan krisis, serta membuat para gadis terpinggirkan.
Di sejumlah negara, praktik sunat pada anak perempuan terbilang umum. Sekitar 90 persen anak perempuan di Djibouti, Guinea, Mali, dan Somalia mengalami hal tersebut. Di beberapa negara, praktik tersebut semakin banyak dilakukan terhadap perempuan yang berusia muda sehingga mempersempit peluang intervensi. Di Kenya, dalam tiga dekade terakhir, rata-rata perempuan disunat saat berusia 9 tahun.
Dibandingkan tiga dekade lalu, saat ini anak perempuan sepertiga lebih kecil mengalami sunat. Sementara, dalam dua dekade terakhir, proporsi anak perempuan dan perempuan di beberapa negara dengan prevalensi tinggi yang menentang praktik tersebut meningkat dua kali lipat. Salah satu hal yang penting terkait usaha penghapusan sunat perempuan adalah memastikan akses anak perempuan mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan.
Tema Hari Anti-sunat Perempuan Sedunia
Dilansir situs web UNFPA, tema yang diangkat dalam peringatan Hari Anti-sunat Perempuan Sedunia tahun ini adalah "Kemitraan dengan Pria dan Anak Laki-Laki untuk Mengubah Norma Sosial dan Gender untuk Mengakhiri FGM". Tujuan dari penetapan tema ini adalah mendorong keterlibatan laki-laki dan komunitas global untuk mempercepat penghapusan praktik sunat pada perempuan.
Hal ini diharapkan bisa menghadirkan kelompok laki-laki yang sadar terhadap pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan di semua aspek. Dengan demikian, dampak global dari sunat pada perempuan bisa berakhir pada 2030.