IPK Anjlok, Pukat UGM: Korupsi Politik Para Elite Tak Tersentuh, KPK Tak Bisa Diharapkan

ERA.id - Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai anjloknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tak lepas dari masifnya korupsi politik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tak bisa lagi diharapkan.

Hal itu disampaikan peneliti Pukat UGM Yuris Rezha Kurniawan, di kampus UGM, Rabu (8/2/2023). Tingkat penegakan hukum pelaku korupsi di Indonesia saat ini juga berada di posisi 110 dari 180 negara. Padahal, di tahun sebelumnya, laporan Transparency International menyebut Indonesia berada di peringkat 96.  

Menurutnya, kemunduran pemberantasan korupsi disebabkan kekeliruan pemerintah merancang strategi pemberantasan korupsi. “Terlihat dari pelemahan KPK lewat revisi UU KPK dan pengisian pimpinan yang bermasalah,” kata Yuris.

"Pasca KPK dibredel (dilemahkan), mulai ada penurunan IPK. Karena tidak ada lagi lembaga pengawas yang ditakuti oleh pejabat di level elite,” imbuhnya.

Selain itu, tren penurunan IPK Indonesia juga disumbang masifnya korupsi politik dan dunia bisnis serta praktik korupsi kebijakan di level pejabat tinggi yang selama ini tidak tersentuh.

“Memang, pemerintah sudah mengupayakan pencegahan korupsi melalui digitalisasi atau kemudahan perizinan. Namun, saya merasa itu formulasi yang keliru karena hanya dapat menyasar pada level korupsi kecil-kecilan,” imbuhnya.

Menurutnya, akhir-akhir ini menunjukkan pembuatan kebijakan di level nasional dengan sangat mudah diatur berdasarkan relasi bisnis para pejabat. “Anehnya, fenomena ini justru terjadi saat pemerintah sedang menggenjot investasi besar-besaran. Tentu ini juga patut dipertanyakan, apakah mungkin ada investor melakukan investasi di negara dengan tingkat korupsi politik yang semakin memburuk,” ungkapnya.

Beberapa penanganan kasus korupsi besar oleh kejaksaan perlu diapresiasi. Namun langkah ini ternyata juga belum optimal untuk mengembalikan aset besar hasil korupsi. Adapun kepolisian dan MA juga sedang digoyang oleh kasus di internal masing-masing.

Lembaga kepolisian dan Mahkamah Agung menurutnya perlu diperkuat lagi pengawasannya, sehingga tidak terjadi lagi berbagai penyalahgunaan kewenangan. Sementara KPK semestinya dikembalikan seperti dulu lagi.

Sebab, dengan adanya KPK yang kuat, mekanisme pengawasan di level jabatan tinggi, termasuk pengawasan praktik koruptif, akan lebih efektif. “Kerja-kerja KPK hari ini juga tidak begitu banyak bisa diharapkan. Artinya, perlu ada perbaikan yang fundamental di sisi penegak hukum,” jelasnya.