Di Balik Dapur Redaksi Majalah Misteri: Dari Hal Mistik hingga Persaingan para Dukun

ERA.id - “Zaman itu, siapa yang tidak mencari hal-hal gaib, mistis, pengobatan, kalau bukan di Misteri?” ujar Yon Bayu Wahyono, Redaktur Pelaksana Majalah Misteri tahun 2010-2019 saat dihubungi ERA, Kamis (16/2/2023). “Semua orang yang ingin mencari dukun sakti, paranormal yang bagus, kan nyarinya di Misteri. Dan penggemar dunia ini luar biasa.”

Sebagian dari kita mungkin masih mengingat kejayaan Misteri yang hadir sejak tahun 1974 di Indonesia. Mungkin beberapa malah pernah memakai jasa paranormal yang dikenalnya dari iklan yang tayang di Misteri. Saksikan bagian ketiga dari seri tulisan Senja Kala Media Cetak, "Di Balik Dapur Redaksi Majalah Misteri: Dari Hal Mistik hingga Persaingan para Dukun."

***

Yon Bayu Wahyono awalnya hanya seorang wartawan politik biasa. Ia pernah bertugas di kampungnya di Cilacap, lalu pindah ke Medan hingga Lampung. Akhir tahun 2010, ia mendapat panggilan dari Ibrahim Sinik, pendiri majalah Misteri, yang mengajaknya datang ke Jakarta untuk membuat media baru. Tak perlu waktu lama, Yon segera mengangkut barang-barangnya ke ibu kota dengan harapan akan segera menggarap majalah baru bersama bos barunya. 

"Ternyata, saat itu di Misteri sedang lowong posisi redaktur pelaksana [redpel], karena redpel yang lama bikin majalah sendiri," cerita Yon. "Sehingga saya diperbantukan di situ. Tahu-tahu ya keterusan, media baru enggak jadi bikin, saya tercebur ke majalah Misteri."

Yon Bayu Wahyono, Redaktur Pelaksana Misteri 2010-2019. (Facebook Yon Bayu)

Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang mengatur. Dan begitulah roda nasib mengantar Yon bergabung ke majalah mistis nomor satu tanah air, dunia yang sepenuhnya asing bagi wartawan politik itu. Kelak, setelah bertahun-tahun menjabat redpel di Misteri, ia baru menyadari bahwa dunia politik tak sepenuhnya lepas dari hal-hal berbau gaib dan mistis. 

Cerita mistis di balik meja redaksi

Setibanya di Jakarta, Yon hanya sesekali bertemu langsung dengan Ibrahim Sinik, orang yang mengundangnya pertama kali ke sana. Waktu itu, Ibrahim sudah kepalang tua dan pesakitan karena terserang stroke. Akhirnya, Yon lebih sering berkomunikasi lewat putri Ibrahim, Irma Sinar Hayati yang juga jadi Wakil Pemimpin Umum Majalah Misteri.

Yon lalu berkantor di Jl. Kramat 5 No. 11B yang berhadap-hadapan dengan Gereja HKBP di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Kantor Misteri hanya berwujud rumah dua lantai dengan ruangan seukuran 6 x 10 meter. Di sanalah liputan-liputan mistis Misteri diramu sebelum menemui puluhan ribu pembacanya saban dua minggu sekali.

"Karena saya awalnya dari wartawan yang biasa gitu, lalu masuk ke dunia itu kan harus banyak belajar," cerita Yon. Ia mengaku harus sering bertanya ke tokoh-tokoh spiritual untuk sedikit memahami hal-hal gaib yang ia liput, sebuah dunia yang berada di luar dunianya. "Selain itu juga hunting sendiri ke lapangan, yang menurut orang seram, atau punya kekuatan gaib, atau bisa memberi berbagai hal dari mulai rezeki sampai pangkat."

Artikel di Misteri. (ERA/Agus Ghulam)

Yon yang awalnya berpikiran rasional dipaksa untuk percaya bahwa ada hal-hal yang tak bisa dicapai akal setelah bersinggungan berkali-kali dengan dunia itu. Salah satu peristiwa yang membuatnya agak ragu dengan pikirannya sendiri adalah yang terjadi nun di puncak Gunung Srandil waktu awal-awal ia bergabung ke Misteri. Ia mengenal gunung itu sejak kecil karena terletak di kampungnya, Cilacap. Namun, ia baru tahu gunung itu menyimpan misteri saat usianya mencapai 40 tahun.

"Jadi sejak kecil saya kan enggak begitu paham bahwa di sana tempat keramat dan sebagainya, enggak ngeh lah," ujar Yon. "Setelah masuk Misteri, banyak cerita dari orang, di situlah tempat Pak Harto bertapa, Bung Karno bertapa, karena ada Jambe Lima, Jambe Tujuh, gua-gua yang dikeramatkan, jadi saya ke sana."

Yon berangkat bersama seorang redaktur dari Jakarta berkendara mobil. Keduanya mulai naik ke atas Gunung Srandil lepas magrib. "Karena liputan seperti ini bagusnya pas malam, biar dapat sentuhannya," ujar Yon. Pemberhentian pertama mereka di Padepokan Ampel Gading Jambe Tujuh, konon di situlah tempat Soeharto pernah bertapa. 

Menjelang jam delapan malam, mobil mereka terus menanjak ke puncak. Sebuah Wihara berdiri di sana dan dijaga oleh seorang pria yang dipanggil Bhikku Damma. Mereka berdua bertemu dengan sang penjaga dan mengobrol dari jam 9 hingga tengah malam. Saat itulah Yon merasakan pengalaman supranatural untuk pertama kali.

Gerbang menuju Gunung Srandil, Cilacap. (Istimewa)

"Bhikku kan orang sini dikenal punya ilmu, punya ilmu apa Bhikku?" tanya Yon mendesak setelah mengobrol beberapa waktu. Jiwa wartawannya penasaran mencari tahu.

"Saya ini pemuka agama, tidak ada hubungannya dengan klenik dan sebagainya," jawab Bhikku Damma.

Yon terus mengulik ilmu yang dimiliki sang Bhikku. "Saya yakin dia punya sesuatu, karena orang-orang yang tinggal di gunung sendirian seperti itu enggak mungkin enggak punya sesuatu," cerita Yon. “Saya terus desak dia, dan sekitar 15 menit kemudian saya merasa dunia itu sangat sepi.”

Tetiba suara menghilang dari tempat Yon berada. Ia melihat sang Bhikku mengobrol dengan temannya tanpa suara, hanya gerak bibir yang tampak. Dunia hening. Ombak Pantai Selatan yang sebelumnya berdebur keras mendadak hening. Gemerisik daun sirna. Angin berembus sunyi. Yon agak gelisah. Ia lalu beranjak dan mengamati alam sekitar. Dilihatnya dari atas sana setitik-titik lampu berpendar dari kota Cilacap dan terang bulan dipantulkan permukaan laut yang bergelombang.

“Ombak itu bergulung dan buihnya juga kelihatan dari atas situ, tapi enggak ada suara apa pun,” kenang Yon. “Itu berlangsung cukup lama, mungkin setengah jam, saya mencoba cari tahu apa sih yang terjadi. Setelah itu, tiba-tiba saya dengar suara lagi.”

Yon mendekati temannya dan mencoba bertanya, “Tadi saya ke mana saja?” Dijawabnya bahwa Yon tak beranjak sama sekali, tetap duduk di sebelahnya dan ikut mengobrol bersama Bhikku Damma. 

Patung Buddha dalam Wihara di puncak Gunung Srandil, Cilacap. (Istimewa)

“Jadi teman saya bilangnya saya enggak ke mana-mana, sama sekali. Padahal tadi kan saya udah jalan-jalan lihat ombak. Ketika saya tanya ke teman saya, ‘Berapa lama saya diam?’ Ya enggak pernah, kata dia, tetap ngobrol, malah banyak tanya. Dari situlah saya agak percaya ada dunia lain,” cerita Yon.

Sejak saat itu, ia berkali-kali mengalami fenomena gaib saat liputan, seperti disesatkan di jalan ketika pulang dari gunung dan hutan. Sesekali ia juga penasaran mengikuti berbagai ritual untuk mendalami tulisannya. 

Pernah suatu kali ia mengantar seorang kepala daerah petahana yang ingin nyalon lagi dan meminta bantuan dukun. Yon dan sang kepala daerah pergi ke Purworejo dan disuruh berendam di Laut Selatan tengah malam. Keduanya hanya mengenakan jarik dan sang dukun menaburkan kembang-kembang ke laut sambil merapal mantra. “Itu tidak sama sekali merasa dingin, rasanya itu hangat, enak aja gitu,” ucap Yon. 

Yon menjelaskan bahwa ritual berendam di laut biasa dilakukan untuk mereka yang mencari peruntungan politik atau sekadar naik jabatan. Ia tak ingin berkecimpung di politik dan tak sedang cari pangkat, tetapi ia menjajal ritual itu karena ia tak lain seorang wartawan.

Persaingan antar dukun dan upaya beriklan di Misteri

Misteri sejak tahun 1974 hingga 2019 konsisten terbit per dua minggu dan selalu diminati, entah oleh pembacanya atau para dukun, paranormal, hingga tukang obat alternatif yang ingin memasarkan produk dan jasa mereka di sana. 

Pendapatan terbesar Misteri datang dari iklan-iklan tadi, wajar jika halaman-halaman Misteri lebih banyak dipenuhi iklan praktek dukun, pesugihan, pengasihan, penglaris, obat-obat herbal, hingga pemburu hantu ketimbang isi artikelnya. Yon menjelaskan bahwa perbandingan antara iklan dan artikel di Misteri bisa 60:40.

“Zaman itu, siapa yang tidak mencari hal-hal gaib, mistis, pengobatan, kalau bukan di Misteri?” ujar Yon. “Semua orang yang ingin mencari dukun sakti, paranormal yang bagus, kan nyarinya di Misteri. Dan penggemar dunia ini luar biasa.”

Iklan-iklan yang tayang di Misteri. (ERA/Agus Ghulam)

Di kala media-media lain kelimpungan mencari orang yang mau beriklan, Yon berani menjamin Misteri satu-satunya media yang suka menolak-nolak iklan. “Iklan itu datang sendiri dan antri, dan kita pasti menolak itu, antrian itu mesti panjang,” ucapnya sambil ketawa. Menurutnya, Misteri jadi ladang bisnis para dukun sekaligus persaingan untuk mencari nama. 

Ki Joko Bodo misalnya, ketika masih aktif jadi paranormal ia selalu mengiklan di Misteri. “Dia bayar di muka lima tahun, besok ketika mau habis kita kabarin dia, dia bayarin lima tahun lagi,” cerita Yon. Sementara harga sekali iklan di Misteri saja mencapai Rp7 juta. Sebulan dua kali bisa habis Rp14 juta. Jadi, Ki Joko Bodo selalu merogoh kocek sekitar Rp840 juta untuk kontrak iklan lima tahun.

Menurut Yon, itu rela dilakukan dukun sekaliber Ki Joko Bodo agar namanya tak tenggelam dan pamornya tak tergantikan yang lain. Saking populernya Misteri di kalangan para dukun, beberapa dari mereka yang nomor antriannya masih panjang rela menyogok wartawan untuk meliput jasa dan produk mereka.

“Wartawannya ini suruh nulis tentang dia. Jadi bentuknya artikel, bukan iklan. Dia bayar ke wartawannya. Jadi seperti itu cara mereka untuk ngakalin bagaimana bisa beriklan di Misteri. Sampai sebegitunya,” kenang Yon.

Alasan di balik tutupnya Misteri

Lebih dari 40 tahun Misteri menemani pembaca setianya sebelum pensiun pada tahun 2019. Yon bercerita bahwa alasannya bukan karena majalah itu mulai sepi peminat. Edisi terakhirnya bahkan masih dicetak sebanyak 26 ribu eksemplar dan laris manis di pasaran. Hanya tersisa 2.000 eksemplar yang tak terjual.  “Memang terjadi penyusutan oplah. Pada saat krisis moneter sampai tahun 2000, itu tertinggi sampai 140 ribu oplahnya,” kata Yon. 

“Pada saat saya masuk tinggal 40 ribu. Sembilan tahun kemudian, cetaknya 26 ribu, lakunya 24 ribu. Ini pun, andai tidak laku, ya tetap aja untung, karena iklannya kan banyak banget. Cetak langsung buang ke laut pun masih untung,” lanjutnya. “Kenapa kemarin tutup? Nah ini persoalannya.”

Salah satu edisi Misteri tahun 2012. (ERA/Agus Ghulam)

Misteri terpaksa tutup karena banyak media cetak yang beroplah besar mulai kolaps pada rentang tahun 2017-2019. Dan ketika media cetak tutup, otomatis agen-agen distributor ikut tutup. “Ketika semua media yang lain kolaps, praktis tinggal Misteri sama beberapa media lain, agen ini rugi kan ketika yang ngirim hanya beberapa media itu,” ujar Yon. 

Sialnya, Misteri tak pernah bersiap dengan kemungkinan terburuk sejak 2017. Majalah mistis itu tak punya sistem berlangganan atau armada distributor sendiri, semua bergantung kepada agen seperti AP Natalie di Senen untuk memasarkannya. “Mestinya kita melakukan beberapa back up gitu, biar tidak terjun bebas. Tapi kita terlambat mengantisipasi itu, kita langsung kayak orang mati seketika,” ucap Yon agak menyesali.

Akhirnya, Misteri terpaksa pamit dari peredaran saat usianya tembus 45 tahun. Seketika orang-orang di balik meja redaksi kehilangan pekerjaannya. Beruntung selepas dari sana Yon dikontrak setahun di UC News yang dulu berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan dengan upah Rp10 juta per bulan. Sehabis kontrak itu, ia tak lagi meneruskan ke mana-mana. ia mengaku hanya sibuk menulis lepas seperti di Kompasiana atau melanjutkan hobinya menulis fiksi, entah itu cerita pendek atau novel di platform Wattpad.

"Istri saya meninggal tahun 2013, kemudian sampai sekarang masih sendiri, ya kelompok-kelompok galau lah," ucap Yon saat ditanya siapa yang menemani aktivitasnya di rumah. Kini ia hanya ditemani dua putrinya, si sulung sudah bekerja dan si bungsu masih kuliah semester enam di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). 

"Enggak nyoba kerja di mana lagi gitu Mas?" tanya kami. 

Yon tertawa. "Lah sekarang saya udah 52 tahun, mau kerja di mana lagi? Ada yang mau nerima saya?" pertanyaan itu hanya melewati kuping kami dengan sopan dan mulut kami tak mampu menjawabnya.