INSWA Sebut Sejumlah Kota Besar Sudah Darurat Sampah, Volume Sampah Tak Sebanding dengan Kemampuan Pemerintah Mereduksinya

ERA.id - Perkumpulan Persampahan Indonesia (INSWA) mengemukakan, sejumlah kota besar di Indonesia sudah darurat sampah karena pertumbuhan volumenya tak seimbang dengan kemampuan pemerintah dalam mengelola sehingga masalah persampahan menjadi semakin pelik untuk diatasi.

"Kita harus mengakui, pengelolaan sampah di Indonesia memang belum sesuai harapan," kata Ketua Umum Perkumpulan Persampahan Indonesia (INSWA) Guntur Sitorus ketika dihubungi di Jakarta dikutip dari Antara, Kamis (16/3/2023).

Timbulan dan volume sampah, terutama di kota-kota besar di Indonesia, kata dia, setiap tahun terus bertambah dan pertumbuhan volume sampah itu tidak sebanding dengan kemampuan pemerintah mereduksinya.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), skor Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) di Indonesia tercatat sebesar 50,25 poin pada 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan 0,38 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 50,06 poin.

Melihat trennya, skor IKPS cenderung berfluktuasi selama empat tahun terakhir. Skor IKPS Indonesia pada 2022 tertinggi pada rentang 2019-2022. Data itu juga mengungkapkan, Indonesia mencatatkan jumlah sampah yang dikelola sebesar 14,03 juta ton pada 2022. Khusus Jakarta, memproduksi 8.000 ton sampah setiap hari.

Menurut dia, penanganan sampah sesungguhnya mencakup lima tahap, mulai tahap pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir.

"Kalau bicara dari proses ini, ada satu tahap, yaitu pengolahan dan pemrosesan akhir itu yang sangat krusial," katanya.

Pada dua tahap ini membutuhkan teknologi yang tepat untuk bisa mereduksi sampah secara signifikan. Maksudnya, teknologi harus mampu mereduksi paling sedikit 85 persen dari total sampah sehingga residunya tinggal 15 persen.

"Teknologi yang digunakan harus mampu mereduksi minimal residu tinggal 15 persen. Cita-citanya memang harusnya seperti itu," katanya.

Intinya sampah harus musnah. "Tapi dalam kenyataan banyak kota yang belum melakukan hal itu,” kata Guntur.

Nyatanya, timbulan dan timbunan sampah di kota-kota besar semakin banyak. "Ini menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah di sana belum memadai dan pengolahan sampah juga belum maksimal," katanya.

Ia mengingatkan, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 mengamanatkan, pengelolaan sampah harus dilakukan secara sistematis, berkesinambungan dan menyeluruh melalui pengurangan dan penanganan sampah.

Guntur mengingatkan, teknologi RDF yang saat ini cukup banyak digunakan, sejatinya merupakan teknologi yang memproses secara mekanis yang juga mereduksi sampah, paling banyak hanya 50 sampai 60 persen. "Jadi masih menyisakan sampah dalam jumlah yang cukup banyak,” katanya.

Menurut dia, dilihat dari pemanfaatan lahan pengolahan, penggunaan teknologi RDF membutuhkan lahan tanah yang luas. Dilihat dari sisi ini, jelas tidak menguntungkan jika diaplikasikan di kota-kota besar karena harga tanah sangat mahal.

“Hitung-hitungannya, dengan menggunakan teknologi RDF, untuk sampah 1.000 ton dibutuhkan 8-10 hektare lahan," katanya.

Jadi bisa dihitung kalau lahan di pinggiran Jakarta harganya sudah Rp3 juta-Rp4 juta per meter, kalau butuh 8 hektare maka butuh sekitar Rp240 miliar. "Mahal sekali. Itu baru lahannya saja,” ujar Guntur.

Dilihat dari keluaran (output) dari proses pengolahannya, teknologi RDF menghasilkan bahan bakar padat atau bahan bakar jumputan padat. Yakni “sampah padat” seperti pelet.

“Tidak bisa menghasilkan energi baru terbarukan atau EBT yang bersih, seperti kalau kita menggunakan teknologi thermal atau gasifikasi untuk mengolah sampah,” ujarnya.

Secara khusus, ia menyebut teknologi pengolahan sampah yang diaplikasikan di Surabaya sejak tahun 2001 sudah memanfaatkan thermal gasifikasi. "Ini canggih, karena di dalam proses thermal ini ada teknologi yang bisa mereduksi sampah dalam jumlah yang besar. Salah satunya teknologi insinerator,” kata Guntur.

Guntur sependapat dengan pandangan yang mengatakan bahwa untuk kota-kota besar seperti Jakarta, teknologi yang mengacu pada pembakaran sampah hingga musnah lebih tepat untuk digunakan.

“Memang semua teknologi dan metode ada plus-minusnya, tapi saya berpendapat, RDF memang tidak tepat diaplikasikan di Jakarta dan kota-kota besar," katanya.