Nama Baiknya Diserang Hariz Azhar dan Fatia, Luhut Geleng-geleng Kepala dan Nampak Emosi
ERA.id - Jaksa Penuntut Umum sebut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tidak terima dengan tudingan yang diungkapkan oleh Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dalam akun YouTube berjudul 'Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada!! pada 21 Agustus 2021.
Hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin Yanuar Adi Nugroho saat membacakan dakwaan di persidangan perdana Haris Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cakung, Senin (3/4/2023).
Dalam sidang itu, video Luhut ditampilkan di kantornya oleh asisten bidang media Menko Marves, Singgih Widiyastono.
"Saksi Luhut Pandjaitan terlihat geleng-geleng kepala nampak emosi dan menyampaikan kepada saksi Singgih Widyastono. 'Ini keterlaluan, kata-kata Luhut bermain tambang di Papua itu tendensius, tidak benar dan sangat menyakitkan hati saya'," ujar JPU.
Luhut pun keberatan jika namanya disandingkan dengan kata lord karena bermakna negatif yang mana julukan lord bermakna tuan, raja, penguasa tertinggi, memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung.
Haris Azhar dan Fatia dianggap tidak pernah melakukan konfirmasi kepada Luhut atas laporan yang berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya".
"Tidak pernah melakukan konfirmasi atau mengkaji ulang (cross check) kebenaran informasi dari kajian cepat tersebut kepada saksi Luhut Binsar Pandjaitan sebelum melakukan perekaman video," ujarnya.
Narasumber yang dihadirkan oleh Haris dalam tayangan video itu adalah Fatiah. Sedangkan dari pihak Luhut tidak ada yang dihadirkan.
Laporan itu dibuat oleh Koalisi Bersihkan Indonesia yang terdiri dari sepuluh organisasi masyarakat sipil.
Kemudian melalui pembahasan di video itu, Fatia menyebut Luhut sebagai pemegang saham di Toba Sejahtera Group, yang seolah-olah digambarkan memiliki usaha pertambangan yang berlokasi di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
"Padahal saksi Luhut Pandjaitan alias Luhut Binsar Pandjaitan sama sekali tidak pernah memiliki usaha pertambangan yang berlokasi di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Papua, maupun di wilayah Papua lainnya," kata JPU.
Menurut jaksa, Luhut memang pemegang saham di PT Toba Sejahtera, namun bukan pemegang saham di PT Tobacom Del Mandiri, yang merupakan anak perusahaan PT Toba Sejahtera. PT Tobacom Del Mandiri pernah melakukan kerja sama dengan PT Madinah Quarrata’ain, namun tidak dilanjutkan lagi.
PT Madinah Quarrata’ain hanya memiliki kerja sama konkret atas perjanjian pengelolaan Derewo Project dengan PT Byntech Binar Nusantara pada 23 Maret 2018.
JPU menyatakan tidak pernah ada dokumen mengenai keikutsertaan PT Toba Sejahtera, PT Tobacom Del Mandiri, dan PT Tambang Raya Sejahtera dalam pengembangan Derewo Project yang dilakukan bersama PT Madinah Quarrata’ain.
Atas persoalan itu, Luhut melayangkan dua kali somasi kepada Haris Azhar dan Fatia.
Luhut Pandjaitan masih memberikan kesempatan kepada terdakwa Haris Azhar dan saksi Fatia Maulidiyanty untuk minta maaf, namun somasi tersebut tidak dipenuhi terdakwa Haris Azhar dan saksi Fatia Maulidiyanty dengan berbagai alasan.
Karena somasi tidak ditanggapi, Luhut pun membuat laporan ke Polda Metro Jaya. Kasus ini pun bergulir hingga persidangan.
Sementara itu, di depan majelis hakim Haris Azhar menyatakan tidak menerima dakwaan tersebut.
"Saya tidak mengerti, maka saya tidak menerima dakwaan JPU," kata Haris Azhar.
Lantas, majelis hakim yang dipimpin oleh Cokorda Gede Arthana memberikan waktu kepada kuasa hukum Haris Azhar untuk menyampaikan eksepsi selama dua pekan.
Persidangan akan dilanjutkan pada Senin (17/4) dengan mendengarkan eksepsi dari terdakwa Haris Azhar.
Berdasarkan berkas perkara dilimpahkan penyidik ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur ada empat pasal yang disangkakan kepada Haris dan Fatia, yakni Pasal 27 ayat 3 junto Pasal 45 ayat 3 UU ITE.
Kedua Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, ketiga Pasal 15 juga UU Nomor 1 tahun 1946, keempat Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.