Pemerintah Tak Rekomendasikan Impor KRL Bekas, Produksi dalam Negeri Jadi Alasan Utama
ERA.id - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) tidak merekomendasikan opsi impor kereta rel listrik (KRL) bekas sebagaimana permintaan PT KCI.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto, keputusan sementara itu mengacu pada hasil review Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Secara umum, Seto menjelaskan ada empat hal yang menjadi pertimbangan utama. Pertama, rencana impor KRL bekas dinilai tidak mendukung pengembangan industri perkeretaapian nasional.
Hal itu berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 175 Tahun 2015 tentang Standar Spesifikasi Teknis Kereta Kecepatan Normal dengan Penggerak Sendiri.
Dalam peraturan tersebut, ditetapkan bahwa persyaratan umum pengadaan sarana kereta kecepatan normal dengan penggerak sendiri termasuk KRL ini, harus memenuhi spesifikasi teknis yang salah satunya adalah mengutamakan produk dalam negeri.
Kedua, Kementerian Perdagangan juga sudah menanggapi permohonan dispensasi impor KRL dalam keadaan tidak baru yang menyatakan bahwa permohonan dispensasi ini tidak dapat dipertimbangkan, karena fokus pemerintah adalah pada peningkatan produksi dalam negeri dan substitusi impor melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
“KRL bukan baru yang akan diimpor dari Jepang tidak memenuhi kriteria sebagai barang modal bukan baru yang dapat diimpor sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur kebijakan dan pengaturan impor,” imbuhnya.
Seto menjelaskan dalam PP dan Permendag tersebut, disebutkan bahwa barang modal bukan baru yang dapat diimpor adalah barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali atau barang/peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam, serta barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Jadi tadi sudah disebutkan itu (impor) bisa dilakukan, kalau belum bisa diproduksi di dalam negeri,” ujarnya.
Seto juga mengungkapkan beberapa alasan teknis yang disampaikan BPKP terkait alasan impor KRL bukan baru yang diajukan PT KCI kurang tepat, karena ada beberapa unit sarana yang sebenarnya masih bisa dioptimalkan penggunaannya.
“Saya tidak mau masuk terlalu detail terkait alasan teknis ini, tapi dari BPKP menemukan finding (temuan) seperti itu,” tambahnya.
Keempat, Seto menyampaikan bahwa jumlah KRL yang beroperasi saat ini 1.114 unit, tidak termasuk 48 unit yang aktiva tetap diberhentikan dari operasi dan 36 unit yang dikonversi sementara.
“Overload (kelebihan kapasitas penumpang) ini memang terjadi pada jam-jam peak hour (puncak). Namun secara keseluruhan untuk okupansi tahun 2023 adalah 62,75 persen. Pada 2024 diperkirakan masih 79 persen dan 2025 sebanyak 83 persen. Ini data dari BPKP,” katanya.
Berdasarkan laporan reviu BPKP itu juga disebutkan bahwa pada tahun 2019 jumlah armada yang siap guna sebanyak 1.078 unit yang mampu melayani 336,3 juta penumpang.
Sedangkan di 2023 dengan jumlah penumpang diperkirakan 273,6 juta penumpang, jumlah armada yang ada adalah 1.114 unit.
“Jadi di 2023 armadanya lebih banyak, tapi estimasi penumpangnya tetap jauh lebih sedikit dibandingkan 2019 yang jumlah armadanya lebih sedikit,” tuturnya.
Seto juga mengungkapkan temuan soal estimasi biaya impor KRL bekas. Ia menyebut biaya yang bisa diestimasikan dengan reliable oleh BPKP adalah biaya pengadaan dari Japan Railway.
Ia juga menyebut kewajaran biaya handling dan transportasi dari Jepang ke Indonesia, yang diajukan PT KCI tidak dapat diyakini karena perhitungannya tidak berdasarkan survei harga, melainkan hanya berdasarkan biaya impor KRL bukan baru pada tahun 2018 ditambah 15 persen.
“Hasil klarifikasi dengan Pelindo, kontainer yang tersedia hanya 20 feet dan 40 feet, sehingga pengangkutan dan pengiriman kereta harus menggunakan kapal kargo sendiri. Ini tentu saja bisa menyebabkan penambahan biaya yang harus diestimasikan dengan akurat,” tutur Seto.