Petang di Kwitang: Menyusuri Jejak Dakwah Islam hingga Saksi Bisu Proklamasi

ERA.id - Apa yang kamu ingat saat mendengar nama Kwitang? 

Perkenalan kami dengan Kwitang bermula dari satu adegan di film Ada Apa Dengan Cinta? ketika Rangga (Nicholas Saputra) mengajak Cinta (Dian Sastrowardoyo) kencan ke toko buku bekas langganannya di Pasar Kwitang. Masih terngiang betul di kepala kami bagaimana Cinta yang ngambek meninggalkan begitu saja Rangga di belakang. Lalu pemilik toko buku bekas nyeletuk ke pelanggan tetapnya itu.

“Kau perhatikan ya, kalau sampai dia menengok kemari, itu berarti dia berharap kau mengejarnya. Perhatikan!” Cinta betul menoleh, tetapi Rangga tak mengejarnya. Ia hanya diam menunduk seperti kena gendam. 

Itulah kenangan awal kami saat mendengar nama Kwitang: tempat berburu buku-buku bekas. Namun, pamor Pasar Kwitang itu kian tahun kian redup, apalagi setelah banyak pedagang di sana dipindahkan ke Pasar Senen Jaya hingga Blok M Square pada medio 2007-2008. 

Belakangan, kami baru mengetahui kalau Kwitang lebih dari sekadar toko buku bekas dan nostalgia Rangga-Cinta. Kelurahan di kawasan Senen, Jakarta Pusat itu punya memori yang lebih dalam dan memendam sejarah panjang dakwah Islam hingga jadi saksi bisu proklamasi kemerdekaan Indonesia. 

Semua ada di Kwitang: dari Betawi, Tionghoa, hingga Arab

Kwitang konon berasal dari nama seorang Tionghoa, yaitu Kwee Tang Kiam. Ia diceritakan sebagai tuan tanah yang menguasai hampir seluruh wilayah itu, sehingga orang-orang Betawi sekitar menyebutnya kampung si Kwee Tang. Versi kedua yang beredar di masyarakat, Kwitang berasal dari nama seorang tabib yang juga pendekar ahli beladiri Kuntau.

Namun, sejarawan Betawi Gusmanuddin Natawijaya meyakini asal nama Kwitang lebih cocok muncul dari orang Hokian di Tiongkok Selatan yang menghuni wilayah Batavia, dan nama Kwitang merujuk ke nama wilayah asal mereka di Tiongkok. 

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dan Jakarta masih bernama Batavia, Kwitang sudah termaktub dalam catatan Belanda menjadi salah satu dari 13 ridgewick atau kampung yang menampung berbagai etnis, mulai dari Betawi, Tionghoa, hingga Arab. 

Kwitang pun telah lama dikenal sebagai pusat penyebaran dan pergerakan agama Islam di Jakarta. Dan jika kita bicara soal sepak terjang dakwah Islam di Kwitang, rasa-rasanya semua akan bermuara pada satu nama: Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi atau yang masyhur dikenal sebagai Habib Ali Kwitang. 

Hari keenam puasa tahun ini, Selasa (28/3/2023), ERA berziarah ke makam Habib Ali di Masjid Al-Riyadh dan berkeliling menyisir Kwitang dari habis Zuhur hingga menjelang berbuka puasa.

Islamic Center Indonesia atau Majlis Ta'lim Habib Ali Kwitang. (ERA/Agus Ghulam)

Habib Ali wafat puluhan tahun silam dan meninggalkan majlis ta’limnya tetap berdiri hingga sekarang. Ia pertama kali memulainya sekitar tahun 1890 kala usianya masih 20 tahun, bertempat di pelataran rumahnya yang kini jadi Masjid Al-Auwabin Kwitang. Pengajian rutinnya tiap Ahad pagi selalu disesaki jamaah. Sepeninggalan Habib Ali, pengajian itu kini dipegang oleh cicitnya.

Ketika kami ke sana bulan lalu, spanduk panjang berisi maklumat larangan parkir mulai Sabtu malam hingga Ahad siang di area depan majlis ta’lim terpampang di gerbang masjid. Sebab di luar bulan Ramadan, tiap minggunya jamaah akan meluap hingga ke jalan-jalan untuk mendengar pengajian dari cicit Habib Ali. Namun, pengajian itu istirahat sejenak sepanjang bulan puasa. Sebagai gantinya, area sekitar situ diramaikan warga setempat yang ingin mendulang rezeki bulan puasa dengan berjualan takjil.

Beberapa warga bercengkerama di depan Masjid Al-Auwabin Kwitang. (ERA/Agus Ghulam)

Kami menyempatkan salat Asar berjamaah di Masjid Al-Auwabin untuk menemui cicit Habib Ali yang rutin mengimami di sana. Selepas zikir singkat dan doa usai salat, kami mendekati pengimaman dan menyalami cicit Habib Ali. Ia memberi izin untuk mengambil gambar di sepenjuru masjid hingga meliput area petilasan buyutnya. Pertemuan kami singkat saja karena tampaknya ia punya janji lain dan harus bergegas pulang.

Berita kemerdekaan Indonesia dari masjid peninggalan Habib Ali Kwitang

Masjid Al-Riyadh hanya berjarak beberapa ratus meter dari Masjid Al-Auwabin. Kami berjalan kaki ke sana dan hanya menghabiskan waktu sekian menit. Langit sedang panas-panasnya kala itu, tetapi kami merasa teduh di pelataran Masjid Al-Riyadh karena bayang-bayang masjid menaungi kami. Selain itu, sekujur dinding masjid yang dibalut ubin putih serasa memantulkan panas kembali ke atas.

Pintu-pintu masjid terlihat minim perombakan, kayu-kayunya tampak tua, kusam, sekaligus kokoh, dengan gembok tradisional yang juga terbuat dari sebilah kayu. Di dalamnya karpet sajadah hijau digelar bersaf-saf mulai pintu masuk hingga mimbar.

Tampak depan Masjid Al-Riyadh Kwitang. (ERA/Agus Ghulam)

Beberapa orang tampak merebahkan punggung dan lelap dalam mimpi masing-masing. Kami keluar dari pintu selatan masjid dan segera menjumpai gerbang menuju makam Habib Ali beserta pusara sang anak, menantu, dan cucunya. Wasiat Habib Ali terpatri di atas terpal pengumuman: Jangan taruh tromol, jangan taruh kemenyan, dan beri hadiah bacaan Fatihah atau Yasin.

'Jangan taruh tromol' maksudnya jangan memberikan uang di makam. Sedangkan wasiat kedua maksudnya jangan mengkultuskan almarhum Habib Ali karena ia hanyalah manusia biasa dengan tulang dan daging. 

Beberapa rak berjejer di pinggiran makam dengan tumpukan buku Yasin Tahlil beserta beberapa kitab Simthud Durar, sebuah karya tulis Habib Ali tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad yang hingga hari ini masih terus dibaca jutaan muslim Indonesia. Semasa hidupnya dulu, salah satu jalur dakwah Habib Ali memang ditempuh lewat pembacaan salawat dan peringatan maulid nabi.

Dalam catatan koran Batavias Newsblad edisi 28 Juni 1931, diberitakan bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad yang digelar di Senen oleh Habib Ali dihadiri sekitar 10 ribu umat Islam termasuk beberapa tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto. Orang-orang mengadakan pawai diiringi bacaan salawat sepanjang Jl. Kramat Raya hingga Jl. Senen. 

Area pemakaman Habib Ali Kwitang. (ERA/Agus Ghulam)

Sekitar tahun 1938, Habib Ali lalu mendirikan Masjid Al-Riyadh yang awalnya bernama Al-Makmur. Setelah terjadi kebakaran dan direnovasi, namanya diubah jadi Khuwatul Ummah. Kemudian guru Habib Ali dari Hadhramaut, Yaman, memintanya mengganti nama masjid itu jadi Masjid Al-Riyadh yang berarti 'taman surga'.

Masjid itu ikut menjadi saksi sejarah kemerdakaan Indonsia. Bangsa ini menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, bertepatan dengan hari Jumat yang diagungkan umat Islam. Selepas Sukarno membacakan proklamasi di Jl. Pegangsaan Timur, bapak proklamator itu mampir ke Masjid Al-Riyadh sehabis Jumatan. Di sanalah Bung Karno mengabarkan berita gembira kemerdekaan Indonesia dan meminta seluruh jamaah untuk menyebarkannya dari mulut ke mulut.

Begitulah Masjid Al-Riyadh peninggalan Habib Ali menjadi saksi bisu yang ikut menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia lewat orang-orang yang bersujud di sana. Kini masjid itu masih berdiri kokoh meski pendirinya telah merebah di bawah tanah menunggu hari yang dijanjikan. Habib Ali telah lama pergi, tapi warisannya masih terasa bahkan oleh kami, orang luar yang hanya sesekali mampir ke Kwitang.

Pemandangan menara Masjid Al-Riyadh yang terhalangi kabel-kabel listrik. (ERA/Agus Ghulam)yang 

Sekitar satu jam sebelum azan Magrib kami memutuskan kembali ke titik awal perjalanan kami di Kwitang: Majlis Ta’lim Al-Habib Ali Al-Habsyi yang kini sering juga disebut Islamic Center Indonesia. 

Kami menempuhnya dengan berjalan kaki sambil melihat kesibukan warga Kwitang menjelang petang: para penjual takjil menyiapkan gorengan dan kolak; beberapa warga mengobrol di sekitar gerobak penjahit baju; bocah-bocah main kejar-kejaran; dan kuli bangunan mondar-mandir menggotong semen untuk membangun kos-kosan depan masjid.

>