Sejarah Hari Kartini 21 April, Pejuang Emansipasi Wanita dan Kisah Hidupnya
ERA.id - Hari Kartini yang dirayakan setiap bulan April dikenal masyarakat Indonesia sebagai perayaan perjuangan emansipasi perempuan. Emansipasi bermakna sebagai pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Emansipasi perempuan memiliki tujuan untuk memberi perempuan kesempatan bekerja, belajar, serta berkarya seperti halnya para pria. Lantas bagaimana sejarah Hari Kartini 21 April ini? Simak penjelasannya di bawah ini.
Sejarah Hari Kartini 21 April
Kartini lahir dengan nama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat, di Jepara, Jawa Tengah. Kartini dilahirkan di tengah-tengah keluarga bangsawan jawa.
Ayah Kartini adalah Bupati Jepara yang bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Ibu Kartini bernama M.A. Ngasirah, anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Ngasirah bukanlah keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa. Sebagai anak bangsawan, Kartini mendapat keberuntungan menempuh pendidikan di ELS (Europese Lagere School).
Pada tahun 1903, Kartini dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan bangsawan dan bupati di Rembang yang sudah mempunyai tiga orang istri. Meski demikian, sang suami paham dengan cita-cita dan keinginan Kartini, sehingga ia diberikan keleluasaan mendirikan sekolah perempuan pertama. Sekolah itu dibangun di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang pada saat ini dikenal sebagai Gedung Pramuka.
Kelahiran R.A Kartini
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Terlahir dalam keluarga bangsawan, gelar Raden Adjeng pun turut disematkan di depan nama Kartini. Selanjutnya setelah menikah gelar tersebut berubah menjadi Raden Ayu. Ayah Kartini yang bernama Raden Adipati Ario Sosroningrat adalah putra dari Pangeran Ario Tjondro IV.
Ibunda Kartini bernama M.A Ngasirah. Beliau sebenarnya istri pertama, namun status tersebut tak membuatnya dijadikan istri utama. M.A Ngasirah adalah putri seorang kiai di Teluk Awur. Walaupun mereka berbeda kasta, Raden Adipati Ario Sosroningrat terlanjur jatuh hati pada Ngasirah. Pernikahan mereka pun dinilai melanggar aturan yang ditetapkan kolonial Belanda, di mana bupati harus menikah dengan keluarga bangsawan pula.
Kondisi tersebut menyulitkan Ario untuk mengambil alih kepemimpinan sebagai bupati Jepara. Ario pun mengatur siasat agar tetap bisa menjabat, tanpa harus menceraikan istri pertamanya. Ario pun memutuskan menikahi Raden Adjeng Woerjan yang masih mempunyai darah biru kerajaan Madura. Tak lama dari pernikahan tersebut, Ario diangkat sebagai Bupati Jepara bersamaan dengan kelahiran putri kecilnya, Kartini.
Masa Remaja Kartini
Beruntungnya Kartini mempunyai kakek seorang Pangeran Ario Tjondro IV, bupati pertama Jepara. Pangeran Ario terbiasa menerapkan pendidikan barat kepada anak-anaknya, sehingga cara pengajaran sangat jauh dari kesan konservatif.
Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara (saudara kandung dan saudara tiri). Namun ia adalah anak perempuan tertua. Karena pemikiran kakeknya yang sudah terbuka, Kartini mendapat kesempatan untuk bersekolah di ELS saat usianya 12 tahun. Di ELS, Kartini memiliki kesempatan belajar Bahasa Belanda dan terus mengasah kecerdasannya. Namun, cita-cita Kartini meneruskan pendidikan berhenti di usia 15 tahun.
Karena sudah dipingit, RA Kartini harus tinggal di rumah, seperti perempuan lainnya di masa itu. Kondisi itu menjadikannya gundah gulana. Beruntung, dia menjalin persahabatan dengan seorang Belanda bernama Rosa Abendanon yang berkenan untuk diajak bertukar pikiran selama dipingit. Pertukaran pikirannya dijalankan melalui surat menyurat. Komunikasi kedua sahabat beda negara ini lancar karena kefasihan Kartini dalam bahasa Belanda. Sebagai perempuan cerdas, Kartini pun mengamati dan mempelajari pola pikir perempuan Eropa lewat surat kabar, majalah, dan buku.
Masa Dewasa
Pada usia 24 tahun, Kartini menikah dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Bersyukurnya suami Kartini yang seorang Bupati Rembang paham dengan jalan pikirannya. Ia memberikan dukungan terhadap keinginan KArtini mendirikan sekolah perempuan. Sayangnya perjuangan Kartini untuk meninggikan harkat derajat perempuan tidak berlangsung lama.
Kartini wafat pada usia 25 tahun, empat hari setelah putranya, RM Soesalit Djojoadhiningrat lahir pada tanggal 13 September 1904. Kematian Kartini cukup mengejutkan. Sebab, selama kehamilan dan melahirkan Kartini terlihat sehat walafiat. Terlebih masih banyak mimpinya yang belum tercapai.
Walaupun Kartini wafat, semangatnya masih tertinggal. Delapan tahun kemudian, pada tahun 1912, Sekolah Kartini didirikan oleh Yayasan Kartini di Semarang. Pembangunan sekolah tersebut digagas oleh keluarga Van Deventer, tokoh Politik Etis pada saat itu.
Tak lama kemudian, pembangunan pun tersebar ke Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Malang, dan beberapa daerah lain.
Peringatan Hari Kartini Setiap Tahunnya
Untuk menghormati dan mengenang perjuangan serta jasa Kartini, pemerintah menetapkan pada setiap 21 April sebagai Hari Kartini. Hari Kartini mulai diselenggarakan pada masa pemerintahan Presiden pertama Indonesia, Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Pemilihan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini juga karena tanggal tersebut merupakan hari kelahiran Kartini yang jatuh pada 21 April 1879.
Ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Kalo kamu mau tahu informasi menarik lainnya, jangan ketinggalan pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman…