Penobatan Raja Charles III dan Dosa-Dosa Kerajaan Inggris

ERA.id - Akhir pekan lalu, bolak-balik lewat di beranda media sosial saya berita soal coronation. Saya yang fakir kosakata bahasa Inggris awalnya menduga-duga, “Virus apalagi ini? Corona jilid dua?” Belakangan saya baru tahu artinya ‘pemahkotaan’ atau dalam keterangan yang lebih bertele-tele: Upacara penobatan raja atau ratu dengan penganugerahan mahkota di atas kepala mereka. Pantas saja banyak gambar Charles III berseliweran dengan kedua mata birunya dan rambut beruban yang sudah menipis.

Tahun lalu, ibunya, Elizabeth II wafat di usia nyaris seabad setelah 70 tahun memegang tahta kerajaan Inggris. Padahal saya sempat berpikir nenek itu setengah abadi dan bisa hidup hingga Dajjal turun. Ternyata dugaan saya meleset. Seiring dengan kematiannya, saya juga berandai-andai, seumpama saya putra mahkota dan tinggal menunggu orang tua mati sebelum naik tahta, mungkin kematiannya diam-diam saya syukuri. Saya yakin itu yang ada di kepala Charles III.

Charles III dan permaisurinya, Camilla. (Istimewa)

Setelah penantian puluhan tahun, akhirnya Charles III resmi bermahkota, menyusul lagu kebangsaan Inggris yang judulnya sudah disesuaikan lebih dulu jadi God Save The King. Lagu yang selalu jadi olok-olok fans Liverpool yang menganggap hanya ada satu lagu kebangsaan: You’ll Never Walk Alone, dan hanya ada satu raja: Kenny Dalglish, eks penyerang Liverpool.

Di sela-sela riuh berita pemahkotaan Raja Charles III, saya baca komentar netizen Indonesia yang takjub dengan cucunya, Louis, yang masih berusia lima tahun tapi bisa anteng mengikuti prosesi coronation berjam-jam tanpa rewel. Menurutnya, begitulah didikan keluarga kerajaan. Banyak yang mengamini. Banyak juga yang mengagumi sambil sesekali rendah diri dengan kehidupan rakyat jelata.

"Keluarga darah biru memang beda dengan keluarga kita yang darah tinggi dan darah rendah."

Namun, yang tidak mereka ketahui dan jarang kita bicarakan saat bicara soal keluarga kerajaan adalah bagaimana kedigdayaan kerajaan Inggris dibangun dari reruntuhan penderitaan banyak orang. Tak usah jauh-jauh, kalau kita mau mengulik lebih dalam soal segala pernak-pernik yang dipakai Charles III dan permaisurinya, Camilla, saat penobatan kemarin, akan terlihat gamblang dosa-dosa masa lalu mereka yang dengan bangga dipamerkan ke seluruh dunia.

Tongkat kerajaan yang berhiaskan berlian Afrika

Dulu saya suka heran, mengapa ada negara yang benderanya mengandung unsur bendera negara lain. Bendera Australia atau Selandia Baru misalnya, dengan lambang Union Jack khas Inggris menyempil di sudutnya. Setelah dewasa baru saya tahu, mereka sekarang disebut negara persemakmuran Inggris dan dulunya adalah bekas jajahan. Dan sampai hari ini, Inggris jadi penjajah teratas yang paling banyak menjajah negara di seluruh dunia, salah satunya Afrika.

Tak heran ketika Elizabeth II mati, Pejuang Kebebasan Ekonomi (EFF), partai oposisi di Afrika Selatan, menyatakan, "Bagi kami, kematiannya adalah pengingat akan periode yang sangat tragis di negara ini dan sejarah Afrika."

Afrika ibarat benua yang apes, tanahnya menyimpan banyak emas dan perhiasan, tapi jadi rebutan orang-orang di luar Afrika. Sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tujuh negara berebut menguasai Afrika, di antaranya Britania Raya. Profesor Amerika Serikat (AS) kelahiran Nigeria, Uju Anya, mengenang Kerajaan Inggris sebagai sponsor genosida yang membantai dan menggusur setengah keluarganya dari tanah kelahiran mereka.

Tongkat kerajaan di tangan Charles III. (Istimewa)

Salah satu berlian yang menghiasi tongkat kerajaan dikenal sebagai The Great Star of Africa ‘Bintang Besar Afrika’ dan diambil dari tambang di Afrika Selatan pada masa perebutan Afrika. 

Thomas Cullinan menambang berlian itu pada 1905 dengan berat sekitar 600 gram sebelum akhirnya dibeli seharga 150 ribu poundsterling (sekitar Rp300 miliar) oleh Pemerintah Transvaal Afrika Selatan yang dulu masih dikuasai Inggris. Konon, berlian itu lalu diserahkan ke Inggris sebagai simbol persahabatan dan perdamaian. Setelah dipotong jadi sembilan berlian besar, Bintang Besar Afrika dinamakan Berlian Cullinan, dan potongan terbesarnya ditanamkan di ujung tongkat kerajaan.

Sepeninggalan Elizabeth II, banyak orang menyerukan agar berlian itu dikembalikan ke pemilik sahnya: Afrika Selatan. "Mineral negara kita dan negara lain terus menguntungkan Inggris dengan mengorbankan rakyat kita!" kata aktivis Thanduxolo Sabelo. Tentu saja sebagaimana tabiat penjajah yang selalu mengklaim apa yang ia rebut sebagai miliknya, Kerajaan Inggris tak bergeming. 

Charles III saat dinobatkan sebagai Raja Inggris. (Istimewa)

Sabtu kemarin, Berlian Cullinan masih menempel dengan anggun di ujung tongkat kerajaan yang dibawa Charles III dan sepertinya akan betah di sana. Harganya kini ditaksir mencapai US$400 juta (hampir Rp6 ribu triliun) yang konon dapat menutupi biaya pendidikan tinggi untuk 75.000 orang Afrika Selatan. Namun, apa peduli keluarga kerajaan yang hanya memikirkan bagaimana cara makan dengan anggun dan tidak rewel saat ikut acara seremonial?

Berlian terkutuk dari India di mahkota ratu Inggris

Dahulu, selama berabad-abad, India dikenal jadi satu-satunya sumber berlian di dunia. Alkisah, penguasa Mughal Shah Jahan memerintahkan untuk membuat tahta megah berhiaskan banyak permata. Butuh tujuh tahun untuk menyelesaikan permintaan itu. Di antara banyak permata yang menghiasi tahta raja, tersebutlah dua permata paling besar: Ruby Timur dan berlian Kooh-i-Noor.

Kemakmuran selalu mengundang bencana, begitu juga yang menimpa Kekaisaran Mughal. Penguasa dari Persia, Nader Shah akhirnya menyerang Delhi pada tahun 1739, membantai puluhan ribu nyawa, dan menjarah seluruh aset di sana, termasuk Kooh-i-Noor. Sepanjang 70 tahun kemudian, berlian itu terus berpindah tangan di luar India, disertai pertumpahan darah di mana-mana. 

"Untuk merebutnya, seorang raja membuat buta putranya sendiri," kata sejarawan Anita Anand.

Berlian itu kembali lagi ke India tahun 1813 dan jatuh ke tangan penguasa Sikh Ranjit Singh. Ia berwasiat akan memberikan Kooh-i-Noor ke pendeta Hindu dan takkan menyerahkannya ke Inggris yang waktu itu sudah menjajah India. Hingga naiklah Duleep Singh sebagai penguasa saat masih bocah berusia 10 tahun. Inggris memaksanya menandatangani penyerahan Kooh-i-Noor ke tangan mereka. Sejak saat itu, berlian terkutuk tadi dimiliki Ratu Victoria dan diwariskan turun-temurun oleh penerusnya.

Berlian Kooh-i-Noor tersemat di mahkota Ratu Inggris. (Istimewa)

Kooh-i-Noor hanya satu dari sekian banyak yang dirampas Inggris dari India sepanjang tahun 1765-1938. Begitu lamanya mereka menjajah India dan begitu banyaknya yang mereka rampas dari sana, sampai-sampai bahasa Inggris untuk menjarah, yaitu “loot”, berasal dari bahasa Hindi “lut” yang berarti rampasan perang.

Berkaca dari sejarah tadi, saya rasa benar juga yang pernah ditulis Daniel Austin saat mengomentari lirik lagu kebangsaan Inggris: God save our gracious Queen, long live our noble Queen/send her victorious, happy and glorious, long to reign over us.

"Bisakah kita berhenti sejenak dan memikirkan betapa konyolnya kata-kata itu? Mengapa orang-orang berdiri, menaruh tangan di dada mereka, menyanyikan sebuah lagu wujud kepatuhan terhadap seseorang yang dilahirkan penuh kekayaan, kekuatan, dan hak istimewa karena tidak lebih dari keberuntungan genetika semata?"