Pasar Pakaian Bekas Cimol Bandung Didorong Jadi Destinasi Wisata Tekstil, Kamu Setuju?

ERA.id - Ketua Umum Insan Kalangan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) M Shobirin F Hamid mengusulkan kawasan Gedebage, Bandung, Jawa Barat, khususnya pasar pakaian bekas Cimol, menjadi sentra perdagangan tekstil sekaligus destinasi wisata tekstil.

"Walaupun dijadikan sentra perdagangan tekstil sekaligus destinasi wisata tekstil, tapi tetap dengan mengedepankan unsur kekhasan tersendiri, sehingga tetap menjadi tujuan utama masyarakat berbelanja tekstil dan produk tekstil dan aksesoris tekstil lainnya," katanya, Minggu kemarin.

Pihaknya, kata Shobirin, juga mendorong pemerintah memberikan solusi konkret bagi para penjual pakaian bekas impor (thrifting).

Dia tidak membenarkan aktivitas thrifting, namun banyak orang yang bergantung pada jual dan beli pakaian bekas impor, apalagi banyak orang yang bisa selamat karena thrifting selama masa pandemi.

Ia melihat bahwa aktivitas perdagangan barang bekas harus dilihat dari beberapa hal yakni pertama, pasar loak atau jual dan beli barang bekas adalah legal.

Menurut dia, aparat tidak boleh menindak atau merampas handphone, komputer jinjing atau barang elektronik bekas yang diperjualbelikan dan sama halnya dengan jual beli pakaian bekas.

"Kedua, ada ribuan masyarakat yang sejak lama terlibat dalam perniagaan ini yang didominasi oleh masyarakat kecil, sehingga penanganan kasus ini harus bijak dan tidak mengedepankan sikap represif, intimidatif dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya," kata Shobirin.

Ketiga, lanjut dia, ialah aktivitas yang melanggar hukum adalah memasukkan barang bekas tersebut secara ilegal dan hal ini yang perlu ditindak dan diselidiki siapa saja pemainnya.

"Seluruh pihak yang berkepentingan harus duduk bersama memberikan solusi konkret bagi mereka," kata Shobirin.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pakaian bekas di Indonesia mencapai 26,22 ton pada 2022.

Menurut Shobirin, penurunan performa industri tekstil bukan hanya dipicu aktivitas thrifting, salah satu yang perlu ditindak yakni impor barang bekas ilegal, di samping impor barang TPT yang sebetulnya tidak perlu diimpor.

"Justru yang paling penting bagaimana memberantas impor tekstil ilegalnya dan penyalahgunaan impornya. Jadi (thrifting) ini ancamannya ada, tapi bukan jadi pemicu utama," kata dia.

"Stigma kita semua industri tekstil jatuh karena thrifting. Padahal bukan, tapi ilegal tekstil impor dan penyalahgunaan impornya yang harus ditertibkan," lanjutnya.

Ia mencontohkan, dengan asumsi ada sekitar 2.000 pedagang pakaian bekas di Gedebage, Kota Bandung, maka perputaran uangnya kira-kira Rp120 miliar per bulan jika tiap pedagang meraup omzet sebesar Rp2 juta per hari.

Nilai tersebut, kata Shobirin, relatif kecil, sebab putaran uang di Gedebage hanya setara omzet di dua pabrik ukuran menengah atau sedang.

Ia pun mendukung itikad pemerintah dalam menekan dampak negatif dari thrifting seperti aspek kesehatan dan ekonomi, yang mana penjualan barang bekas tidak merangsang pertumbuhan ekonomi.

Namun, ia tetap meminta pemerintah agar memberi regulasi dan solusi jangka panjang yang jelas terhadap pelaku bisnis barang bekas saat ini.

"Solusinya, pemerintah harus bisa memproteksi market dalam negeri dan memberikan berbagai insentif yang berdampak dalam jangka pendek dan panjang untuk merangsang pertumbuhan perusahaan baru dan meningkatkan efisiensi serta daya saing industri lokal," kata dia.

Dengan demikian, jangan sampai tergantung pada barang impor mulai bahan baku sampai produk jadi. Apabila industri dalam negeri hidup dan meningkat, maka akan menghasilkan efek berganda seperti naiknya lapangan kerja dan penurunan tingkat pengangguran.

"Yang mana pada akhirnya akan meningkatkan gerak roda ekonomi secara keseluruhan," kata dia.

Shobirin mengapresiasi kebijakan Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Perdagangan yang sepakat memberikan kelonggaran bagi para pedagang pakaian bekas impor untuk menjual sisa dagangannya.

Namun, kata dia, bisnis pakaian bekas sudah besar dan banyak orang yang bergantung pada bisnis tersebut.

"IKATSI memberikan masukan agar secara legal tetap ditegakkan, namun di sisi lain para pedagang baju bekas ini diberdayakan mengingat situasi dan kondisinya sudah semakin membesar," kata dia.

IKATSI merupakan organisasi profesi yang anggotanya terdiri atas akademisi, peneliti, praktisi, profesional di industri tekstil, dan lulusan perguruan tinggi tekstil di Indonesia.