Dua Eksil Curhat ke Jokowi Tak Bisa Kembali ke Indonesia karena Tak Akui Pemerintahan Soeharto Pasca Tragedi 1965

ERA.id - Presiden Joko Widodo berdialog dengan dua orang eksil yang tinggal di Rusia dan Cekoslovakia untuk menceritakan kisahnya saat tak bisa kembali ke Indonesia saat peristiwa 1965.

Momen itu terjadi saat acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu di Rumah Geudong, Desa Bili, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023).

"Siang hari ini hadir dua orang dari Rusia dan juga dari Ceko yaitu Bapak Suryo Martono ini dari Ceko, dan bapak Sudaryanto dari Rusia," kata Jokowi dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (27/6/2023).

Setelahnya, Jokowi meminta Suryo dan Sudaryanto untuk menceritakan kisah mereka. Dia mengaku baru mengetahui sebatas keduanya tak bisa kembali ke Tanah Air lantaran peristiwa 1965. Keduanya saat itu sedang menempuh pendidikan di Rusia dan Ceko atas beasiswa dari pemerintah.

"Ada peristiwa 1965 dan beliau-beliau ini tidak bisa kembali ke Indonesia. Bayangkan, masih mahasiswa. Mungkin bisa bercerita pendek," kata Jokowi.

Kepada Jokowi, Suryo Martono meceritakan bahwa dirinya dikirim ke Ceko saat usianya masih 22 tahun. Dia mendapat beasiswa dari Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTPI) untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ekonomi di Ceko.

"Saya waktu itu umur 22, jadi mahasiswa di Ceko yaitu Sekolah Tinggi Ekonomi. Beasiswa dari negara lewat kementerian PTIP, dengan perjanjian nanti setelah kita lulus harus bekerja di buat untuk negara paling lama selama tiga tahun," kata Suryo.

Namun, di tengah mengeyam pendidikan di negara orang, Suryo mendengar kabar adanya peristiwa 1965. Di mana pemerintahan Indonesia tengah bergejolak.

Dari kabar yang dia dengar, ada kudeta yang didalangi oleh Presiden pertama RI Soekarno alias Bung Karno. Namun Suryo tak percaya Bung Karno melakukan kudeta.

"Apa yang kita terima bahwa kudeta itu didalangi oleh Bung Karno. Dan buat saya pribadi, itu sangat tidak masuk akal. Sebab Bung Karno waktu itu sudah menjadi presiden dan dengan kedudukan yang kuat," ujarnya.

Pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965, sejumlah pelajar asal Indonesia di Ceko, termasuk dirinya, diminta untuk menandatangani surat persetujuan terbentuknya pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Soeharto.

Akibatnya, passport milik Suryo dan 16 kawan lainnya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Mereka pun kehilangan status kewarganegarannya sejak saat itu hingga tak bisa kembali ke Tanah Air.

"(Karena peristiwa 1965) tidak bisa kembali, karena dicabut passport, saya dan 16 teman-teman di PPI Ceko pada waktu itu dicabut semua, karena kita tidak mau menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru," kata lelaki berusia 80 tahun itu.

Senada, Sudaryanto juga menjadi korban dampak dari peristiwa 1965. Kepada Jokowi, dia menceritakan awal mula bersekolah di Rusia.

Dia mengatakan, dirinya dikirim oleh Departemen Koperasi dan Transmigrasi Indonesia untuk menempuh pendidikan di Institut Koperasi Moskow. Namun, berbeda dengan Suryoo, Sudaryanto mendapatkan beasiswa dari pemerintah Uni Soviet.

"Saya dikirim organisi, Depatemen Koperasi dan Transmigrasi Indonesia, dan menjadi mahasiswa Institut Koperasi Moskow atas beasiswa pemerintah Uni Soviet," kata Sudaryanto.

Namun, ketika peristiwa 1965, Sudaryanto mengaku dinyatakan tak lolos skrining oleh pemerintah Indonesia pada saat itu.

Sebabnya, dia menolak menyepakati perjanjian di mana salah satu poinnya harus ikut mengutuk Bung Karno atas terjadinya peristiwa 1965.

"Saya tidak memenuhi syarat skrining yang pada saat itu dilakukan, karena di sana ada poin bahwa harus mengutuk Bung Karno, ini langsung saya tidak terima," kata Sudaryanto.

Akibatnya, sepekan setelah menolak perjanjian tersebut, dia mendapat surat pemberitahuan bahwa passportnya dicabut dan kehilangan status sebagai warga negara Indonesia.

"Seminggu sedudahnya, saya menerima pemberitahuan bahwa passport saya sudah dicabut dan saya kehilangan kewarganegaraan," katanya.

Berintungnya, pemerintah Uni Soviet saat itu cukup berbaik hati dan memberinya jaminan untuk melanjutkan pendidikan di Rusia. Bahkan juga setelah lulus diberikan pekerjaan hingga kini memasuki masa pensiun.

Dia mengaku, selama berada di Rusia setelah kehilangan kewarganegarannya, dia bekerja sebagai dosen hingga pernah menjabat sebagai dekan di Universitas Koperasi Rusia.

Sudaryanto juga sempat beberapa kali mengunjungi Indonesia atas undangan dari beberapa universitas-universitas di Tanah Air.

"Jadi hubungan dengan Indonesia sesudah tahun 2000 kembali normal, kemudian pemerintah Indonesia memberikan kesempatan untk bisa mengunjungi Indonesia," katanya.

Diketahui, pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui adanya berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu yang terjadi di Indonesia sejak 1965.

Tercatat ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang dipaparkan oleh Jokowi.

Diantaranya yaitu, peristiwa yang terjadi pada periode 1965-1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus) tahun 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh tahun 1989.

Kemudian peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II tahun 1998-1999, perisitwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999, peristiwa Wasior di Papua tahun 2001-2022, peristiwa Wamena di Papua taun 2003, dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.