Menyusuri Jalan Hidup Wotagei

ERA.id - Kawasan Dukuh Atas sempat ramai jadi ajang senang-senang warga pinggiran ibu kota, tempat orang-orang kecil menunjukkan eksistensinya dan menjamah fasilitas publik di pusat Jakarta yang sering dianggap eksklusif. Citayam Fashion Week digelar di sana dan melahirkan banyak nama seperti Jeje, Bonge, Kumala, dan Roi, sebelum kesenangan itu dijajah para artis dan politikus hingga kini tenggelam. 

Namun, Dukuh Atas belum mati. Saat kami ke sana Senin (10/7/2023) malam lalu, beberapa muda-mudi masih bercengkerama di dekat parkiran motor stasiun MRT, sementara pedagang starling dan jajanan jalanan menunggu pelanggan di pos masing-masing.

“Kalau weekend lebih rame lagi,” ucap Eric Crow, pentolan sekaligus pendiri Death Crow, grup wotagei yang eksis sejak 2012 silam. 

Eric ditemani kedua anggotanya malam itu, Obay dan Yos yang baru bergabung Death Crow setahun terakhir. Penampilannya tak jauh berbeda dari yang kami lihat di video-video yang jamak bertebaran di internet, sehingga kami tak sulit mengenalinya meski dari jauh dan baru pertama kali berjumpa.

Belakangan wajahnya memang sering jadi trending dan namanya selalu dikaitkan dengan wotagei. Eric, dengan rambut panjang yang melewati kedua pundak dan kumis tipis menyambung dengan janggut, ibarat godfather-nya wotagei Indonesia. Dan bersama dengan Death Crow, ia ikut menghidupkan Dukuh Atas dan tak membiarkannya mati suri.

Suasana di sekitar stasiun MRT Dukuh Atas, Senin (10/7/2023). (ERA/Agus Ghulam)

Setiap Senin dan Jumat malam, ia meluangkan waktunya untuk berkumpul di depan stasiun MRT Dukuh Atas naik kereta dari rumahnya di Tebet, Jakarta Selatan. Di sana ia akan melatih gerakan-gerakan wotagei dengan puluhan variasinya hingga lelah bersama anggota Death Crow yang lain. 

“Jadi ada pakem-pakem tertentu di wotagei. Gerakan inti atau dasar cuma sampai delapan gitu, tapi pengembangannya bisa ratusan,” ungkap Eric. Gerakan dasar tersebut terdiri dari: Over Action Dolphin (OAD), Rosario, Muramasa, Amaterasu Kai, Thunder Snake, Requiem, Tsukouyomi, dan Romansu.

Usianya sekarang menginjak 41 tahun dan sehari-hari ia bekerja sebagai guru les gambar. Eric sendiri mulai tertarik dengan dunia Jepang setelah nonton Kamen Rider di rumahnya. Ditambah kedua orang tuanya juga menggandrungi budaya Jepang dan sering mencekokinya dengan musik-musik Jepang hingga anime. Tumbuh besarlah Erik sebagai seorang otaku, penikmat dan penggiat budaya Jepang, dan ia tak peduli apa kata orang.

Sementara itu, wotagei baru ditekuninya pada 2012, usai grup saudari AKB48 hadir di Indonesia dengan nama JKT48 pada akhir 2011. “Saya dulu mengikuti AKB48, jadi saya lihat di Youtube itu beberapa fans AKB melakukan gerakan-gerakan wotagei gitu,” ungkap Eric.

Ia langsung terkesima dengan gerakan wotagei yang menggunakan lighstick warna-warni. “Gerakannya juga agresif dan keras gitu, wah ini seru juga,” lanjutnya.

Eric Crow, pendiri grup wotagei Death Crow yang aktif sejak 2012. (ERA/Agus Ghulam)

Sejak saat itu ia mulai meniru gerakan-gerakan yang ditontonnya lewat Youtube. Puluhan, ratusan, hingga ribuan kali. Ternyata, bukan hanya ia seorang yang menggandrungi wotagei. Ketika menonton konser-konser JKT48 baik di dalam dan luar kota, ia kerap bertemu dengan sesama fans yang mencoba mengadopsi wotagei ke Indonesia. Mereka kemudian saling bertukar ilmu dan mengoreksi gerakan masing-masing. Beberapa yang cukup beruntung sempat berkunjung ke Jepang lalu memverifikasi gerakan-gerakan tadi di negeri asalnya. Begitulah perjalanan wotagei sampai ke Indonesia.

Wotagei, olahraga, dan rumah kaum marjinal

Hingga kini, hampir 12 tahun Eric aktif memegang lightstick dan menghidupi wotagei di Indonesia. Death Crow yang ia bangun dari nol, menurutnya bahkan jadi satu-satunya di sini yang mampu melakukan wotagei sepanjang satu lagu penuh dengan durasi 4-5 menit. 

“Rekrutmen di Death Crow itu ada kriterianya sih. Salah satunya rajin latihan. Dia rajin latihan, disiplin, tepat waktu, nah itu bakal masuk jadi tim inti,” ungkap Eric.

Meskipun begitu, ia juga tidak menerapkan aturan yang ketat di Death Crow. Eric sendiri rutin datang tiap minggu untuk latihan di Dukuh Atas, tetapi anggotanya dibebaskan mau ikut atau tidak. Ia juga memaklumi kalau setiap orang punya kesibukan masing-masing di luar wotagei.

Eric Crow berlatih gerakan wotagei bersama kedua temannya di depan stasiun MRT Dukuh Atas. (ERA/Agus Ghulam)

Bagi Eric sendiri, wotagei adalah hobi sekaligus olahraga. Dan saat menyaksikan langsung mereka latihan disiram remang lampu jalan dan sorot lampu kendaraan yang lalu-lalang di Jl. Sudirman, kami mengakuinya. Itu bukan hanya tampak melelahkan, tapi betul-betul menguras tenaga saat kami mencoba sendiri beberapa gerakan dasar yang diajarkan Eric. Kami membatin, ini saja baru yang dasar-dasar, bagaimana yang sulit?

Eric tampaknya menangkap kegamangan kami dan berkata ia akan mencontohkan beberapa gerakan tingkat tinggi di wotagei. “Namanya Narmaya,” ucapnya sambil menenteng dua lightstick berwarna hijau. 

Ia memasang kuda-kuda dan meregangkan kedua kaki. Dan setelah menarik napas panjang, kedua tangannya berputar seperti baling-baling. Saking cepatnya, lampu di tangannya tampak meninggalkan seberkas garis putus-putus. Saat kami menyetel ulang videonya dengan gerakan lambat, ia bisa membuat empat putaran kecil dan tiga putaran besar dalam waktu sedetik. 

“Awal-awal memang pegel-pegel dulu, sakit-sakit badan, encok. Ada yang enggak bisa bangun dua hari. Biasanya kayak gitu,” sebut Eric sambil tertawa. Dua teman yang ia bawa juga tampak mengiyakan pernyataan tadi.

Beda dengan Eric yang sudah belasan tahun aktif wotagei, Obay dan Yos baru mengenalnya saat pandemi kemarin. Yos sepanjang sesi latihan tak banyak bicara dan tampak malu-malu, sedangkan Obay yang bekerja sebagai sales motor lebih luwes berkomunikasi dengan orang baru. 

Salah satu gerakan wotagei, Over Action Dolphin (OAD). (ERA/Agus Ghulam)

Obay sebetulnya tidak terlalu mengikuti idol group dan awalnya hanya penggemar anime hingga musik-musik Jepang. Namun, setelah berkali-kali melihat aksi wotagei di skena jejepangan, ia jadi makin penasaran ingin merasakannya langsung. Bergabunglah ia dengan Death Crow tahun lalu. Setelah jadi anggota, ia baru sadar bahwa wotagei, selain menjadi hobi dan olahraga, juga tempat banyak orang yang sering dianggap aneh untuk unjuk diri dan merasa bebas.

“Di sini saya ketemu banyak orang yang unik-unik, yang dia biasanya di rumah aja, menyendiri, di sini justru jadi tempat mereka bersosialisasi,” ungkap Obay. Contohnya tak jauh-jauh, Yos. Di luar sana ia mungkin sering dijauhi dan dikucilkan, tapi di Death Crow, kemampuannya merakit lightstick diberdayakan dengan baik.

“Ini lightstick-nya buatan sendiri. Jadi, temen saya namanya Yos ini jago bikin lightstick. Harganya sekitar Rp200 ribuan, semakin terang, semakin mahal,” ungkap Eric. “Kalau mau beli, bisa pesen ke kita. Kalau ada member yang enggak sanggup beli, nanti disubsidi, pinjem dulu.”

Hidup dari wotagei, mungkinkah?

Nama Eric Crow dan wotagei baru meledak belakangan ini, meskipun ia sudah lama menjalaninya dan mengaku takkan pernah berhenti hingga tak mampu lagi mengangkat lightstick. Setelah 12 tahun dan pamornya kian naik, adakah yang berbeda? Menurut Eric, dulu wotagei hanya aksi volunteer fans idol group untuk menyemangati idol mereka, sedangkan hari ini seperti semi profesional.

“Sebulan tuh biasanya sekali atau dua kali tampil, gitu. Jadi, bisa kadang-kadang sekali, dua kali, kadang-kadang bisa tiga kali juga,” ungkap Eric. Bukan hanya itu, sesekali mereka juga diundang ke TV nasional. “Udah beberapa kali di TV juga, kayak Trans TV, SCTV, MNC, Indosiar juga pernah.”

Paling besar bayaran mereka adalah saat acara televisi. Dengan full team 20 orang, Death Crow menampilkan wotagei berdurasi satu menit dan dibayar Rp500 ribu per kepala. “Ya paling gede itu sih,” ucap Eric.

Eric Crow sedang beraksi. (ERA/Agus Ghulam)

Walaupun sudah beberapa kali menerima undangan manggung, bukan berarti wotagei menjadi profesi yang menjanjikan. Lagi-lagi, bagi Eric dan fans idol lainnya, bisa bersorak untuk idol mereka dan menampilkan koreografi maksimal sudah cukup menjadi kebahagiaan tersendiri tanpa perlu bayaran. Maka dari itu, di luar wotagei, mereka bekerja sesuai jalan masing-masing: menjadi guru gambar, sales, hingga penjaga minimarket.

Ketika ditanya apa misi Eric ke depannya, ia lantang menjawab, “Suatu saat nanti sih, mau bikin perlombaan sendiri, misalkan kejuaraan dunia wotagei, full song no cut. Kita juga mau ngumpulin semua anak wotagei di Indonesia ini, kita mau wotagei rame-rame.”

Tak terasa kami sudah menemani mereka latihan hingga lewat jam 10 malam. Sesekali ketika MRT lewat di bawah tanah, embusan angin dari pendingin di stasiun terhempas keluar dan menerpa punggung kami untuk sesaat. Kata Eric, itu juga alasannya mereka memilih latihan di sana. “Kadang suka adem begini, enak,” ucapnya. Setelah selesai mengambil beberapa gambar, kami berpamitan dengannya. Senyum Eric mengantar kami hingga jauh, dan bersama kedua temannya, ia melanjutkan berlatih gerakan-gerakan wotagei untuk ditampilkan minggu depan.

>