Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia, Dimulai Tahun 70-an untuk Pertanian

ERA.id - Masyarakat sudah tak asing lagi dengan modifikasi cuaca. Rekayasa fisika dilakukan untuk menghadirkan hujan di suatu daerah. Merunut ke belakang, sejarah modifikasi cuaca ternyata sudah ada sejak tahun 70-an.

Latar belakang munculnya ide ini adalah kebutuhan pertanian. Melalui berbagai penelitian, pemerintah berhasil menciptakan “hujan buatan” yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh subur.

Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia

Dikutip Era.id dari situs resmi BRIN, ide Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC)—dulu disebut hujan buatan—dimulai tahun 1977. Ide modifikasi cuaca lahir ketika Presiden Kedua Indonesia, Soeharto, melihat pertanian di Thailand yang dinilai cukup maju. Hal tersebut terjadi karena pasokan air untuk pertanian disokong oleh modifikasi cuaca.

Kisah asal mula modifikasi cuaca diceritakan oleh Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Budi Harsoyo. Dia menjelaskan, setelah Soeharto tahu soal modifikasi cuaca, dia memerintahkan B.J. Habibie untuk mempelajarinya.

Proses modifikasi cuaca (situs resmi BRIN)

Pada tahun 1977, Indonesia memulai proyek hujan buatan. Saat itu proyek masih mendapatkan pendampingan dari Thailand.

“Jadi memang awalnya dulu TMC ini dipelajari di Thailand dan diaplikasikan di Indonesia fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi," terang Budi, dilansir BRIN (30/12/2022).

Setelah percobaan tersebut, pada 1978 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) didirikan. Proyek hujan buatan berada di Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA). Setelah itu, pada 1985 UPT Hujan Buatan didirikan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT No 342/KA/BPPT/XII/1985.

Barulah tahun 2015 istilah Teknologi Modifikasi Cuaca dikenal. Hal tersebut sesuai Peraturan Kepala BPPT Nomor 10 Tahun 2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.

"Tahun 2021 setelah terintegrasi ke BRIN, kini pelayanan TMC berada di Laboratorium Pengelolaan TMC di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi," terang Budi.

Pemanfaatan Modifikasi Cuaca

Budi mengatakan, jumlah bencana hidrometeorologi meningkat dalam 10 tahun terakhir, seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla), longsor, dan banjir. Penggunaan TMC pun akhirnya berkembang menjadi upaya mitigasi bencana. Hampir setiap tahun TMC dilakukan untuk menanggulangi karhutla.

Saat ini, lanjut Budi, Thailand bahkan belajar dari Indonesia terkait operasi TMC untuk mitigasi bencana. Ini terjadi karena Indonesia melakukan pengembangan terhadap operasional TMC.

Permintaan TMC pun akhirnya semakin luas tergantung kebutuhan. Berawal dari niat memajukan pertanian, saat ini modifikasi cuaca juga digunakan untuk penanggulangan karhutla, pembasahan lahan gambut, penangulangan banjir, pengurangan curah hujan ekstrem, dan pengamanan infrastruktur serta acara besar kenegaraan.

Pada 2011, TMC dilakukan untuk mengurangi curah hujan demi mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang. Kemudian, pada tahun 2013, 2014, dan 2020 digunakan untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Tahun lalu, modifikasi cuaca digunakan untuk membantu kelancaran Moto GP Mandalika dan KTT G20.