Rempang Mencekam: Masyarakat Adat dalam Bayang-Bayang Penggusuran
Berpancang amanah bersauh marwah kampung Melayu. Kampung bertuah dibangun dengan susah, keringat dan darah, pantang dipindah sebagai bukti sejarah.
ERA.id - Pulau Rempang di Kepulauan Riau sedang bergejolak akibat bentrokan antara aparat dan warga setempat pada Kamis (7/9/2023) kemarin. 10 ribuan warga yang tersebar di 16 Kampung Melayu Tua dan turun-temurun tinggal di sana sejak tahun 1834 terancam terusir dari rumah mereka akibat Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City dengan nilai investasi mencapai Rp381 triliun.
Pengelolaan Pulau Rempang, Galang, dan Galang Baru seluas 17.000 hektar dilepas ke pengembang yaitu PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 12 April 2023, ditandai dengan peluncuran pengembangan kawasan Rempang di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dihadiri langsung oleh Menteri Airlangga Hartarto. PT MEG sendiri merupakan anak usaha dari Artha Graha milik pengusaha Tomy Winata.
Pihak pengembang mengatakan bakal mentransformasi pulau tersebut menjadi tujuh kawasan mencakup kawasan industri, agrowisata, pariwisata, perumahan, pembangkit listrik tenaga surya, konservasi, dan cagar budaya. Diproyeksikan sebanyak 306 ribu tenaga kerja bisa terserap hingga 2080 untuk proyek tersebut.
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), instansi pemerintah pusat yang memegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di pulau tersebut, menyebutkan bahwa luas lahan yang boleh dibuka di Pulau Rempang untuk kegiatan industri hanya seluas 7.572 hektar dan sisanya tetap dipertahankan sebagai hutan lindung.
Dengan luas tadi, BP Batam bakal memperoleh setoran Uang Wajib Tahunan (UWT) sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari PT MEG senilai kurang lebih Rp1,9 triliun.
Namun, segala kalkulasi keuntungan ekonomi dari proyek Rempang Eco City harus mengorbankan kehidupan warga setempat dan masyarakat adat yang sudah hidup menahun di tanah nenek moyang mereka karena terancam direlokasi ke tempat yang asing.
BP Batam sebelumnya menawarkan kepada warga Pulau Rempang untuk pindah ke Pulau Galang. Mereka sudah menyiapkan tanah seluas 199 hektar di belakang Rumah Sakit Khusus Covid-19 Pulau Galang yang akan dibangun rumah tipe 45 sebanyak 3.000 unit. Namun, warga menolak direlokasi.
Spanduk penolakan relokasi bisa ditemukan di berbagai sudut kampung, seperti di pinggir Jalan Trans Barelang, Pulau Rempang, yang bertuliskan: Berpancang amanah bersauh marwah kampung Melayu. Kampung bertuah dibangun dengan susah, keringat dan darah, pantang dipindah sebagai bukti sejarah.
Rempang menolak relokasi dan pernyataan Jokowi di masa lalu
Ada 16 kampung tua di Pulau Rempang yang dihuni warga asli dari suku Melayu, Orang Laut, dan Orang Darat, yang diyakini bermukim di sana sejak tahun 1834. Luasnya hanya sekitar 1.500 hektar. Saat forum sosialisasi Rempang Eco City, Jumat (21/7/2023), salah seorang tokoh masyarakat setempat, Gerisman Ahmad, memohon agar pemerintah tidak menggusur mereka dari sana sambil menyetel pernyataan Presiden Joko Widodo empat tahun silam.
Dalam Rapat Terbatas tentang Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan, di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (3/5/2019), Jokowi menyinggung kasus-kasus sengketa tanah yang melibatkan rakyat dengan swasta maupun rakyat dengan pemerintah. Waktu itu, ia menunjuk kasus sengketa tanah antara rakyat dengan PT Perkebunan Nusantara di Kampar, Riau.
"Hampir di semua kabupaten kejadian-kejadian ini ada semuanya, dan saya minta ini segera diselesaikan secepat-cepatnya, dituntaskan agar apa? Rakyat memiliki kepastian hukum, ada rasa keadilan," ujar Jokowi tegas.
Ia bahkan menegaskan bahwa pihak swasta maupun BUMN harus memberikan tanah-tanah konsesi kepada masyarakat apabila di tengah tanah tersebut ada kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di sana.
"Kalau yang diberikan konsesi sulit-sulit, cabut konsesinya. Saya sudah perintahkan ini, cabut seluruh konsesinya tegas-tegas," lanjut Jokowi seraya menambahkan bahwa rasa keadilan harus diutamakan. "Sudah jelas di situ sudah, ini hidup lama di situ malah kalah dengan konsesi baru yang baru saja diberikan."
Namun, instruksi presiden di atas bertolak belakang dengan apa yang berlangsung di lapangan bertahun-tahun setelahnya seperti yang terjadi di Pulang Rempang. Terbukti berkali-kali penolakan warga yang enggan direlokasi tetap tak mendapatkan dukungan dari pemerintah maupun aparat.
23 Agustus lalu, ribuan massa yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Melayu dan masyarakat pesisir menggelar aksi di depan gedung BP Batam untuk menolak relokasi 16 kampung tua di Pulau Rempang. Mereka juga menuntut agar intimidasi terhadap warga yang menolak relokasi dihentikan.
Setelah ada isu pemasangan patok dan pengukuran tanah akhir Agustus lalu, banyak warga yang bersiaga di jalan-jalan kampung mereka. Puluhan warga Kelurahan Sembulang bahkan rela tidur berhari-hari di jalan untuk mencegah pematokan pada minggu terakhir Agustus. Puncaknya, aparat gabungan dari Kepolisian Polda Kepri, TNI, dan Satpol PP Kota Batam, bentrok dengan warga setempat.
Lagi-lagi kekerasan dan gas air mata
Amnesty International Indonesia melaporkan adanya kekerasan dan intimidasi oleh aparat Polda Kepulauan Riau terhadap warga Pulau Rempang-Galang pada hari Kamis (7/9/2023) sejak pagi hingga siang hari. Menurut mereka, sebanyak kurang lebih 1.000 personel diturunkan untuk mengawal pemasangan patok di tanah-tanah warga.
"Ribuan warga setempat menolak pengukuran tersebut karena akan menggusur pemukiman mereka seluas 1.000 Ha. Namun penolakan masyarakat direspons dengan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan. Kepolisian telah menggunakan gas air mata untuk membubarkan masyarakat yang ikut protes damai sambil memukuli mereka dengan pentungan," tulis Amnesty International Indonesia dalam keterangannya, Jumat (8/9/2023).
Tidak ada korban jiwa, tetapi puluhan orang dilaporkan luka-luka dan ratusan murid yang sedang mengikuti kegiatan belajar terpaksa dibubarkan setelah gas air mata menerjang SMP Negeri 22 Galang dan SD Negeri 24 Galang. Setidaknya delapan warga ditangkap dengan tuduhan provokator dan polisi berdalih gas air mata yang ditembakkan untuk membubarkan massa tertiup angin hingga masuk ke sekolah.
"Kekerasan di Pulau Rempang-Galang ini mengulangi pola yang sama dalam beberapa konflik agraria, seperti yang terjadi di Padang dan Bandung Agustus lalu, saat aparat kepolisian secara tidak proporsional melakukan penangkapan dan menggunakan kekerasan fisik, termasuk memakai pentungan dan gas air mata, terhadap warga sipil yang memperjuangkan hak-hak mereka secara damai," tutup laporan tersebut.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo angkat bicara terkait bentrokan tersebut. Menurutnya, upaya musyawarah tetap menjadi prioritas untuk menyelesaikan masalah di Pulau Rempang.
"Upaya musyawarah, upaya sosialisasi penyelesaian dengan musyawarah mufakat menjadi prioritas," ucapnya di Jakarta Pusat, Kamis (7/9/2023).
Ia menambahkan bahwa BP Batam sebelumnya juga sudah bermusyawarah dengan warga dan menyiapkan uang ganti rugi bagi warga yang nanti direlokasi. Namun, berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Kepala BP Batam Muhammad Rudi bersama Komisi VI DPR RI, Selasa (5/9/2023), anggaran untuk relokasi masih dalam tahap pengajuan dan menunggu persetujuan menteri keuangan dan presiden.
Sigit sendiri menyebut bentrokan yang terjadi kemarin ia sebagai upaya-upaya penertiban dari aparat untuk merespon aksi dari masyarakat.
Sementara itu, BP meminta agar warga tidak terprovokasi dalam siaran persnya hari Kamis. Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menyebut warga yang ditangkap pihak kepolisian sebagai oknum provokator.
“Beberapa di antaranya bahkan didapati membawa parang dan sudah berhasil diamankan," ujarnya sambil menambahkan bahwa warga sudah disosialisasikan terkait rencana pengukuran lahan tersebut.
Tim terpadu yang terdiri dari TNI, Polisi, BP Batam, dan Satpol PP memastikan bakal mengosongkan Pulau Rempang sebelum 28 September 2023 karena pabrik kaca akan segera dibangun di sana dan mengganggu pernafasan warga.
"Tanggal 28 Pulau Rempang clean and clear untuk diserahkan kepada pengembang PT MEG," ujar Kapolresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto, Kamis (7/9/2023). Ia menambahkan bahwa proses pengukuran dan pematokan juga akan terus berlanjut.
"Relokasi di Sembulang dulu tahap awal, pematokan ini untuk menentukan areal hutan saja bukan untuk penggusuran," ujarnya. Jika pemblokiran jalan terjadi lagi, ia memastikan aparat gabungan akan mengambil tindakan.