Mengenal Apa Itu Politik Dinasti dan Bedanya dengan Dinasti Politik

ERA.id - Manuver politik yang dilakukan oleh sejumlah politikus Indonesia menarik perhatian. Anggota keluarga politikus belakangan turut serta dalam percaturan politik Tanah Air.

Hal ini dinilai sebagai upaya membangun atau melanggengkan dinasti politik yang akan merusak demokrasi. Terkadang orang menyebut fenomena ini sebagai politik dinasti. Sebenarnya, apa itu politik dinasti?

Mengenal Apa Itu Politik Dinasti dan Dinasti Politik

Dilansir situs resmi UMJ, ketua Prodi Magister Ilmu Politik, Lusi Andriyani, memberikan penjelasan terkait perbedaan politik dinasti dan dinasti politik. Politik dinasti merupakan kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang punya hubungan keluarga, contohnya adalah anak mewarisi kekuasaan ayahnya. Sistem politik tersebut biasa dilakukan oleh negera dengan sistem monarki.

Hal ini berbeda dengan dinasti politik. Lusi menjelaskan, dinasti politik dikonstruksi bahwa kekuasaan hanya dikuasai oleh satu keluarga. Dia menegaskan, dinasti politik berdampak buruk bagi demokrasi Indonesia sebab hal ini mengutamakan kepentingan kelompok.

Ilustrasi tawaran meneruskan dinasti politik (pexels)

“Dari kedua hal itu (politik dinasti dan dinasti politik), memang yang lebih terasa dampak negatifnya adalah dinasti politik. Karena ada upaya dengan sengaja merekonstruksi kondisi keluarganya untuk ditempatkan ke dalam kekuasaan tertentu, untuk kepentingan kelompoknya,” jelas Lusi.

Lusi juga menjelaskan, dinasti politik dan politik dinasti sama-sama melibatkan keluarga, saudara, atau kerabat dalam kekuasaan tetapi punya perbedaan yang mencolok. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah kompetensi dari para calon pemilik kekuasaan.

“Dua konsep ini memang tidak bisa dilepaskan begitu saja antara politik dinasti dan dinasti politik. Keduanya sama-sama melakukan regenerasi dan reproduksi. Regenerasi itu diperbolehkan, misal kita mempunyai anak yang kelak diarahkan ke kompetensi yang sama. Tetapi, kalau mereproduksi itu ada kesan memaksakan, ketika satu keluarga tidak memiliki kompetensi yang sesuai hanya untuk melanggengkan kekuasaan,” terang Lusi.

Lusi mengatakan, kesan “memaksakan” membuat masyarakat mengkritisi tindakan ini. Namun, dia mengatakan bahwa kedua konsep politik ini tetap sah. Pelarangan pencalonan terhadap orang yang punya hak dipilih adalah tindakan melanggar hak politik yang bertentangan dengan asas demokrasi.

Yang jadi catatan adalah cara pencalonan tersebut. Terkadang seseorang (anggota keluarga) dicalonkan untuk melanjutkan, meneruskan, atau melanggengkan kelompok tertentu meski tak punya kompetensi di bidang tersebut sehingga terkesan “memaksakan”.

Lusi tidak menampik bahwa praktik dinasti politik adalah sesuatu yang tidak sehat untuk demokrasi. Dinasti politik memperkecil peluang calon-calon potensial untuk duduk di pemerintahan jika bukan bagian dari dinasti tersebut.

“Kalau kita mau menyatakan dinasti politik ini negatif, memang iya. Di ruang demokrasi sesuatu kewajaran tanpa ada aturan main itu akan merusak,” jelas Lusi.

Meski demikian, dia mengatakan bahwa dinasti politik tidak hanya bisa dinilai dengan batasan hitam dan putih. Penilaian tetap harus dilakukan berdasarkan kasus yang terjadi sebab ada pula orang (bagian dari dinasti) yang memang punya potensi untuk duduk di pemerintahan.

Lusi menekankan, pemaksaanlah yang menjadi tidak baik, yaitu saat seseorang yang tak punya kompetensi tetap dimajukan demi kepentingan golongan tersebut.

Itulah penjelasan soal politik dinasti dan perbedaannya dengan dinasti politik. Untuk mendapatkan informasi menarik yang lain, ikuti terus berita terbaru Era.id.