Problematika Menggaet Pemilih Milenial di Pemilu 2019
CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengungkapkan, berdasarkan hasil risetnya yang terbaru, pemilih milenial yang melek politik hanya sedikit.
"Celakanya, dalma konteks politik. Generasi ini rada cuek dengan politik. Survei terbaru kami, hanya 22 persen anak milenial yang mengikuti pemberitaan politik. Sisanya mereka lebih banyak ngikuti seputar olahraga, musik, film, lifestyle, sosmed kemudian IT," ucap Ali dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat (20/10/2018)
Ali menuturkan, alasan milenial cuek dengan politik karena menganggap politik adalah urusan orang tua. Urusan anak milenial adalah lebih pada kehidupan sehari-hari mereka.
Minimnya pendidikan politik
Rendahnya minat pemilih milenial terhadap isu politik ternyata dipengaruhi oleh minimnya pendidikan politik bagi mereka.
"Pemilih pemula ini sebenarnya kedekatan dengan dunia politik sebenarnya masih minim, sementara informasi proses politik yang berkarakter masih minim," kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto.
Susanto melanjutkan, pemilih milenial yang jumlahnya sekitar 14 juta jiwa tersebut memang secara umum baru keluar dari pendidikan di tingkat SLTA. Konsen pendidikan mereka biasanya lebih ke pendidikan formal dibandingkan ke pendidikan politik.
Karena minimnya pendidikan politik itu, kata Susanto, sebenarnya pemilih pemula rawan termakan konten kampanye hoaks yang menyebar di dunia maya.
"Karena dekat dengan medsos, maka kerentanan anak terpapar dunia itu juga tinggi Maka proses politik proses kampanye banyak bermuatan dengan hoaks maka kerentanannya tertinggi. Hal seperti ini harus menjadi konsen kita semua agar proses yang sedang berjalan terutama Pilpres tahun 2019 ini berjalan dengan baik," tutur dia.
Acara diskusi bertema Pemilih Milenial dan Masa Depan Bangsa. (Foto: Diah/era.id)
Strategi gaet pemilih milenial
Hasanudin Ali kembali menjelaskan bahwa ada 5 Prinsip cara yang bisa digunakan caleg maupun capres-cawapres untuk menggaet kaum milenial agar ikut Pemilu 2019.
Pertama, para kandidat kontestasi politik harus memperhatikan bahasa yang digunakan. Ali berpendapat, masalah bahasa menjadi penting karena milenial itu hidupnya penuh dengan kehidupan yang informatif.
"Itu mengalir begitu deras begitu ya, maka kampanye yang digunakan harus menggunakan bahasa-bahasa yang praktis tidak boleh janji-janji yang mengawang dan seterusnya," ujar Hasanudin.
Yang kedua, kaum milenial lebih suka yang otentik, dalam arti penampilan karakter tidak boleh bertujuan 'pencitraan'. Yang ketiga, yakni kebaruan, sesuatu yang disampaikan oleh para calon harus memiliki unsur kejutan untuk para milenial.
"Karena generasi yang kepo, yang suka sesuatu hal yang baru, maka mereka selalu ingin kejutan-kejutan," kata dia.
Yang ke empat adalah interaktif. Menurutnya, cara kampanye harus dengan dialogis tidak statis atau monoton. Karena menurutnya, milenial tak suka kampanye dengan sistem satu arah.
"Makanya biasanya harus ada hal tanya jawab lebih ke arah buka dialog dengan peserta kampanye" ujar Hasanudin.
Dan yang terakhir adalah kreatif, yakni para calon legis latif maupun calon presiden dan wakil presiden harus kreatif, misalnya bisa menggunakan 'meme', atau typografi yang menarik.
"Ini lah lima cara yang paling efektif untuk menggaet kaum milenal saat ini," kata Ali.