(Hold Indra) Minat Baru Milenial pada Politik
Ketidakpercayaan anak muda kepada partai politik dan kekecewaan akan pemimpin yang tersangkut kasus korupsi menjadi awal mula dari lahirnya ketertarikan milenial kepada dunia politik. Dampaknya, anak muda tak lagi apatis dan enggan hanya menjadi objek corong para politisi.
Aktivitas yang anak muda jalani memiliki konsekuensi dan pengaruh tertentu pada politik di tanah air. Misalnya, ketika diam menghadapi permasalahan bangsa, maka tingkat kemiskinan, ketidakadilan dan korupsi di Indonesia tidak akan berubah. Alih-alih kecewa, milenial menceburkan diri sebagai agen perubahan dari dinamika politik di Indonesia.
"Saya memahami kalau ada sebagian anak muda yang tidak peduli pada politik, tentu kita kerap dikecewakan oleh politisi selama ini. Tapi saat bersamaan saya juga menyadari bahwa kehidupan kita itu bergantung pada politik," kata Sekretaris Jenderal Partai Sollidaritas Indonesia, Raja Juli Antoni kepada era.id.
Terpikatnya anak muda pada politik juga dikarenakan pinangan partai. Kaderisasi partai politik saat ini menjangkau milenial untuk menggaet suara-suara potensial baru, yaitu anak muda. Hal itu disambut baik, pasalnya anak muda menginginkan wadah yang pasti untuk sikap politik mereka.
"Ketika saya turun ke lapangan, banyak anak muda. Ternyata ada di masyarakat kita anak muda yang sesungguhnya ingin sekali masuk parpol tapi tidak memiliki akses yang baik untuk terlibat," lanjut Raja Juli.
Naik Daunnya Politik Milenial
Sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, partai-partai berlomba merancang program kampanye untuk memikat milenial. Salah satu latar belakangnya terkait laporan Lembaga Survei Indonesia yang menyebutkan pemilih muda akan menjadi salah satu penentu kemenangan di agenda politik tahun itu.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, jumlah pemilih muda mencapai 20 juta dari total 186 juta pemilih pada 2014. KPU mencatat 36 juta pemilih muda dari 171 juta pemilih pada 2009. Sementara tahun 2004, jumlah pemilih muda sekitar 27 juta dari 147 juta pemilih.
Kedekatan psikologis menjadi hal utama yang dibangun partai untuk menjaring pemilih muda. Ikon anak muda menjadi unsur utama partai, mereka merangkul lewat gaya, melalui cara bertutur layaknya anak muda dengan bahasan isu-isu yang melekat dengan generasinya.
Terbukanya lapangan pekerjaan jadi satu dari banyaknya isu yang diangkat pada Pemilu 2014. Ikon anak muda, yang kebanyakan berprofesi sebagai anggota grup musik bernyanyi untuk menghibur di hampir setiap prosesi kampanye. Mereka menyelipkan isu terbukanya lapangan pekerjaan untuk anak muda di sela kampanye sebagai bentuk strategi pendekatan psikologi.
Perkembangannya, antusiasme anak muda dalam berpolitik dinilai makin terasa saat Pemilihan Presiden berlangsung pada 2019. Berdasarkan laporan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), jumlah anak muda yang akan menentukan pilihannya pada 2019 akan mencapai 55 persen dari total pemilih yang saat ini masih dikalkulasi.
Dasar itu menjadikan partai politik tak hanya bekerja sama dengan ikon anak muda, mereka menggaet langsung mileniel yang ingin tumbuh dan berkembang dalam wadah partai. Prioritas itu mulai ditegaskan partai untuk agenda politik tahun 2018 dan tahun 2019.
Raja Juli menerangkan, aspirasi anak muda saat ini tak hanya dikaitkan dengan isu lapangan pekerjaan. Partai politik kini menyorot industri agro bisnis rumahan, produk pertanian yang potensial dan yang paling umum, jalan tengah terkait upah buruh.
"Dunia nya udah berubah ya, jadi ekonomi, pertanian juga iya, ke arah agro industri preneur di desa-desa juga. Begitu juga di kalangan buruh," jelas Raja Juli.