Kisah di Balik Dapur PRT: Dari Pelecehan hingga Kerja Lembur Tanpa Libur
ERA.id - Namanya Ajeng Astuti. Sejak kecil ia biasa dipanggil Tuti. Namun, ketika nyemplung ke dunia kerja, ia lebih sering dipanggil Ajeng. Usianya masih sangat belia ketika pertama kali direkrut: 15 tahun. Ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) menggantikan tetangganya yang pulang kampung.
“Waktu itu kebetulan saya putus sekolah,” ceritanya saat kami temui di kantor Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Selasa (24/10/2023). “Adek saya udah agak besar dan saya mau ngapain ya? Mau kerja belum cukup umur, sekolah juga enggak.”
Tawaran dari tetangganya segera ia sambut. Dalam benaknya, bekerja sebagai PRT waktu itu hanya butuh modal cakap bersih-bersih dan memasak. Dan keduanya sudah biasa ia lakukan di rumah menggantikan ibunya. Setelah bolak-balik pindah majikan, ia baru tahu nekat menjadi PRT terkadang sama dengan siap bekerja tanpa hari libur.
"Karena terbatasan saya nggak punya ijazah waktu itu. Di pikiran saya, satu-satunya jalan yang tidak memerlukan ijazah dan keterampilan khusus ya jadi PRT ini," ceritanya.
Tahun 1992 Ajeng memulai kerja, terhitung sudah 30 tahun lamanya. Masa kecilnya ia habiskan dengan menjadi ibu untuk adiknya, dan masa remajanya dihabiskan dengan menyapu rumah orang. Otomatis sejak muda, tanpa disadari ia telah menjalani kerasnya kehidupan orang dewasa.
Hari ini Ajeng sedang menganggur. Majikan sebelumnya di Hotel Kristal tak sanggup lagi menggaji dan melepasnya pergi. Sudah ada beberapa panggilan masuk, tapi lokasinya terlalu jauh dari rumahnya di Cilandak, Jakarta Selatan. Sementara ia sendiri belum punya motor untuk bolak-balik.
Jam terbangnya sebagai PRT tak diragukan lagi, mulai dari bekerja untuk majikan lokal hingga ekspatriat pernah ia jajal. Majikan pertamanya orang lokal, pekerja di ibu kota. Setelah beberapa bulan, ia dapat tawaran untuk bekerja di rumah orang Korea. Di sana ia bekerja agak lama, 2,5 tahun. Namun, ia terpaksa hengkang karena dilecehkan anak majikan.
“Kalau pas lagi sendiri, dia ngajak saya ke kamar, meluk saya, ngajak saya berbaring di tempat tidur,” tuturnya. “Dari belakang gitu dia bilang, ‘Kamu jangan berontak, jangan ngapain-ngapain, nurut aja, saya pasti gak akan melakukan hal lebih.’.”
Ajeng menyimpan pengalaman itu sendiri tanpa bercerita ke siapa pun. Usianya masih remaja; ia belum tahu yang namanya pelecehan seksual meski sudah merasa tak nyaman dengan perlakuan sang anak.
“Anak majikan saya ini dua bersaudara, nah ini yang pertama. Memang dari adiknya itu dia agak lebih pendiam, sekitar kelas 2 SMA,” lanjut Ajeng. “Setiap kali saya sama dia hanya berdua di rumah itu ada rasa takut, was-was. Akhirnya setelah beberapa bulan kayak gitu, saya keluar.”
Keluar dari sana, Ajeng lanjut bekerja dengan majikan lokal. Gajinya agak turun, tapi setidaknya ia merasa lebih aman dan nyaman. Sepanjang pengalamannya menjadi PRT, kisaran gaji yang diberikan majikan lokal antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta. Sementara ekspatriat bisa memberinya hingga Rp4 juta per bulan. Namun, beban kerjanya tak jauh berbeda. Bekerja sebagai PRT, menurut Ajeng, tergantung keberuntungan. Dan ia hanya bisa berdoa mendapat majikan yang baik.
Sekali waktu ia bekerja untuk keluarga dari Iran, ia merasa keringatnya diperas habis. Jam kerjanya tak berkesudahan. Kalau sang majikan tak diingatkan ia sudah kemalaman bekerja, Ajeng tak dibiarkan pulang. Dan setiap pagi, segala perabotan dapur bertumpuk di cucian.
"Semua kotor. Jadi buat bersih-bersih di dapur, nyuci-nyuci, itu bisa satu jam lebih sendiri. Gak tahu malamnya mereka masak apa,” cerita Ajeng.
Lain waktu, ia juga pernah mendapatkan majikan lokal yang hanya memberinya libur sekali dalam sebulan. Sudah begitu, tak ada kamar yang disediakan untuk menginap. Walhasil Ajeng harus pulang-pergi saban hari.
"Kalau dipikir-pikir, sebulan sekali libur, enggak nginep, itu kan namanya bukan libur," lanjut Ajeng.
Dengan jumlah libur yang pas-pasan, Ajeng dituntut bekerja seperti punya tangan seribu. Bukan hanya bersih-bersih rumah seperti menyapu, mengepel lantai, mencuci dan menyeterika baju, tetapi ia juga dilimpahi kerjaan mengurus anak majikan. Di pagi hari ia harus mengantar sang anak sekolah, sorenya harus menjemput pulang, dan di akhir pekan masih harus mengantarnya les.
"Jadi ya bisa dibilang sampai malamlah. Karena posisi anak waktu itu masih TK dan SD, jadi harus ekstra jaga, belum bisa dilepas sepenuhnya," ungkap Ajeng.
Entah majikan lokal atau ekspatriat tak ada jaminan bagi Ajeng untuk diperlakukan dengan layak. Setelah puluhan tahun menjadi PRT, rasa syukurnya sesederhana bisa libur Sabtu-Minggu dan pulang sore. Sesekali ia diberkati majikan yang punya empati, tetapi berkali-kali ia harus berhadapan dengan tembok besi.
"Mentang-mentang kita pekerjanya gitu kan, memerintahkan ini-itu. Ada juga yang bahkan mau minum aja pake acara minta. Mau minum air putih gitu, kita dipanggil," tutur Ajeng.
Perempuan berusia 46 tahun itu baru mulai melek hak-haknya yang selama ini dirampas setelah bergabung dengan Serikat PRT Sapu Lidi pada 2014 silam. Waktu itu ia tertarik bergabung usai diceritakan temannya ada perkumpulan PRT yang punya banyak kegiatan, mulai dari diskusi hingga les bahasa Inggris.
Setelah berorganisasi, ia akhirnya mengerti dulu pernah menerima kekerasan seksual tanpa sadar dan selama ini selalu bekerja tanpa dasar.
“Dulu saya kan bos mau bilang kerja jam segini sampai jam segini, upah segini, saya sih manut-manut aja. Tapi setelah berorganisasi, ada pelatihan-pelatihan, saya sadar bahwa perlu juga jam kerja, libur mingguan, cuti tahunan,” ujar Ajeng.
PRT juga manusia, PRT juga pekerja
Hingga tahun lalu, Jala PRT mencatat ada sekitar 5 juta PRT di Indonesia–mayoritasnya perempuan. Dan dalam rentang waktu 2017-2023, ada 3.416 kasus kekerasan yang menimpa mereka, mulai dari penyekapan, perampokan akses komunikasi, penyiksaan, penghapusan gaji, hingga penyitaan dokumen penting seperti KTP dan ijazah.
Selain dibayang-bayangi kekerasan majikan, PRT juga rawan dieksploitasi. Seperti yang Ajeng ceritakan sebelumnya, jam kerja mereka tak menentu, gaji rendah, dan beban kerja yang berlimpah.
Menurut Staf Pengembangan Kapasitas dan Pengorganisasian Jala PRT, Ari Ujianto, semua risiko di atas harus dihadapi PRT karena belum ada undang-undang yang mengakui mereka sebagai pekerja.
“Undang-Undang Ketenagakerjaan kita itu mengesampingkan PRT. Makanya penting adanya Undang-Undang Perlindungan PRT,” ujar Ari. Sayangnya, hingga detik ini, rancangan undang-undang (RUU) tersebut masih mandek di DPR.
Padahal, menurut Ari, yang dibutuhkan PRT tidak muluk-muluk. Pertama, pengakuan negara. Maka dari itu, istilah pembantu hingga asisten rumah tangga mulai ditinggalkan dan diganti dengan PRT.
“Istilah itu berimplikasi pada hak-hak. Kalau pekerja pasti kan ada hak-hak normatifnya. Kalau kita menyatakan dia sebagai pekerja, berarti ada hak-hak yang melekat pada pekerja,” jelas Ari.
Hak-hak pekerja tak lepas dari soal upah, jam kerja, dan waktu istirahat. Kemudian, perdebatan yang sering terjadi adalah apakah PRT harus digaji sesuai upah minimum?
“Dalam RUU PPRT ini tidak ada upah minimum, tetapi upah yang manusiawi,” ujar Ari. Hal ini merupakan hasil kompromi dengan para anggota dewan dan melihat kebutuhan masyarakat menengah ke bawah yang tak bisa menggaji PRT dengan standar pekerja biasa.
Lantas, bagaimana upah yang manusiawi itu? Jala PRT menyarankan agar majikan memberi upah sesuai beban kerja dan tak semua pekerjaan rumah dilimpahkan ke PRT. Orang-orang juga bisa mempekerjakan PRT paruh waktu kalau gajinya sendiri pas-pasan.
Selain upah, RUU PPRT juga memperjuangkan waktu istirahat yang layak bagi PRT. Selama ini, di Jakarta saja, Jala PRT masih sering menemukan para PRT yang bekerja tujuh hari seminggu. Paling-paling libur hanya diberikan sehari dalam sebulan seperti yang pernah dialami Ajeng. Belum lagi masalah tunjangan hari raya hingga cuti yang masih sangat asing bagi banyak PRT tanah air.
“Hak-hak mereka perlu dihormati, perlu dilindungi, perlu dipenuhi. Bagusnya atas-bawah ya, dari masyarakat ada pengakuan, negara juga melalui kebijakan-kebijakannya,” lanjut Ari. “Nah, sekarang ini dua-duanya enggak. Negara tidak menghadirkan undang-undang untuk melindungi PRT sebagai pekerja, masyarakat juga masih begitu.”
Ari bercerita, di Makassar masih ada PRT yang berangkat kerja ke rumah majikan memakai baju Korpri agar tidak malu. Selama PRT masih dianggap sebagai pembantu dan bukan pekerjaan profesional, mereka bakal terus merasa direndahkan.
Apa kabar RUU PPRT?
RUU PPRT sudah diusulkan oleh PDIP sejak 2004 di masa kepemimpinan Megawati. Partai banteng moncong putih itu kembali mendorong RUU ini agar disahkan pada 2009, tetapi Demokrat sebagai partai penguasa saat itu menolak.
RUU PPRT masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) pada 2019. Ironisnya, Golkar bersama PDIP yang pertama kali mengusulkan RUU tersebut justru menolak untuk segera disahkan, dengan alasan tidak mempertimbangkan sosio-kultural masyarakat. Sementara Demokrat berbalik arah mendukung pengesahan RUU PPRT.
“Periode 2019-2024 ini DPR sebenarnya sudah lebih maju daripada sebelum-sebelumnya. Sudah menjadi RUU Inisiatif DPR, sudah dikirim ke pemerintah, presiden juga secara terbuka mendukung percepatan RUU PPRT menjadi undang-undang, kementerian dan kelembagaan terkait sudah memberikan daftar inventaris dan dikembalikan ke Pimpinan DPR Puan Maharani,” ujar Ari. “Nah, ini macetnya di sini. Enggak dilanjutkan lagi. Kita juga bingung.”
Padahal, menurut keterangan Ari, dengan proses yang tersisa, tak butuh waktu lama untuk mengesahkan RUU PPRT. Kemungkinan hanya memakan waktu 7-10 hari jika berkaca kepada pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tahun lalu.
Ari curiga situasi politik nasional turut mempengaruhi pengambilan keputusan soal nasib RUU PPRT ini. Selain karena mendekati pemilihan umum (Pemilu) 2024, juga anggota parlemen yang vokal menyuarakan RUU ini berasal dari faksi-faksi yang berseberangan dengan PDIP.
“Yang paling nge-lead dari 2019 sampai 2020 itu kan NasDem, kemudian teman-teman di PKB, PKS, PPP,” ujar Ari. “PDI, Golkar, itu kan bahkan awal-awal menolak.”
"Apa persaingan di tingkat elite ini mempengaruhi, kita juga enggak tahu, tapi faktanya seperti ini. Apalagi sekarang ini terbelah lagi menjadi pendukung capres-cawapres masing-masing,” lanjutnya.
Sudah 19 tahun lamanya para pejabat menggantung nasib para PRT di Indonesia. Ajeng dan teman-temannya masih menunggu pekerjaan mereka diakui negara dan keringat mereka lebih dihargai.
“Ya kalau namanya saya PRT, pekerja, ya udah pasti inginnya sih mendapatkan upah yang layak sesuai dengan beban tanggung jawab kita sebagai pekerja. Jala PRT juga sudah berjuang untuk RUU ini, sudah 19 tahun, harapannya sih jangan lama-lama lagi lah gitu,” pesan Ajeng sebelum kami pamit pulang.