Kampus Dilarang, Sandiaga Usulkan Debat di Town Hall
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu pun mengusulkan tempat dan sistem baru untuk penyelenggaraan debat. Hal tersebut karena ia pernah merasa dirugikan pada masa Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
"Yang saya coba hadirkan adalah inovasi dalam debat. Selama ini debat yang terjadi waktu 2014, 2017, 2018 kayak pertandingan bola. Para pendukung menyerukan yel-yel dan saya merasakan sendiri dirugikan. Pak Anies dan saya enggak bisa lihat skor waktunya dan berapa kali kita punya mic mati," tutur Sandi di Jakarta, Selasa (23/10/2018).
Sandi lalu menyarankan lokasi debat yang menurutnya netral dan dianggap tidak memicu perpecahan, salah satunya adalah di town hall.
"Dipilih tempat netral, kalau enggak boleh di kampus. Beberapa kali Kadin bikin di Djakarta Theater. Itu bagus, yang diundang adalah orang-orang yang menyatakan dirinya netral," kata Sandi.
Selain itu, dia juga mengusulkan penonton debat yang hadir adalah organisasi yang tidak berafiliasi pada satu calon, termasuk di antaranya para mahasiswa.
"Atau komunitas yang belum menentukan pilihan, komunitas petani, nelayan, buruh migran, disabilitas. Isu-isu yang diangkat adalah yang sesuai dengan keinginan mereka," ungkap dia.
Sebelumnya, Anggota Badan Pengawas Pemilu Ratna Dewi Petalolo menganggap bahwa penyelenggaraan debat calon presiden dan wakil presiden termasuk dalam bentuk kampanye. Karena itu, Ratna menganggap pelaksanaan debat di kampus melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 karena kampus merupakan lingkungan pendidikan.
"Pasal 280 huruf h kan jelas, peserta, tim kampanye, dan pelaksana dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Ini akan memberi hal yg menurut kami bertentangan UU," ujar Ratna.
Sebenarnya, kata Ratna, yang dilarang adalah lokasi debat yaitu kampus sebagai lembaga pendidikan. Namun, jika debat dilaksanakan di luar kampus dengan tetap melibatkan civitas akademika kampus, masih diperbolehkan.