Detik-Detik Jelang Putusan Kasus Pelanggaran Kode Etik Hakim MK, Bagaimana Nasib Gibran?
ERA.id - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan membacakan putusan dugaan pelanggaran kode etik Ketua MK Anwar Usman dan hakim konstitusi lainnya terkait putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada hari Selasa (7/11/2023) besok.
Seperti diketahui, sebelumnya MK telah mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 169 huruf 1 Undang-Undang (UU) Pemilu yang membatasi usia capres dan cawapres minimal 40 tahun lewat Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam putusannya, MK mengubah syarat sebagai capres dan cawapres menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Putusan tersebut dinilai penuh konflik kepentingan karena membuka peluang Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sekaligus putra Presiden Joko Widodo yang masih berusia di bawah 40 tahun untuk mengikuti kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Menjelang pembacaan hasil sidang dugaan pelanggaran kode etik besok, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie sempat menyinggung bahwa putusannya akan berdampak pada pendaftaran bakal pasangan capres dan cawapres.
"Nanti tolong dilihat di putusan yang akan kami (MKMK) baca, termasuk jawaban atas tuntutan supaya putusan itu ada pengaruhnya terhadap putusan MK sehingga berpengaruh pada pendaftaran bakal pasangan calon presiden/wakil presiden," kata Jimly saat ditemui usai sidang di MK, Jakarta dikutip dari Antara, Jumat (3/11/2023).
Namun, banyak pakar hukum tata negara menilai putusan MKMK tak bisa mengubah putusan MK yang sifatnya berkekuatan hukum mengikat (final and banding) sesuai UU MK. Lantas, mungkinkah langkah Gibran yang sudah mendaftar sebagai cawapres Prabowo Subianto terjegal?
Polemik putusan MK dan cawe-cawe Jokowi
Beberapa hari usai pembacaan putusan MK pada Senin (16/ 10/2023), Koalisi Indonesia Maju (KIM) mendeklarasikan pasangan Prabowo-Gibran sebagai capres dan cawapres mereka, yang mana mengugurkan kans kandidat kuat cawapres lain seperti Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Tak ayal banyak pihak menganggap pemasangan Prabowo dengan Gibran tak terlepas dari campur tangan Jokowi. Meskipun presiden sendiri menyanggah asumsi tersebut dalam banyak kesempatan.
Salah satu yang berkomentar keras terhadap putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres adalah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Adian Napitupulu.
“Kita tahu bahwa proses di MK tidak fair, sudahlah, kita bisa berdebat panjang soal banyak hal, tapi kalau kita bicara sejujur-jujurnya, itu tidak fair,” ucapnya tegas saat debat bersama Wakil Ketua Partai Gelora Fahri Hamzah yang tayang di kanal Youtube Narasi, Kamis (2/11/2023).
“Jangan dong ubah UU hanya untuk keluarga, tolonglah Pak Presiden… dia (Jokowi) selalu bilang ‘saya menghormati konstitusi’, terus ini berubah gitu loh… kita mungkin bisa berdalih banyak, tapi rakyat lihat, ini gak fair, ini bukan untuk kaum muda, ini untuk Gibran!” lanjutnya.
Menanggapi putusan MK yang dinilai bermasalah, banyak laporan masuk ke MKMK untuk mengusut dugaan pelanggaran kode etik, apalagi mengingat Ketua MK Anwar Usman tak lain adalah adik ipar Jokowi. Salah satu pelapor adalah Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).
MKMK akhirnya menggelar sidang pembuktian dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi soal putusan perkara nomor 90 pada Selasa (31/10/2023). Setelah pemeriksaan, MKMK menemukan beberapa keganjilan dalam putusan tersebut, antara lain:
- Anwar Usman yang tidak mengundurkan diri meskipun terdapat kepentingan pribadi atau hubungan keluarga dalam perkara yang ditangani;
- dissenting opinion atau pendapat berbeda dari beberapa hakim yang menangani perkara;
- pelanggaran prosedur registrasi yang diduga atas perintah hakim MK;
- mekanisme pengambilan keputusan yang dianggap kacau;
- hingga dugaan kebohongan Anwar Usman terkait absennya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
- Jimly menuturkan bahwa tidak sulit untuk membuktikan kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh sembilan hakim.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menuturkan bahwa tidak sulit untuk membuktikan kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh sembilan hakim terkait dengan putusan perkara nomor 90.
"Apalagi, kami sudah memeriksa CCTV. Kenapa ada perubahan yang kemudian ditarik kembali? Kenapa ada kisruh internal? Beda pendapat kok sampai keluar (publik)?" ujar Jimly saat ditemui di Gedung MK, Jakarta dikutip dari Antara, Jumat (3/11/2023).
Sebelumnya, dalam pembacaan putusan perkara nomor 90, Wakil Ketua MK Saldi Isra–salah satu hakim yang menolak gugatan–menyebut putusan MK berubah setelah Anwar Usman ikut rapat. Padahal sebelumnya mayoritas menolak.
Kedua, menurut pengakuan Saldi Isra juga, MK terkesan terburu-buru dan seperti berpacu dengan waktu saat menangani perkara tersebut. Akhirnya, putusan MK dibacakan tanggal 16 Oktober, tepat tiga hari sebelum masa pendaftaran capres-cawapres dibuka.
“Tentu ada masalah kolektif, ini sembilan hakim ada masalah. Ada soal pembiaran, ada soal budaya kerja," papar Jimly. "Akal sehat pakai ya, jangan akal bulus. Kasak-kusuk kepentingan itu kan akal bulus juga.”
Menimbang kemungkinan pembatalan cawapres Gibran
Mengutip pernyataan Jimly Asshiddiqie sebelumnya, apakah mungkin putusan MKMK besok mempengaruhi pendaftaran capres dan cawapres yang sudah setengah jalan?
Menurut pengamat hukum tata negara Feri Amsari, MKMK hanya berwenang menjatuhkan sanksi etik lewat peringatan lisan, peringatan tertulis, atau sanksi berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat sesuai UU MK. Di luar itu, mereka tidak bisa secara langsung mengubah putusan MK yang sifatnya final and banding.
“MKMK tentu tidak bisa menjatuhkan putusan di luar pelanggaran etik, apalagi mengkoreksi putusan MK, itu bukan wewenangnya. Kalau MKMK menjalankan yang bukan wewenangnya, dia melanggar hukum administrasi negara,” ujarnya kepada ERA, Senin (6/11/2023).
Namun, ia menambahkan bahwa putusan MKMK masih bisa berdampak kepada substansi proses jalannya putusan perkara nomor 90.
“Sebab, bagaimana pun, kita ketahui sekarang kalau MKMK memutuskan telah terjadi pelanggaran etik, maka putusan yang dijatuhkan nomor 90 itu dilakukan oleh orang yang tidak punya etika. Nah, bagaimana memperbaikinya?” ujar Feri.
“Biasanya MK memperbaiki putusannya yang sebelumnya dengan putusan yang baru. Dengan demikian, kalau MK menerima perkara dengan objek yang sama (Pasal 169 huruf q UU Pemilu), maka ya MK punya kewajiban untuk memperbaiki putusannya yang telah melanggar etis,” lanjutnya.
Dalam hal ini, menurutnya, putusan MKMK bisa menjadi alat bukti terhadap objek perkara yang sama, yaitu pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Dan apabila putusan perkara nomor 90 dibatalkan, otomatis pendaftaran Gibran dapat dianulir.
“Sesuatu yang prosesnya tidak sah, maka hasilnya juga tidak sah, termasuk soal pendaftaran Gibran,” tandas Feri.
Hingga hari ini, diketahui sudah ada beberapa gugatan uji materi yang masuk. Gugatan pertama berasal dari mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Brahma Aryana yang didampingi oleh kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa. Perkara itu sudah terdaftar dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023 dan dijadwalkan akan disidangkan perdana sehari pasca putusan MKMK.
Adapun permohonan lain diajukan oleh beberapa warga Surakarta, Jawa Tengah, yang tidak ingin Gibran menjadi cawapres, yaitu oleh Fatikhatus Sakinah dkk yang didaftarkan pada 27 Oktober dan Heri Purwanto yang didaftarkan pada 31 Oktober.
Terbaru, dua pakar hukum tata negara yaitu mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana dan Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar juga mengajukan uji formil terhadap pasal usia minimal capres dan cawapres yang sudah diubah MK.
Dalam permohonannya, Denny meminta MK menindaklanjuti putusan MKMK dengan cepat sebelum masa pendaftaran pilpres berakhir.
Sementara itu, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie berkomentar bahwa permohonan tersebut bagus untuk dilakukan, tetapi sayangnya agak telat masuk. “Agak telat dong. Mahasiswa saja udah lebih dulu, dan mahasiswa itu aja udah telat,” kata Jimly seperti dikutip dari Kompas pada Senin (6/11/2023).
Upaya membatalkan putusan MK yang kontroversial memang tampak mepet dan berpacu dengan waktu, mengingat tahapan pendaftaran capres dan cawapres dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tinggal menghitung hari. Pengusulan bakal pasangan calon pengganti saja paling lambat lusa (8/11/2023) dan pasangan calon bakal resmi ditetapkan pada 13 November.
Dengan demikian, kans Gibran untuk mendampingi Prabowo masih sangat besar. Namun, apakah polemik batas usia capres dan cawapres berakhir dengan kegagalannya melaju ke Pilpres 2024 atau tidak, jawabannya baru akan mulai jelas setelah pembacaan putusan MKMK besok.