Kisah Dugaan Penipuan Skema Ponzi Berkedok Arisan Baso Aci
ERA.id - Pemilik Warung Baso Aci Asgar di Cibinong, Bogor, punya julukan “Ibu Peri”. Seorang pelanggannya, Ria mengaku sang pemilik warung begitu ramah, supel, dan mudah memikat hati. Ia pun dengan mudah mempercayainya sebagai orang baik.
Ibu Peri sering membagikan cerita sedang bersedekah hingga membantu anak yatim di Whatsapp-nya. Berselingan dengan itu, tiap hari ia juga mempromosikan “arisan” yang ia kelola. Dari sanalah petaka bermula bagi Ria dan ratusan orang lain.
Ria menemui tim ERA pada Selasa malam (14/11/2023) untuk berbagi kisahnya. Kami berjumpa sekitar pukul delapan di warung makan tak jauh dari lokasi Baso Aci Asgar. Bersama Ria ada calon suaminya yang menemani.
“Tabungan nikah saya habis gara-gara ikut arisan Teh Eva,” cerita Ria. Eva tak lain adalah perempuan yang disebut sebagai Ibu Peri.
Awalnya Ria hanya berlangganan baso aci Eva yang belakangan populer. Setelah membuktikan sendiri rasanya yang enak, Ria pun menyimpan nomor ponsel Eva agar bisa memesan online. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, Ria yang sebelumnya hanya menghubungi Eva untuk memesan baso aci, mulai penasaran dengan arisan yang ia punya.
Setiap hari pemilik warung baso aci itu membagikan daftar arisan di story Whatsapp-nya. Namun, berbeda dengan arisan standar, arisan Eva menjanjikan keuntungan tambahan bagi anggotanya. Taruh dana Rp1 juta, tunggu sebulan, dan uang mereka menjadi Rp1,5 juta.
“Awalnya saya gak ngerti nih maksudnya arisan apa? Kok arisan kita beli sejuta, dapatnya bisa lebih dari sejuta?” ungkap Ria.
Eva menjawab kalau sebetulnya ia membantu menjual arisan temannya karena sang teman butuh dana cepat. Penjelasannya menggantung begitu saja. Namun, Ria yang masih kebingungan menjadi makin bimbang setelah melihat testimoni-testimoni yang dibagikan Eva.
“Dia sering update testimoni-testimoni gitu. Makasih ya Teh, berkat ikut arisan di Teteh saya bisa nyicil rumah, bisa nyicil motor,” Ria membacakan beberapa testimoni yang sering berseliweran di hp-nya.
Ketika ia mendesak bertanya lebih lanjut, Eva menjawab, “Saya amanah kok, kalau misalnya takut gak usah ikutan.”
Ria membiarkannya beberapa lama. Waktu terus berjalan, bayangan rencana pernikahannya melintas di kepala tiap hari. Ia melihat tabungan yang ia kumpulkan untuk tambahan biaya nikah, baru terkumpul Rp8 juta. Lalu story-story arisan Eva kembali menghantuinya. Ia goyah.
“Awal-awal kontak sama dia saya belum tertarik. Gak lama tuh dia sering banget update bagi-bagi sedekah. Saya dalam hati, oh berarti beneran ini orang amanah. Terus saya nyobain lah pas bulan Oktober kemarin,” ucap Ria.
Seluruh tabungannya segera dikirim ke rekening Eva. Pikirnya, daripada mengendap begitu saja, lebih baik diserahkan kepada orang yang ia percaya untuk dijadikan investasi. Ternyata itu menjadi keputusan yang bakal ia sesali.
Tanggal 26 Oktober, Eva menghilang. Whatsapp-nya tak bisa dihubungi, media sosialnya tak bisa ditemukan. Keluarganya pun menghindar. Esok harinya, Ria baru dapat kabar kalau Sang Ibu Peri viral gara-gara bawa kabur uang arisan.
“Saya gak percaya dong. Malemnya langsung saya otw ke rumahnya. Pas udah di rumahnya, udah rame ternyata, ratusan orang gerebek rumahnya,” cerita Ria. Namun, yang menunggu di sana hanya suami Eva yang mengaku tak tahu menahu soal arisan istrinya.
Sang suami bilang istrinya sedang sakit dan tak ada di rumah. Ia juga membiarkan ratusan orang yang mengepung rumahnya untuk melapor ke polisi. Satu per satu para korban pergi setelah suami Eva menandatangi perjanjian di atas materai kalau ia akan membawa istrinya ke hadapan para korban pada 4 November.
Seminggu berlalu, janji tinggal janji. Hingga kami berjumpa Ria kemarin, batang hidung Eva belum kelihatan. Para korban arisan curiga ia sudah melarikan diri ke kampung suaminya di Cianjur.
“Kita kan buta hukum di sini, kita gak tahu kita harus ke mana. Jadi kita serahkan semuanya ke lawyer kita. Minggu ini mau proses ke polisi,” ungkap Ria.
“Sebenarnya, yang paling nyesel tuh dikecewain sih ya. Saya itu orangnya gak gampang percaya ke orang, tapi ke Si Eva ini tuh saya udah percaya, sampai duit tabungan saya pun saya kasih ke dia. Tolong tabungan buat tambahan nikah maksudnya, kok malah dibeginiin.”
Skema ponzi berkedok arisan baso aci
Korban arisan baso aci mencapai lebih dari 200 orang dengan jumlah kerugian beragam. Berdasarkan kesaksian Ria, paling sedikit korban menyetor Rp1 juta dan paling banyak hingga Rp1 miliar. Sementara total nilai penipuan itu diperkirakan mencapai Rp5 miliar. Ria pun bercerita bagaimana cara Eva beroperasi.
Waktu ia mendaftar ikut arisan, ia diberikan daftar “arisan” mulai dari Rp1 juta-Rp8 juta dengan iming-iming keuntungan hingga 50 persen. Uang Rp1 juta akan dikembalikan sebesar Rp1,5 juta; Rp2 juta menjadi Rp2,7 juta; Rp3 juta menjadi Rp3,9 juta; hingga Rp8 juta menjadi Rp10,5 juta.
Jumlah uang yang disetorkan bisa lebih banyak lagi, dengan janji keuntungan yang semakin berlipat-lipat. Beberapa korban ditawarkan untuk menaruh uang Rp50 juta dan akan dicairkan sebesar Rp100 juta.
Anggota yang bergabung di awal-awal mengaku sempat menerima keuntungan yang dijanjikan. Namun, lambat laun seiring bertambahnya anggota, tak ada lagi pemasukan ke rekening korban. Akhirnya anggota-anggota baru seperti Ria tak memperoleh sepeser pun.
Arisan baso aci yang menjerat Ria dan ratusan korban lain sebetulnya bukan arisan, tetapi penipuan investasi yang berkedok arisan.
“Dalam bayangan saya, si pengelola baso aci ini lebih mudah menyampaikannya kepada masyarakat. Pola arisan itu kan lebih kekeluargaan. Walaupun sebetulnya yang ditawarkan adalah bentuk investasi,” ujar peneliti Segara Research Institute, Piter Abdullah, Kamis (16/11/2023).
“Kalau di arisan kan gak ada istilah uang kita itu beranak, bertambah. Cuma kita dapat kesempatan untuk mengunakan. Yang akan diundi adalah siapa yang duluan makai kan,” lanjutnya.
Lebih khusus lagi, pelaku menggunakan skema ponzi untuk menjalankan investasi bodongnya, di mana pelaku tidak menggunakan uang investor untuk menjalankan investasi, tapi mengambil keuntungan dari setoran anggota baru untuk dibayarkan kepada investor sebelumnya.
Dalam kasus arisan baso aci, anggota lama mendapatkan keuntungan dari uang yang dibayarkan anggota baru seperti Ria. Namun, para korban mengira itu hasil bisnis yang dijalankan oleh pengelola investasi. Padahal, prinsip yang diterapkan adalah “gali lubang tutup lubang”. Apabila tidak ada anggota baru atau tidak ada tambahan investasi, otomatis keuntungan yang diperoleh para anggota akan berhenti
Skema ponzi seperti ini, menurut Piter, keberlangsungannya tergantung dari cara pengelolaannya. Semakin buruk dikelola, semakin cepat ia hancur. Biasanya, hal tersebut dimulai dari pengelola yang memakai uang investor untuk kebutuhan pribadi dan berfoya-foya.
Akar dari penipuan
Piter menyampaikan akar persoalan dari penipuan bukannya masalah literasi, tetapi sikap serakah dan malas yang menjangkiti masyarakat kita.
“Dasarnya itu kan dua hal ini: greedy (serakah) dan kemudian ingin mendapatkan sesuatu yang gampang. Ini yang membuat masyarakat kita itu selalu mudah terjerumas dalam bentuk-bentuk penipuan yang sama,” ujar Piter. “Sebenarnya modusnya sama, menawarkan keuntungan yang besar dengan skema ponzi.”
Maka menurut Piter, dalam kasus arisan baso aci seperti di atas, korban tidak bisa sepenuhnya dikatakan tidak bersalah. Karena mereka terjebak bukan hanya karena ada niat jahat dari pelaku penipuan, tapi juga keinginan mereka memperoleh keuntungan yang besar tanpa usaha.
“Bedanya, kalau pelaku memang sudah berniat buruk sejak awal. Kalau korban, mereka tidak punya niat buruk, tidak ingin merugikan orang lain. Kesalahan dia adalah greedy, serakah, pengen dapet untung gede,” ucap Piter lalu menegaskan bahwa pelaku harus dihukum tegas, sedangkan korban harus belajar dari kesalahannya.
Sikap serakah dan malas tadi kemudian memunculkan karakter berikutnya, yaitu mudah tergiur, mudah percaya, dan tidak sadar risiko.
“Jadi karakteristik para korban yang mudah percaya, utamanya di-drive oleh greedy dan pengen cepat untung tanpa kerja keras. Itulah membuat nalar mereka tidak utuh dan gampang sekali terperdaya,” ucap Piter.
“Padahal seharusnya dengan logika sederhana mereka bisa menalar untuk tidak percaya. Mereka sendiri akan mengatakan, ‘Apa iya sih? Apa bener? Ini kan aku gak kenal sama orangnya,’ dan berusaha untuk mencari tahu,” tambahnya.
Ia sendiri pesimis kalau penipuan seperti arisan baso aci bisa menghilang selama karakter masyarakat masih materialistik. Butuh jalan panjang yang harus ditempuh, ucapnya. Apalagi melihat masih ada saja orang pintar yang percaya dengan dukun pengganda uang.
“Saya kenal ada profesor yang percaya begituan. Coba bayangkan?” tutup Piter.