Agus Rahardjo Pernah Dimarahi Jokowi: Beliau Teriak Minta Kasus Korupsi E-KTP Setya Novanto Disetop
ERA.id - Mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo mengaku pernah diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP mantan Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov).
Diketahui, Setnov pada saat itu juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan menjadi tersangka kasus korupsi e-KTP pada 17 Juli 2017.
Awalnya, Agus bercerita dirinya dipanggil sendirian oleh Jokowi. Dia mengaku heran karena biasanya ketika dipanggil bersama Wakil Ketua KPK lain.
Namun saat itu, dia juga diminta masuk ke Istana tidak melalui ruang wartawan, melainkan jalur masjid.
"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara). Jadi saya heran, biasanya manggil itu berlima ini kok sendirian," kata Agus di acara Rosi dilansir dari Kompas TV, Jumat (1/12/2023).
Ketika bertemu, Agus mengungkapkan Jokowi marah kepada dirinya dan meminta agar pengusutan kasus korupsi e-KTP dihentikan.
"Nah itu di sana begitu saya masuk, Presiden sudah marah. Presiden sudah marah, menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah teriak, 'hentikan!'. Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov," ungkapnya.
Namun, Ketua KPK periode 2015-2019 itu menyampaikan jika kasus itu tidak bisa dihentikan. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e-KTP sudah terbit tiga Minggu sebelumnya.
Selain itu, karena di dalam aturan KPK tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Nah sprindik itu kan sudah saya keluarkan tiga Minggu yang lalu dari presiden bicara itu. Sprindik itu tidak mungkin karena KPK tidak punya SP3, tidak mungkin saya berhentikan, saya batalkan," ujarnya.
Beberapa tahun kemudian, pemerintah bersama DPR merevisi UU KPK. Agus menduga revisi UU KPK dilakukan karena dirinya saat itu menolak perintah Jokowi.
"Tapi akhirnya kan dilakukan revisi UU, nanti kan intinya revisi UU itu kan SP3 menjadi ada, kemudian di bawah presiden. Karena pada waktu mungkin presiden merasa bahwa 'Ini ketua KPK diperintah presiden kok nggak mau', apa mungkin begitu," tambahnya.