Mengupas Bagaimana Candu Smartphone Menurunkan Kemampuan Berpikir Anak
ERA.id - Potret pendidikan di Indonesia masih terbilang suram. Salah satunya terjadi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Di daerah yang hanya memakan waktu tempuh tiga jam dari pusat kota Jakarta itu, ternyata pendidikannya sangat timpang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, rata-rata anak Indramayu hanya bersekolah selama 6,8 tahun. Daerah ini menjadi salah satu yang terendah dalam hal pendidikan di Indonesia.
Sementara itu, Human Capital Index 2020 menyebut, rata-rata anak-anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun di sekolah. Namun, kemampuan akademisnya hanya setara dengan masa belajar 7,8 tahun.
Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya diduga melibatkan penggunaan gawai berlebih.
Survei terbaru Program for International Student Assessment (PISA) menempatkan anak-anak Indonesia di jajaran terbawah dalam segi kemampuan matematika, literasi, dan sains.
PISA merupakan sebuah survei internasional dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mengukur kemampuan matematika, literasi, dan sains dari siswa berusia 15 tahun di berbagai negara.
Dari 80 negara peserta PISA tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 69 untuk kemampuan matematika (dengan skor 366); peringkat 70 untuk kemampuan literasi (dengan skor 359); dan peringkat 66 untuk kemampuan sains (dengan skor 383). Ketiganya berada di bawah skor rata-rata global.
Menurut laporan PISA, rata-rata kemampuan matematika, literasi, dan sains global memang menurun dalam 16-22 tahun terakhir. Salah satu penyebabnya ditengarai adalah penggunaan ponsel pintar berlebihan dan non-produktif.
“Siswa yang memakai perangkat digital lebih dari satu jam sehari untuk bersantai—aplikasi media sosial, menjelajahi internet, atau main gim—mengalami penurunan besar dalam nilai matematika,” tulis laporan PISA 2022.
Lantas, bagaimana gadget menurunkan kemampuan berpikir anak-anak?
Gadget ibarat pisau bermata dua
Ponsel pintar, sebagaimana teknologi lain, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi ia memudahkan penggunanya untuk melakukan sesuatu, tetapi di sisi lain ia menyebabkan distraksi dan ketergantungan.
Penggunaan ponsel pintar untuk anak usia sekolah, menurut PISA, tak melulu berdampak negatif. Namun, dengan catatan penggunaannya untuk hal-hal produktif seperti sarana belajar.
“Meskipun PISA menunjukkan hubungan positif antara integrasi teknologi dalam pendidikan sekolah dan kinerja siswa, perangkat yang digunakan untuk bersantai seperti ponsel pintar dapat mengalihkan perhatian dari pembelajaran, membuat siswa rentan terhadap perundungan siber, dan membahayakan privasi mereka,” tulis laporan PISA 2022.
Berdasarkan temuan mereka, siswa yang memakai perangkat digital untuk belajar selama 1-5 jam sehari sering menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang tidak pernah memakainya sama sekali.
Namun, penggunaan lebih dari satu jam di luar kebutuhan belajar, seperti untuk bermain media sosial atau gim, justru membuat penurunan performa belajar. Lebih lanjut, anak-anak yang menggunakan ponsel pintar lebih dari lima jam sehari untuk bersantai mengalami penurunan skor matematika hingga 49 poin.
“Rata-rata di seluruh negara OECD, siswa yang menghabiskan satu jam sehari di sekolah menggunakan perangkat digital untuk bersantai memperoleh nilai matematika 49 poin lebih tinggi dibandingkan siswa yang matanya terpaku pada layar selama lima hingga tujuh jam per hari,” tulis laporan tersebut.
Sementara itu, rata-rata screen time atau waktu yang dihabiskan orang Indonesia di depan layar mencapai 6,05 jam per hari berdasarkan data State of Mobile 2024. Angka tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat pertama negara pengguna ponsel dengan durasi terlama. Sayangnya, mayoritas anak-anak Indonesia lebih banyak mengakses internet untuk bermain media sosial ketimbang belajar.
Data BPS 2021 mencatat 88,99 persen anak Indonesia usia 5 tahun ke atas mengakses internet untuk media sosial; 66,13 persen untuk membaca informasi atau berita; 63,08 persen untuk hiburan; barulah 33,04 persen untuk mengerjakan tugas sekolah.
Padahal, menurut pakar media sosial Ismail Fahmi, rata-rata usia minimal pengguna media sosial adalah 14 tahun. Sayangnya, masih banyak pengguna di bawah usia tersebut karena kurangnya kontrol dari keluarga.
Pendiri DroneEmprit itu menjelaskan bahwa platform media sosial memang diatur sedemikian rupa agar penggunanya betah berlama-lama di sana.
“Algoritma itu yang penting screen time-nya makin meningkat, membuat orang semakin lama di platform itu, kenapa? Karena semakin lama dia di situ, semakin banyak iklan bisa ditampilkan, semakin banyak keuntungan,” ujar Fahmi saat dihubungi ERA, Selasa (6/2/2024).
Ia juga ikut mengkhawatirkan peningkatan screen time anak-anak Indonesia untuk penggunaan non-produktif. Karena menurutnya, maksimal screen time anak usia sekolah dasar ke bawah adalah dua jam sehari.
“Normalnya, anak-anak SD ke bawah itu paling enggak cuma dua jam sehari. Kalau sebelum sekolah malah lebih sedikit lagi. Dan itu kan enggak terjadi di Indonesia. Kontrol dari orang tua kurang, jadi mereka banyak pakai,” ucapnya.
Hal tersebut berakibat pada ketergantungan anak-anak dengan ponsel pintar dan akhirnya menurunkan konsentrasi belajar mereka.
“Kita orang dewasa aja, kalau enggak ada apa-apa, lagi bengong itu pasti enggak sabar mau buka hp, apalagi anak-anak. Kalau mereka otaknya enggak terbiasa membaca, ditambah hp-an terus, jauh lebih tinggi addiction-nya. Jadi kalau belajar pun enggak tenang, enggak fokus, pengen segera buka hp,” ujarnya.
Fahmi menegaskan bahwa persoalan kecanduan ponsel sudah harus ditanggapi dengan serius oleh pemerintah.
“Harus ada intervensi dari pemerintah. Kalau mengandalkan orang tua saja tidak mungkin. Pemerintah yang harus pikirkan solusi, yang tegas, lewat aturan, edukasi, dan lain-lain. Harus di-enforce, tanpa itu enggak bisa,” ucapnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah bisa mulai bekerja sama dengan berbagai platform media sosial untuk menyediakan lebih banyak ruang bagi konten-konten edukatif ketimbang hiburan.
“Minta supaya di Indonesia konten edukasi dibuat lebih tinggi daripada konten joget-joget, sehingga mendorong orang-orang supaya membuat konten pun yang edukatif. Itu harus dari pemerintah yang bergerak,” tandasnya.
Anak-anak butuh smartphone atau tidak?
Psikolog anak Vera Itabiliana menjelaskan bahwa ponsel pintar dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap perkembangan anak. Hal tersebut tergantung kapan anak diperkenalkan dengan gawai, durasi penggunaan, dan pengawasan orang tua.
“Durasi apakah dibatasi? Apakah dibatasi tempat di mana saja boleh main gadget? Apa yang dikonsumsi diseleksi atau tidak?” ujar Vera kepada ERA, Rabu (7/2/2024).
“Usia dua tahun ke bawah dihindari dari gadget dulu dan lebih dipaparkan pada berbagai stimulasi seperti permainan tradisional, puzzle, buku. Tidak perlu takut anak kurang update, karena nanti ada waktunya di mana anak siap dan bisa menguasai apa yang perlu dikuasai,” lanjutnya.
Psikolog di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia itu juga mengaku sering menangani anak yang kecanduan gawai. Menurutnya, rata-rata kasus tersebut terjadi karena kebanyakan orang tua kurang paham di usia berapa sebaiknya anak diperkenalkan dengan gawai.
“Kebanyakan menjadikan gadget sebagai jalan pintas untuk membuat anak tenang atau mau makan,” ujarnya.
Ia pun menekankan agar para orang tua berusaha sebisa mungkin tidak terus bermain ponsel saat bersama anak. Apabila ponsel dibutuhkan untuk kebutuhan kerja, orang tua juga harus menjelaskannya kepada anak.
“Dijelaskan pada anak bahwa orang tua bekerja. Dan usahakan sebisa mungkin tidak terus-terusan bergadget ria saat bersama anak sehingga anak merasa tersaingi oleh gadget atau jadi tambah penasaran dengan gadget karena melihat orang tua sebegitu terpakunya,” ungkap Vera.
Selain itu, menurut berbagai penelitian, risiko autisme meningkat terhadap anak yang terpapar gawai pada usia terlalu dini. Salah satunya disebutkan dalam studi berjudul “The Association Between Screen Time Exposure and Autism Spectrum Disorder-Like Symptoms in Children”.
“Paparan layar pada usia dini meningkatkan kejadian perilaku autis di kalangan anak-anak prasekolah,” tulis penelitian tersebut.
Para periset juga mencatat bahwa “penelitian lain terhadap anak-anak prasekolah di China menunjukkan peningkatan risiko gejala seperti gangguan autisme pada anak-anak yang waktu menontonnya lebih dari dua jam sehari”.
Mereka merekomendasikan screen time tidak lebih dari satu jam sehari untuk anak usia 2-5 tahun dan harus ditemani. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan anak-anak usia 4-6 tahun paling lama menatap layar satu jam sehari.
Mengamati fenomena dan data yang ditemukan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menepis adanya tudingan yang menyatakan bahwa tingkat literasi anak Indonesia rendah.
"Darurat literasi memang, tapi sebenarnya tidak sedarurat itu. Sebetulnya tidak semuanya, karena kita punya anak sekolah di jenjang yang berbeda dan situasi yang berbeda," kata Kepala Badan Bahasa Kemendikbudristek Prof Aminudin Aziz dilansir dari Antara.