Fakta Pendidikan Indonesia: Dari Guru Korban Pinjol hingga Rata-Rata Orang Indramayu Hanya Lulus SD

| 03 May 2023 20:00
Fakta Pendidikan Indonesia: Dari Guru Korban Pinjol hingga Rata-Rata Orang Indramayu Hanya Lulus SD
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Tiap 2 Mei, sekali dalam setahun, Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional, tepat sehari setelah para buruh merayakan hari libur mereka sejak SBY menetapkan 1 Mei jadi tanggal merah pada 2013 silam. Dua peringatan yang bergandengan seakan-akan mengingatkan kita bahwa buruh dan guru adalah satu paket yang tak terpisahkan. Dan di Indonesia, kerja-kerja pendidikan boleh dibilang setali tiga uang dengan kerja kasar. Belum lagi ditambahi embel-embel predikat guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa", makin-makinlah nasib guru jadi tak karuan.

Namun, bicara soal pendidikan tak cukup berhenti di guru saja, tapi juga penyelenggaranya (pemerintah), objeknya (murid), sarananya (sekolah), hingga metodenya (kurikulum dan pedagogi). Lalu, setelah 77 tahun merdeka, bagaimana nasib pendidikan kita? Apakah masih menempuh jalan yang dirintis bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara dan berhasil mewujudkan cita-cita pendidikannya meski sedikit? Atau malah maju selangkah mundur dua langkah?

Ki Hajar Dewantara yang tanggal lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional itu, melalui sekolahnya Taman Siswa, menanamkan nilai-nilai progresif pendidikan Indonesia. Ketika di zamannya pendidikan yang pantas terbatas untuk anak gedongan, berdarah biru, atau keturunan Eropa, sekolahnya menyediakan pendidikan untuk mereka yang tak mampu hingga para perempuan. Baginya, kemerdekaan adalah syarat dan tujuan pendidikan. Seperti halnya yang kemudian digaungkan Paulo Freire, pemikir pendidikan masyhur asal Brazil: Pendidikan berfungsi untuk memerdekakan.

Mas Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengusung jargon Merdeka Belajar. Ungkapan yang kedengaran cukup segar dan sekilas mengindikasikan kemajuan. Setidaknya di masa Nadiem anak-anak sekolah jadi merdeka dari ujian nasional dan tak perlu stres menunggu hasilnya. Istilah "tiga tahun ditentukan dalam tiga hari" jadi tak relevan lagi. Namun, apakah itu cukup untuk bilang kalau pendidikan kita sudah maju dan baik-baik saja?

Kalau ada yang sempat berpikir demikian, mungkin beberapa fakta di bawah ini akan mengubah pandangan tadi meski sedikit, dan memberi tamparan keras betapa pendidikan kita mungkin masih bersifat "menindas" ketimbang "memerdekakan".

Program wajib belajar yang hanya berlaku di atas kertas

Dari ratusan (atau ribuan) lagu Bang Rhoma, ada satu yang tak lagi relevan dinyanyikan hari ini, judulnya Seratus Tiga Puluh Lima Juta. Sebab angka itu merujuk pada jumlah penduduk di Indonesia tahun 1970-an. Sementara menurut pencatatan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), hingga Juni 2022 jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai sekitar 275 juta jiwa. Dari jumlah tadi, tebak berapa yang berhasil sekolah sampai perguruan tinggi? Tak sampai 20 juta orang. Sebaliknya, yang tak pernah sekolah sama sekali mencapai sekitar 65 juta orang.

Sekilas angka-angka di atas kami pikir cukup jadi gambaran kasar bagaimana kondisi pendidikan kita. Kalau harus dijabarkan lebih lanjut dan membuat gambaran itu lebih nyata, mari kita jalan-jalan ke Indramayu, salah satu kabupaten di Jawa Barat. Seandainya kita berangkat ke sana dari Jakarta atau Bandung lewat jalan tol, mungkin waktu tempuhnya hanya sekitar 4-5 jam. Namun, kondisi pendidikannya jauh lebih mengenaskan dibanding ibu kota.

Salah satu kondisi sekolah di Indramayu yang memprihatinkan. Tergenang air setelah hujan deras. (Istimewa)

Rata-rata orang Indramayu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, bersekolah selama 6,8 tahun, alias kebanyakan dari mereka hanya lulusan sekolah dasar. Maka, katakanlah kita berpapasan dengan warga Indramayu di jalan, kemungkinan besar kita sedang berhadapan dengan orang yang belum pernah tamat bangku SMP. Naas betul. Padahal pemerintah sendiri yang menetapkan wajib belajar sembilan tahun dan menjamin warganya lulus pendidikan dasar.

Sementara itu, di seluruh Jawa Barat rata-rata penduduknya lulusan SMP, hanya setingkat lebih beruntung dari mereka yang ada di Indramayu. Bisa dibayangkan jika tingkat pendidikan di pulau paling dianakemaskan saja begitu, bagaimana dengan yang ada di pelosok-pelosok tanah air? 

Pendidikan nomor dua: anggaran dipotong, honor guru berkurang, dan daerah terpencil sepi peminat

Berdasarkan amanat Undang-Undang, negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Itu bukan jumlah yang sedikit, tetapi ibarat selang air yang kejepit, jumlah itu tak selalu diterima utuh-utuh oleh institusi pendidikan setempat. Sebabnya kewenangan pendidikan daerah (termasuk fasilitas pendidikan, gaji guru, dll) ada di tangan Pemerintah Daerah (Pemda), dan seringkali pendidikan harus mengalah dengan agenda-agenda lain.

Misalnya di Jawa Barat, anggaran Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BPOD) berkurang drastis tahun ini. Sebelumnya Rp1,5 triliun menjadi Rp933 miliar, dipotong nyaris setengahnya. DPRD Jawa Barat bilang karena dananya dialihkan ke pos-pos lain seperti pembangunan alun-alun dan masjid. Akibatnya, Dinas Pendidikan harus melakukan efisiensi; ribuan guru pamong di Jawa Barat honornya tak dibayar dan upah tambahan guru honorer dikurangi. Sementara itu, akhir tahun lalu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meresmikan masjid raya terbesar di Bandung senilai Rp1 triliun.

Aksi solidaritas guru honorer Kab. Karawang, Jawa Barat, menuntut diangkat menjadi PNS sebelum tahun 2019. (Istimewa)

Guru honorer SMA/SMK di Jawa Barat sendiri gajinya sekitar Rp85 ribu per jam. Jika jatah mengajarnya 24 jam setiap bulan, ia hanya mengantongi Rp2.040.000 dalam sebulan. Itu pun bisa kurang. Kualitas guru seperti apa yang diharapkan anak didik dari gaji segitu? Wajar kalau kemudian banyak bimbingan belajar menjamur dan digandrungi masyarakat sebab merasa pengajarnya lebih profesional.

Pemerintah melakukan terobosan dengan membuka lowongan pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagi guru honorer. Artinya, meski tak diangkat jadi PNS, mereka tetap bisa dapat gaji bulanan dan tunjangan mirip-mirip PNS. Masalahnya, masih jarang ada guru yang mau melamar untuk daerah-daerah terpencil seperti di Papua dan NTT. Dari lebih setengah juta formasi PPPK yang dibuka Kementerian Pendidikan tahun lalu, 117 ribu di antaranya sepi peminat; 79 ribu berada di wilayah yang sulit diakses. 20 persen lowongan guru hangus sia-sia.

Guru dan jeratan ekonomi

Banyak orang Indonesia mendambakan jadi guru, setidaknya bisa kita lihat dari jumlah mahasiswa jurusan pendidikan yang menempati urutan teratas di negeri ini. Menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, sebanyak 21,5 persen dari seluruh mahasiswa Indonesia mengambil bidang studi pendidikan, mulai dari pendidikan mata pelajaran hingga pendidikan jenjang seperti Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).

Namun, tentu semakin banyak peminat, semakin sedikit peluang; dan bukan berarti yang sudah jadi guru hidupnya lantas sejahtera. Malahan banyak yang merana. Sebagian guru harus mengambil kerja sampingan untuk menambal lubang-lubang pengeluaran tiap bulan. Sisanya terpaksa tunduk pada kredit dan pinjaman.

Demo Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Blitar. (ANTARA Jatim/Irfan Anshori/ZK)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bilang kalau yang paling banyak terjerat pinjaman online (pinjol) di Indonesia berprofesi sebagai guru, dengan persentase 42 persen. Jauh sebelum itu bahkan, pada tahun 1995, Prof. Hafid Abbas pernah mencatat di bukunya Meluruskan Arah Pendidikan bahwa guru di beberapa provinsi pada umumnya terlilit utang, baik di bank, koperasi, maupun pihak lainnya. 28 tahun lewat sejak saat itu dan kondisi guru masih begini-begini saja.

Merayakan Hari Pendidikan Nasional, banyak pejabat ramai-ramai merangkai kata-kata mutiara di media sosialnya. Jokowi bilang pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Erick Thohir bilang pendidikan adalah kunci membuka pintu ke masa depan Indonesia yang lebih baik. Ganjar bilang pendidikan telah mengantar kita menjadi bangsa dan negara yang lebih bermartabat. Anies berdoa agar setiap lelah para pejuang pendidikan dicatat sebagai amal jariyah. Namun, tampaknya kita masih sering lupa ada kata "pendidik" dalam "pendidikan" yang kesejahteraannya selalu jadi taruhan.

Rekomendasi