Ngobrol Bareng Margarito Kamis soal Film Dirty Vote, Seberapa Dalam Pengaruhi Swing Voter?

ERA.id - Tepat setelah memasuki masa tenang pemilihan umum (pemilu), media sosial dihebohkan film berjudul Dirty Vote garapan sutradara peraih penghargaan Magsaysay, Dandhy Laksono. Film tersebut menghadirkan tiga pakar hukum tata negara: Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Sepanjang film berdurasi dua jam itu, mereka memaparkan dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Feri mengawali dengan narasi upaya menembus pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) satu putaran. Seperti diketahui, narasi tersebut sering digaungkan kubu pasangan calon (paslon) nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. 

Pada menit-menit pertama, Feri menjelaskan mengapa penting bagi Prabowo-Gibran menang satu putaran, termasuk syarat-syarat mencapainya, yaitu kemenangan lebih dari 50 persen suara pemilih dan perolehan suara lebih dari 20 persen di 20 provinsi.

Berturut-turut setelah itu, Zainal dan Bivitri bergantian menjelaskan soal potensi kecurangan akibat ketidaknetralan pejabat pemerintah; Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tampak tak bertaji; shadow party alias partai bayangan untuk memecah suara; hingga kejanggalan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia minimal peserta pilpres yang terbukti prosesnya melanggar kode etik.

"Sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya, di banyak negara, dan sepanjang sejarah. Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua: Mental culas dan tahan malu," tutup Bivitri Susanti.

Sehari pasca penayangan Dirty Vote, redaksi ERA menemui pakar hukum tata negara yang punya pandangan berbeda soal narasi yang disampaikan dalam film produksi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu. Namanya Margarito Kamis.

Kami bertemu di depan Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2024), selepas salat Asar. Margarito sekilas bercerita bahwa masjid itu pernah jadi saksi sejarah polarisasi antar masyarakat pada Pemilu 2014 dan 2019.

“Dulu minta ampun. Waktu itu ribut, sini nih, di masjid ini. Ada orang tertentu, hanya karena dia ada di sana, di kubu Pak Jokowi pada waktu itu, enggak bisa masuk sini. Ribut. Mau digebukin sini,” ceritanya. “Ada lagi teman kita jurnalis ribut di sini.”

Karena pengalaman dua pemilu sebelumnya, Margarito menganggap pemilu tahun ini jauh lebih adem dan kondusif. Mungkin karena orang-orang trauma, katanya, atau gara-gara calonnya ada tiga.

“Saya pernah bilang pada satu lembaga negara begitu ya, ‘Pak, kalau saya lihat-lihat ini situasi sosial, politik, dan keamanan hari-hari ini dibanding dengan 2019, tensinya turun sekitar 90 persen. Ini rame cuma di medsos-medsos.’,” ucap mantan Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara itu.

Selama kurang lebih satu jam kami ngobrol membahas isu-isu dalam film Dirty Vote. Berikut ini wawancara lengkap kami.

Secara garis besar, dokumenter Dirty Vote menggambarkan soal dugaan kecurangan secara sistematif, terstruktur, dan masif yang terjadi pada pemilu kali ini. Dari situ dulu deh Pak. Menurut Pak Margarito bagaimana?

Oh enggak, enggak. Sorry ya, kalau bahasanya sebegini jauh sih, jujur Anda memakai kacamata sedetail apa pun, Anda pakai kacamata dengan lensa setajam mikroskop sekalipun, Anda tidak akan sampai pada kenyataan konklusif bahwa ada pelanggaran sistematis dan terstruktur.

Anda tidak menemukan itu sama sekali. Mengapa? Anda lihat aja gitu faktanya. Tadi saya baru diberitahukan oleh salah satu anggota Bawaslu DKI mengatakan bahwa, misalnya ada distribusi surat suara ke luar negeri untuk satu negara yang menurut skema pendistribusian yang ditetapkan oleh KPU itu harusnya baru berdistribusi pada bulan Januari ini, tapi ternyata sudah didistribusi pada sekitar tanggal 18 sampai 25 Desember yang kemarin. Dan Anda tahu, itu dicek sedang diperiksa oleh Bawaslu sekarang. Jadi, bagaimana Anda mengatakan bahwa tersistem? Itu satu.

Yang kedua, pelanggaran pasti ada dalam pemilu. Dari pemilu ke pemilu, dari tahun 1955 sampai dengan 2019 kemarin, itu Anda menemukan begitu banyak pelanggaran.

Hukum pemilu mengharuskan pelanggaran-pelanggaran itu dikoreksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Begitu ya. Jadi yang harus kita cek adalah apakah pelanggaran-pelanggaran itu ada atau tidak? Dan kalau ada, ditangani oleh Bawaslu atau tidak? Kalau di Bawaslu sudah mengurusi, clear. Itu berarti perbuatan itu ditentukan hukumnya oleh Bawaslu, kan? Nah selesai.

Lalu katakanlah kalau kita pakai terminologi terstruktur dan tersistem gitu kan, siapa yang merancang? Dalam hukum, kalau Anda mengatakan bahwa ini ada pelanggaran X, katakanlah begitu, maka orang hukum akan bilang siapa yang melakukan perbuatan itu? Di mana? Kapan? Bagaimana bentuknya? Bisa enggak dijelaskan itu? 

Kalau Anda mengatakan pelanggaran ini begitu masif, terstruktur, segala macam, maka pertanyaannya secara hukum adalah, siapa yang melakukan itu? Kapan dilakukan? Di mana? Bagaimana bentuknya? Bisa enggak? Kalau enggak, itu persepsi politik aja. Dan dalam hukum, bukan persepsi yang diadili, tapi fakta yang diadili, perbuatan yang dilakukan oleh orang itu yang diadili.

Dirty Vote salah satunya menyoroti soal Bawaslu yang kurang tanggap untuk merespons berbagai dugaan kecurangan. Misalnya penyalahgunaan fasilitas negara untuk kampanye. Seperti waktu Bu Iriana ngacungin dua jari di mobil negara. Itu bagaimana tanggapannya?

Pertanyaannya adalah, dengan satu peristiwa itu, apakah beralasan untuk dikualifikasi bahwa ada pelanggaran tersistem? Kalau itu pelanggaran, katakanlah begitu ya, di mana pengaruh langsung terhadap postur dan atau kualitas pemilu? Apakah pelanggaran itu mengakibatkan pemilu menjadi tidak sah dan segala macam? Enggak juga. 

Itu berarti ibu negara, istrinya Pak Jokowi begitu, sanksinya kepada siapa? Ya kepada dia doang. Tapi menjadi sulit menggunakan itu sebagai dasar mengonstruksi adanya pelanggaran tersistem atau ada pelanggaran terstruktur. 

Jadi menurut saya fakta itu tidak cukup secara hukum dan akal sehat untuk dikonstruksi bahwa telah terjadi pelanggaran terstruktur dan masif dan yang lain-lain sejenisnya itu.

Ya kita pakai akal sehatlah. Sebenci-benci kita kepada seseorang, katakanlah pada Ibu Iriana itu gitu, atau pada Jokowi begitu ya, marilah sebagai manusia kita pakai akal sehat dikitlah. 

Sebenarnya apa sanksi yang bisa diberikan Bawaslu kepada pelanggar pemilu?

Sanksi bisa ada pidana, bisa ada teguran. Jadi sangat tergantung pada bagaimana Bawaslu menemukan fakta itu, lalu apakah fakta itu dapat dikualifikasi sebagai pidana atau tidak. Itu sangat tergantung pada Bawaslu. Hukumnya menyerahkan wewenang itu kepada Bawaslu.

Dan pelanggaran yang Ibu Iriana tadi, menurut saya sih tidak beralasan logis dan cukup untuk dikualifikasikan menjadi pelanggaran tersistem, apalagi masif.

Materi film Dirty Vote juga menyinggung soal bantuan sosial (bansos) yang belakangan marak menjelang pilpres. Tanggapannya?

Duit bansos itu kan mesti dibicarakan antara DPR dengan pemerintah. Dibicarakan, disepakati oleh semuanya, detil-detilnya disepakati antara pemerintah dan Komisi 8 di DPR itu, baru dibawa ke Banggar, di sana baru diketok, lalu itu jadi kegiatan pemerintah. Begitu melakukan kegiatan itu, itu menjadi tindakan pemerintah. 

Jadi, kalau Anda tidak mau itu dilakukan pada Desember, atau Januari dan Februari misalnya, bikin dong skemanya di dalam waktu kesepakatan tentang bansos itu supaya tidak dilakukan.

Dan yang paling pokok, kalau saya sih begini deh, undang-undang dasar itu memerintahkan negara ini untuk memelihara fakir dan miskin, akar dari tindakan bansos itu. Karena itu orang boleh bilang begini, “Tega amat Anda, ada orang yang susah kita tolong, kok Anda marah?” 

Jadi saya dapat mengatakan bahwa tidak semua orang berada pada kemampuan ekonomi yang kira-kira sama dengan Anda dan saya. Nah menurut saya, orang-orang ini memang harus dibantu dan wajib dibantu. Dan undang-undang dasar memerintahkan negara untuk memberikan bantuan kepada orang-orang begini.

Kita tahu di kalangan banyak orang ada kecurigaan peran dari Pak Jokowi, yang mana putranya, Gibran itu ikut dalam kontestasi sekarang ini. Soal itu juga disebut dalam film Dirty Vote. Bisa kita asumsikan begitu?

Kalau Anda bilang merancang, bagaimana bentuk rancangannya itu? Kalau Anda pergi ke pengadilan, Anda pergi ke meja hukum, kalau ada pelanggaran, siapa yang melakukan pelanggaran itu? Di mana pelanggaran itu terjadi? Siapa yang menyaksikannya? Bagaimana bentuk tindakan itu? Itu mesti ditaruh di meja hukum. 

Kalau Anda cuma bilang, “Oh begini, kira-kira begini, potensi begini.” Masuk laut. Orang kampung di Ternate sana bilang masuk got. Hukum ditujukan pada perbuatan objektif, perbuatan yang dapat dicek sama-sama oleh semua orang, bukan pakai khayalan, pakai perkiraan, pakai spekulasi, pakai kecurigaan, no. 

Hukum mesti sesuatu yang dapat dicek secara objektif oleh Anda, saya, dan semua orang, begitulah hukum. Itu orang tidak menggunakan etika sebagai dasar kita pada negara, tapi pakai hukum. Why? Karena kalau hukum itu bisa dicek. Barang ini nyata ada. Anda dan saya bisa lihat.

Ada tiga pakar hukum tata negara yang dihadirkan di film itu: Bivitri Susanti, Ferry Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. Ketiganya sepakat terjadi kejanggalan dalam putusan batas usia minimal capres-cawapres di Mahkamah Konsititusi. Pendapat Bapak?

Soal janggal menjanggal ini bisa kita perdebatkan, selalu dapat diperdebatkan. Tapi sistem kita bernegara ini mengharuskan kita begitu diputus oleh MK, Anda mesti terima, Anda suka atau tidak, Anda senang atau tidak, karena hukumnya begitu. Kalau urusan suka dan tidak suka, banyak kok kita yang tidak suka.

Dulu saya sempat meragukan Pak Gibran, ini anak kecil, anak masih muda begini, bagaimana ceritanya ini? Tapi enggak lama, di Perancis itu, kan perdana menteri yang baru muda banget, wah gila juga. 

Dan itu tadi, menurut undang-undang dasar kita, putusan MK bersifat final dan mengikat karena tidak bisa dikoreksi. Seribu orang mengatakan putusan itu salah, putusan itu tidak bisa disalahkan hanya karena dengan pernyataan seribu orang itu. Putusan itu hanya bisa dibatalkan dengan putusan lagi, begitu hukumnya.

Putusan dikoreksi dengan putusan, hukum dikoreksi dengan hukum. Tidak bisa hukum dikoreksi dengan moral. Hukum tidak bisa dikoreksi dengan etika. 

Sesuatu yang menurut Anda secara etis tidak bagus, bisa jadi saya bilang bagus, karena ia tertanam pada rasa masing-masing kita. Jadi sangat tergantung. Itu sangat perseptif dan tidak ada kepastian. Karena tidak ada kepastian itulah sistem mengharuskan kita menggunakan hukum sebagai dasar kita bernegara. 

Sebab kalau tidak begitu, maka celaka deh. Yang banyak akan selalu menang dan yang sedikit akan selalu kalah. Apa mau begitu kita bernegara? 

Dan berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), karena dibahas juga di film itu, diputuskan bahwa Putusan Nomor 90 melanggar etis. Apakah bisa dibilang begini, bahwa putusan itu tetap mengikat, tapi tidak etis secara hukum?

Urusan lain. Kita jangan kacaukan, rusak negara ini. Kalau Anda belajar betul, tidak setengah-setengah, Anda tahu legal dan legitimate itu dua konsep yang berbeda.

Legitimasi itu bukan konsep hukum. Tidak di ilmu hukum. Itu konsep sosiologi atau ilmu politik. Sementara legal ya konsep legal. 

Almarhum Prof. Afan Gaffar dari Departemen Ilmu Politik Gajah Mada, dia salah satu tim ahli pembentukan pasal 6A ayat 2 UU 1985. Ketika itu terjadi perdebatan yang cukup ramai antara sesama anggota itu, terutama Pak Andi Mattalatta dengan teman-temannya itu, soal cara menentukan kemenangan.

Kata mereka, kalau kita putaran kedua pemilihan presiden itu tidak langsung dilakukan oleh rakyat, maka nanti kurang dong legitimasinya, karena tidak dipilih langsung oleh rakyat.

Apa kata almarhum Prof. Afan Gaffar? Pak Afan bilang begini, pasal yang sudah disepakati itu legitim, sesuatu yang begini, begini, begini, begini, tapi begitu disepakati, lalu dibikin jadi pasal, pasal itu legitim. Tidak ada urusan dengan tadinya begini-begini. 

Jadi kalau kita sepakat di sini bahwa pemilihan presiden putaran kedua tetap dilakukan oleh MPR misalnya, itu legitim. Karena kita sudah sepakat. Karena pasal itu sudah disepakati. Itu kata Pak Afan Gaffar. 

Jadi, dari segi ilmu hukum, Anda tidak dapat menguji legitim dengan legal, ini dua konsep yang dasar ilmunya berbeda, tidak bisa dipakai untuk saling menguji gitu. Tapi ini penting untuk kita bicara di masa akan datang? Yes. Tapi kalau sesuatu yang sudah diputus, legal, sah, legitim.

Dan ini juga saya mau tanya pendapatnya Pak Marga, soal perilisan film Dirty Vote tepat sehari setelah kampanye akbar, pas di masa tenang. Karena ditanggapi juga oleh tiga kubu, berarti mereka menganggap ini sesuatu yang penting. Menurut Bapak, apa intensi atau tendensi launching film ini?

Saya tidak dapat meraba isi kepala mereka. Saya hanya ingin mengajak, mari kita melihat fenomena-fenomena yang dapat dicek oleh semua orang.

Anda tahu, bagaimana propaganda Amerika dan Inggris tentang Saddam Hussein dengan senjata biologisnya? Saddam akhirnya dipukul habis. Irak hancur total. Dan Anda tahu, Blair (Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, red.) sendiri mengatakan secara terbuka, nothing. Tidak ada senjata nuklir itu. Saddam dihabisi dengan cara yang sangat memalukan. Dan setelah Saddam mati, Irak total rusak, apa yang kita dapat? Nol. Nol. 

Bagus pertanyaan Anda ini. Anda coba baca “Who Rules The World?” Chomsky. Tracking sedikit ke belakang, ke Chili, nanti Anda koreksi ya. Kalau tidak salah Allende waktu itu di Pemilu 1972 populer minta ampun, tapi dia sosialis, ingin bagi rata tanah, bagaimana menyejahterakan rakyat, bla bla bla.

Dia luar biasa populer dan ini tidak disukai oleh Amerika, setidaknya elemen-elemen kunci di Amerika Serikat. Anda tahu, orang-orang itu pergi kampanye, dipropagandakan kepada rakyat bahwa kalau kalian pilih Allende, kalian tidak bisa pergi ke gereja, karena ini orang komunis jahat. Tapi akhirnya tetap dipilih juga. 

Padahal yang ditakuti sebenarnya, kalau Allende naik, banyak kepentingan korporasi-korporasi besar di Chili itu yang akan dihabisi, akan menderita kerugian dengan kehadirannya si Allende ini. Maka dipropagandakanlah, Allende naik, kalian tidak bisa pergi ke gereja. Tapi tetap saja orang pilih dia. Apa yang terjadi? Dua tahun kemudian, dia dikudeta. 

Jadi mari kita buka otak, buka mata, buka semua, mari kita lihat. Apalagi kan beberapa hari lalu juga ada beberapa media dari Asia yang mengatakan bahwa Prabowo bla bla bla. Nah ini politik, kita ketawa-ketawa saja.

Tapi apakah film Dirty Vote ini cukup mempengaruhi pemilu? 

Saya tidak tahu ya soal pengaruh dan tidak pengaruh. Di atas semuanya ini, begini Bang, Anda ini kan orang Muslim, saya juga Muslim. Di atas ini semuanya, siapa yang Allah pilih, dialah yang akan dapat. Siapa yang Allah tidak kendaki, dia akan kalah. Anda mau usaha kayak apa? Sebaik-baiknya usaha kita kan tidak lebih hebat dari Tuhan. 

Jadi, ya sudahlah, namanya usaha, okelah. Cuman ya, sebaik-baiknya usaha yang bisa kita takar dengan akal sehat, kita takar dengan nurani, agar kita tidak malu di hadapan Tuhan. 

Terakhir, karena ini filmnya independen ya setahu saya, itu tidak melanggar aturan undang-undang ya?

Tidak. Saya rasa tidak juga gitu. Ini kan ditujukan kepada Presiden Jokowi, bukan ditujukan kepada peserta pemilu. Ini entah dari mana arusnya, standing-nya, afiliasinya dengan siapa, kita enggak tahu nih. Tapi kalau dari pertanyaan-pertanyaan Anda tadi kan, saya dapat memastikan bahwa ini ditujukan kepada Presiden Jokowi.

Tadi mereka menjadikan tindakan Ibu Iriana sebagai subyek, lalu kemudian bansos, ini kan semua dilakukan oleh Presiden. Padahal Presiden kan bukan penyelenggara pemilu. Dalam hukum pemilu kita, Presiden bukan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) dibantu dengan organ yang bernama Bawaslu. Yang lain itu memberikan supporting.

Presiden hanya diwajibkan untuk memastikan ada duit loh, kalau ini dia tidak lakukan, baru jadi asik tuh dari segi tata negara. Karena kewajiban konstitusional presiden adalah menyiapkan duit untuk penyelenggaraan. Kalau dia tidak siapkan duit, nah itu kita cek.

Lalu tadi Anda bilang bla bla bla, misalnya bansos pergi ke orang-orang kurang mampu, itu perintah undang-undang dasar, perintah konstitusi kepada pemerintah.

Bahwasanya secara teknis diurusi oleh menteri sosial, itu teknis. Tapi jangan lupa, kekuasaan presiden itu tidak terbagi. Orang-orang ini membantu. Baca pasal 17 UUD 1945. Menteri membantu presiden. Kekuasaan itu dipegang presiden, Anda senang atau tidak, hukumnya begitu. Saya mau bilang apa? 

Kalau urusan kritis dengan presiden, oh Bos, saya ini 2014 sampai dengan 2019. Tapi mau apa sekarang ini? 2019 minta ampun nih kita ini bertempur. Dulu kan ada cebong, kampret, kadrun lagi, sekarang kan enggak ada. Tenang tenang aja. Asik aja ini menurut saya sih.

Saya pernah bilang pada satu lembaga negara begitu ya, “Pak, kalau saya lihat-lihat ini situasi sosial, politik, dan keamanan hari-hari ini dibanding dengan 2019, tensinya turun sekitar 90 persen. Ini rame cuma di medsos-medsos.”

>