Ilmuwan Kembangkan Teknologi AI untuk Deteksi Dini Psikosis
ERA.id - Studi baru yang diterbitkan di jurnal Molecular Psychiatry menunjukkan algoritma pembelajaran mesin kecerdasan buatan (AI) terbaru untuk mendeteksi psikosis atau gangguan mental.
Teknologi ini dikembangkan oleh Universitas Tokyo dan rekan penelitian yang lain dengan memprediksi risiko psikosis seseorang dapat diketahui dari citra otak yang dipindai.
Mengutip laman Antara, Institut Kesehatan Mental Nasional (NIMH) mendefinisikan psikosis sebagai serangkaian gejala seperti delusi, keyakinan salah, dan halusinasi, yang memengaruhi kontak seseorang dengan kenyataan.
Melalui teknologi ini, deteksi dini psikosis sering kali memberikan hasil pemulihan yang lebih baik.
Dengan memahami cara untuk memprediksi timbulnya psikosis sebelum seseorang mengalami episode psikotik menggunakan AI, maka hal itu bisa meningkatkan peluang kesembuhan hingga mencegah penyakit tertentu.
"Paradigma risiko tinggi klinis (CHR) digunakan secara luas dengan tujuan meningkatkan deteksi dini dan pencegahan gangguan psikotik," kata penulis koresponden dan Associate Professor Universitas Tokyo Shinsuke Koike, Ph.D.
Penelitian digagas oleh ilmuwan mancanegara
Sebelumnya, penelitian ini digagas bersamaan dengan rekan peneliti dari berbagai negara, seperti 21 institusi dari Jepang, Spanyol, Jerman, Inggris, Italia, Norwegia, Swedia, Denmark, Amerika, Kanada, Tiongkok, Korea Selatan, Swiss, Rusia, Singapura, dan Belanda.
Para ilmuwan mengembangkan algoritma pembelajaran mesin AI menggunakan data pemindaian otak MRI dari orang-orang yang berisiko tinggi secara klinis menderita psikosis dari 21 lokasi Kelompok Kerja Risiko Tinggi Klinis untuk Psikosis ENIGMA.
Algoritma pembelajaran mesin AI yang digunakan adalah XGBoost (eXtreme Gradient Boosting), pustaka perangkat lunak sumber terbuka yang dapat diskalakan untuk algoritma pohon keputusan yang didorong gradien terdistribusi (GBDT).
XGBoost menerapkan peningkatan pohon paralel dan banyak digunakan untuk masalah klasifikasi, pemeringkatan, dan regresi.
Para peneliti mengembangkan pengklasifikasi AI dan memetakan bobot untuk mengidentifikasi fitur-fitur utama untuk generalisasi.
“Akurasi pengklasifikasi pada kumpulan data pelatihan dan konfirmasi independen masing-masing adalah 85 persen dan 73 persen,” para peneliti melaporkan.
Pemindaian otak MRI terhadap mereka yang secara klinis berisiko tinggi mengalami psikosis dalam penelitian lain telah menunjukkan perbedaan struktural di otak, yaitu berkurangnya materi abu-abu di korteks temporal medial dan superior temporal dan medial frontal menurut para ilmuwan.
Untuk saat ini, para peneliti menemukan area temporal superior, insula, dan frontal superior adalah wilayah otak yang paling membantu algoritma dalam mengklasifikasikan kontrol sehat dari peserta berisiko tinggi yang kemudian mengembangkan psikosis.
"Hasil ini menunjukkan ketika mempertimbangkan perkembangan otak remaja, pemindaian MRI dasar untuk individu CHR mungkin berguna untuk mengidentifikasi prognosis mereka,” para ilmuwan menyimpulkan.
Menurut prediksi NIMH, setiap tahunnya antara 15 hingga 100 orang dari 100.000 orang dapat mengembangkan psikosis.
Kondisi itu seringkali memicu perubahan perilaku seperti menarik diri dari pergaulan, menurunnya kebersihan pribadi atau perawatan diri, kesulitan memisahkan fantasi dari kenyataan, kesulitan berpikir logis atau jernih, paranoia, kecurigaan, masalah tidur, dan lainnya mungkin terjadi sebelum hal itu terjadi.
Seperti diketahui, psikosis sendiri dapat disebabkan oleh sejumlah faktor seperti faktor risiko genetik, masalah perkembangan otak paparan stres atau trauma, penyakit mental seperti depresi berat, gangguan bipolar, dan skizofrenia, kurang tidur, atau penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan.
Selain masalah mental, psikosis juga mungkin dapat menjadi gejala awal dari penyakit lain seperti penyakit Alzheimer, demensia, dan penyakit Parkinson.